Konflik Ukraina: Perang Dolar Versus Euro? (3/Habis)

Bagikan artikel ini

Mengutip apa yang dikatakan oleh Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku The End of Economics, dimana cuplikan pernyataannya selaras dengan tema artikel ini:

“Lihatlah ini (Vadillo memperlihatkan uang rupiah logam dan kertas), sebenarnya ini hanyalah ilusi. Begitu banyak orang berlomba meraih kertas dan ilusi ini. Mereka seperti terhipnotis untuk meraih secarik kertas yang tidak berguna ini. Kita seperti bertindak untuk menggapai sesuatu yang tidak ada (nyata). … Hanya dengan memproduksi tumpukan kertas (dolar), Amerika dapat membeli banyak hal tanpa perlu bekerja. Yang mereka butuhkan hanya membuat seluruh dunia terhipnotis dengan sistem yang mereka terapkan” (Dina Y. Sulaeman, Ilusi Uang Kertas, http://dinasulaeman.wordpress.com/2010/08/10/ilusi-uang-kertas/).

Ya. Menurut Vadillo, bahwa uang kertas dolar termasuk juga uang-uang kertas lainnya hanyalah sekedar ilusi. Terlebih semenjak Paman Sam keluar secara sepihak dari sistem Bretton Woods Agreement tahun 1971, bahwa setiap lembaran dolar berapapun nominal tertulis, sejatinya hanya seharga biaya cetak yakni 4 sen, oleh karena dolar sudah tak lagi berjamin emas. Sudah barang tentu, hal ini berbeda dengan dinar (uang emas), atau euro yang berbahan europium (http://en.wikipedia.org/wiki/Europium). Seperti halnya dinar, uang euro bukanlah uang kertas.

Euro itu terbuat dari logam. Prinsipnya sama dengan dinar. 1 (satu) dinar di zaman Nabi sama dengan 2 (dua) kambing. Apabila hari ini ada uang 1 (satu) dinar ditukar, harganya lebih kurang 4 juta rupiah. Dan kalau uang dinar itu dihancurkan, kemudian dibawa ke toko emas, harganya tetap 2 (dua) kambing.  Akan tetapi jika rupiah atau dolar anda koyak-koyak, niscaya tak laku!

Europium itu dipakai untuk mencetak uang euro itu bukanlah kertas, tetapi metal. Jika 100 euro dikoyak-koyak atau dirobek-robek, dihancurkan, kemudian dijual kembali maka harga “europhium”-nya tetap 100 euro (http://paisolo.wordpress.com/2014/03/31/yusril-indonesia-punya-baterai-abadi-dan-europiah/).

Dengan demikian, apapun strategi yang digunakan elit AS dalam ‘perang mata uang’ melawan euro akan cenderung sia-sia, karena dari sisi kualitas, kadar, bahan dan terutama kepercayaan masyarakat internasional  —secara perlahan namun pasti— bakal beralih kepada euro. Mungkin soal waktu saja.

Selanjutnya pada proxy war di Ukraina, dimana Paman Sam cenderung mengkedepankan UE (NATO) ketika melawan anasir-anasir yang (pasti) didukung Rusia, maka ibarat ulo marani gepok, kata orang Jawa. Ia dijadikan umpan. UE membunuh dirinya sendiri, atau AS sengaja menghancurkan Eropa Barat?

Pertanyaanya sederhana, apakah pakar geopolitik dan ahli strategi di Paman Sam tidak memahami bahwa UE sangat tergantung pasokan gas dari Rusia? Rusia memiliki senjata gas (gas weapon) terhadap Eropa yang dialirkan melalui pipa Ukraiana. Jika kelak kesabaran Putin di ujung batas serta ia berkehendak, cukup dengan sekali putar (tutup) kran gas ke Ukraina, maka akan menjerit serta membeku daratan Eropa. Ya,  Eropa akan menjadi sejarah masa lalu, sebagaimana Uni Sovyet yang hancur berkeping-keping.

Dan terkait perang mata uang yang berlangsung secara sistematis dan massif di muka bumi, terutama antara dolar melawan euro, sesungguhnya konflik di Ukraina adalah bagian episode serta strategi Paman Sam guna menghancurkan euro. Inilah “motif lain” dalam peperangan di Ukraina.

Terimakasih

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com