Kontrak Pembelian Su-35 Rusia Harus Tetap Dipertahankan Demi Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI).

Pada 14 Februari 2018 lalu, kerjasama pertahanan RI-Rusia memasuki babakan baru yang cukup strategis dan saling menguntungkan. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen Totok Sugiarto, Indonesia telah menandatangani kesepakatan pembelian 11 unit Sukhoi Su-35 senilai 1,4 miliar dolar Amerika Serikat dari Rusia.

Jet Tempur Su 35 | Foto: Yuri Smityuk/TASS

Kesepakatan kontrak pembelian telah tercapai antar kedua negara dan perwakilan dari kedua negara telah menandatangani kontrak tersebut di Jakarta pada Februari lalu.

Baca juga: Beli 11 Jet Su-35 Rusia, Indonesia Terancam Sanksi AS

Mengapa saya sebut sebagai babakan baru dari hubungan kerjasama Indonesia dan Rusia? Bukan sekadar soal pembelian Sukhoi  Su-35 itu saja. Lebih dari itu, Kontrak pembelian 11 unit Su-35 itu dibuat dalam kerangka imbal beli antara Indonesia dan Rusia. Yang mana seturut dengan pembelian 11 unit Su-35 itu, pihak Rusia membeli komoditas utama Indonesia yaitu minyak kelapa sawit, kopi dan teh pada Agustus 2017 lalu senilai 570 juta dolar AS. Sisanya akan dibayar dengan tunai. Terkait pembelian komoditas utama Indonesia itu, malah sudah direalisasikan tahun lalu.

 

Namun perkembangan selanjutnya dari kesepakatan kerjasama strategis Indonesia-Rusia di sektor pertahanan  tersebut terancam batal menyusul adanya desakan pemerintah Amerika Serikat agar pemerintah Indonesia membatalkan kontrak pembelian 11 unit Su-35 tersebut.

 

Mengapa ada desakan AS untuk membatalkan pembelian Su-35? Jadi rupanya ketika Presiden Donald J Trump menjabat presiden maka pada Agustus 2017 lalu telah menandatangani undang-undang yang mana ditegaskan melalui undang-undang itu bahwa setiap negara yang menjalin kerjasama perdagangan di sektor pertahanan dan intelijen dengan Rusia, maka akan menghadapi sanksi dari Amerika Serikat.

Meskipun undang-undang tersebut didasari gagasan untuk menghukum Presiden Vladimir Putin terkait referendum rakyat Crimea yang kemudian lebih memilih bergabung pada Rusia daripada dengan Ukraina pada 2014 lalu, namun hal ini bisa menggalkan kerjasama strategis Indonesia dan Rusia di masa depan. Dan hal ini tidak boleh terjadi. Sebab undang-undang tersebut yang dikeluarkan Washington tersebut bisa dipandang sebagai upaya campur-tangan AS dalam urusan dalam negeri negara lain. Apa urusannya sebuah negara adikuasa seperti AS mengatur-atur dengan negara mana Indonesia boleh menjalin kerjasama pertahanan atau membeli peralatan militer.

 

Bagi Indonesia yang sejatinya berhaluan politik luar negeri bebas dan aktif sejak dicanangkan oleh Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta, maka sudah semestinya pemerintah Indonesia dan khususnya Kementerian Pertahanan, hendaknya jangan terpengaruh oleh intimidasi Washington untuk menggagalkan kontrak pembelian 11 unit Su-35 tersebut. Sebab Indonesia sama sekali tidak terlibat dalam persaingan global antara AS versus Rusia. Maupun antara RI dan Cina.

 

Bahkan di era kepresidenan Sukarno (1945-1965), Rusia merupakan salah satu negara adikuasa yang bersahabat dengan Indonesia dan sekutu alamiah Indonesia dalam menghadapi hegemoni Ameruka Serikat dan Eropa Barat.

Seperti dalam perjuangan Indonesia merebut kembali Irian Barat pada era 1960-an awal, Rusia termasuk salah satu negara yang mendukung Indonesia. Bahkan memberi bantuan militer berupa peralatan-peralatan militer yang cukup strategis seperti pesawat MIG termasuk aneka jenis senjata api.

Maka itu, kerjasama pertahanan RI-Rusia yang sudah terjlin cukup erat sejak awal kemerdekaan RI dan di era Perang Dingin, tidak boleh dirusak hanya gara-gara diberlakukanya undang-undang AS yang mengancam pemberian sanksi atau embargo kepada negara-negara yang membeli peralatan strategis pertahanan dari Rusia seperti Su-35.

Selain dari itu, ada beberapa pertimbangan lain yang hendaknya jadi bahan pertimbangan Presiden Jokowi. Yaitu soal kewibawaan Presiden Jokowi dan performance pemerintahan yang dipimpinnya akan berada dalam bahaya.

Jika Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu akhirnya tunduk pada tekanan AS agar membatalkan kontrak pembelian 11 unit Su-35, maka berbagai elemen strategis masyarakat Indonesia akan mendapat kesan  pemerintahan Jokowi-JK dengan mudah bisa diintimidasi dan dikendalikan oleh kepentingan asing.

 

Bayangkan.  Hanya gara-gara AS punya undang-undang pelarangan bagi negara-negara yang bermaksud membeli peralatan militer dari Rusia yang dipandang Washington sebagai musuh, pemerintah Indonesia dengan mudah menyerah dan tunduk pada ancaman Amerika beserta sekutu-sekutunya dari Blok Barat. Hal ini berarti bertentangan dengan haluan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif. Yang mana Indonesia bebas dan berhak menjalin kerjasama dan kemitraan strategis dengan negara-negara manapun sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Termasuk dalam membeli jet-jet tempur model Su-35 dari Moskow.

 

Haruskah kita sebagai bangsa dan pemerintah harus tunduk dan takut pada ancaman sanksi dari Amerika Serikat? Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi.

 

Selain itu dari segi perkembangan teknologi pertahanan, dibatalkannya kontrak pembelian Su-35 jelas akan merugikan Indonesia. Vietnam, salah satu negara di Asia Tenggara yang juga menjalin kerjasama perdagangan di sektor pertahanan dengan Rusia, menurut pakar militer  Vietnam, Carl Thayer, saat ini Rusia sedang mendorong agar Vietnam berinvestasi dalam sistem pertahanan rudal S-400 sebagai bagian integral dari rencana strategis pertahanan jangka panjangnya.

Jika ini pada akhirnya terjadi, Vietnam akan unggul dua sampai tiga langkah lebih maju dibandingkan Indonesia. Mengingat selama ini AS dan sekutu-sekutunya dari Blok Barat sangat menghalang-halangi tingkat kemajuan teknologi sttrategis pertahanan Indonesia. Apalagi Vietnam saat ini angkatan udara Vietnam sudah mengoperasikan pesawat tempur Su-30 Rusia, dan bahkan sudah menggunakan sistem pertahanan udara S-300. Bahkan saat ini bermaksud semakin memodernisasikan lagi peralatan militernya. Dan Rusia, nampaknya tetap jadi andalan Vietnam untuk menjadi mitra strategisnya dalam kerjasama di bidang pertahanan.

 

Bahkan India, negara eks koloni Inggris yang masih terikat kesepakatan dengan Inggris melalui Common Wealth, ternyata masih jauh lebih independent daripada Indonesia dalam menjalin kerjasama perdagangan di sektor pertahanan dengan Rusia. Buktinya, saat ini India sedang berupaya membuat kesepakatan dengan Rusia untuk membeli sistem rudal pertahanan S-400. Persis sama dengan yang sedang digagas antara Vietnam dan Rusia.

Selintas mengenai Su-35. Ini merupakan produk Rusia dari generasi Rusia 4++ multi-role supersonic-super manuver tempur yang merupakan hasil pengembangan dari pesawat Su-27 satu kursi. Sebagai karya modifikasi dari Su-27 itu, Su-35 punya kemampuan untuk mendeteksi dan menyerang target (sasaran) darat.

 

Tak diragukan Su-35 merupakan salah satu simbol kemajuan pesat di bidang teknologi pertahanan udara.  Radarnya dapat mendeteksi target pada jarak hingga 400 km dan melacak 30 target udara pada satu waktu. Adapun Awaknya hanya terdiri dari satu pilot.

Silahkan dalami lebih jauh: Hal Yang Harus Anda Tahu Mengenai Jet Tempur Rusia Su-35 yang Baru Saja Dibeli Indonesia

Nampaknya mengingat kenyataan akan keampuhan jenis jet tempur Su-35 ini, AS nampaknya sangat khawatir jika negara-negara seperti Indonesia membeli jenis pesawat seperti ini dari Rusia. Yang mana negara yang pada era Perang Dingin kala itu terkenal dengan sebutan Negeri Tirai Besi, saat ini dipandang oleh Washington sebagai musuh utamanya disamping Cina, Iran dan Korea Utara.

Namun demikian, bukan berarti kedaulatan politik dan pertahanan Indonesia harus dikorbankan hanya agar Indonesia lebih berpihak pada kepentingan strategis AS dan sekutu-sekutunya dari NATO, dalam persaingan global AS versus Rusia dan Cina.

Hal ini bertentangan dengan TRI SAKTI BUNG KARNO. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Pemerintah Jokowi-JK jangan sampai salah dalam membuat keputusan strategis. Apalagi ketika pada perkembangannya bisa merusak jalinan kerjasama yang begitu erat dengan suatu negara yang sudah dirajut sejak puluhan tahun, seperti halnya hubungan bilateral RI-Rusia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com