Kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke Rusia: Momentum untuk Melawan Tekanan UU CAATSA AS Terkait Pembelian 11 Jet Tempur Sukhoi S-35

Bagikan artikel ini

Kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke Moskow, Rusia, membawa atmosfer baru hubungan bilateral Indonesia-Rusia, utamanya dalam kerjasama strategis Pertahanan dan Keamanan. Apalagi setelah bertemu Menhan Rusia  Sergei Shoigu di Moskow, Selasa 28 Januari 2020 lalu, Prabowo menegaskan bahwa Hubungan persahabatan Indonesia dengan Rusia di bidang pertahanan dan keamanan telah terbangun cukup lama. Rusia yang sebelumnya Uni Soviet telah banyak membantu Indonesia di bidang teknik militer.

Ini merupakan pernyataan yang cukup bermakna apalagi kunjungan Menhan tersebut berdekatan dengan momentum peringatan 70 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Selain itu, penegasan Prabowo bahwa hubungan persahabatan kedua negara sudah berlangsung lama, bisa diartikan sebuah pengakuan bahwa kerjasama kedua negara membentang sejak era pemerintahan Presiden Sukarno sejak dekade 1950-an.

Kunjungan Menhan Prabowo ke Moskow semakin strategis dengan adanya rencana untuk mendeklarasikan kemitraan strategis yang akan menjadi tonggak penting hubungan kedua negara.

Selain daripada itu, kerjasama Indonesia-Rusia bisa menciptakan keseimbangan kekuatan baru di Asia Tenggara, di tengah masih menguatnya dominasi bisnis peralatan militer AS dan NATO di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute (GFI) dari SIPRI, Swedia, pengeluaran dana militer AS di Afrika sebesar 43 miliar dolar AS. Di Asia dan Oceania, mencapai jumlah 477 miliar dolar AS. Yang mana berarti 11 kali lipat lebih besar daripada pengeluarannya di Afrika. Asia Tenggara sendiri pengeluaran untuk pembelian senjata sama besarnya seperti di Afrika.

Pentagon telah mendominasi penjualan senjata ke Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Di antara para importir senjata terbesar di Asia Tenggara, Indonesia membeli 1/3 dari dari jumlah impor persenjataannya dari Inggris dan Amerika Serikat. Adapun Singapura membeli 2/3 dari jumlah impor persenjataannya dari AS. Dengan kata lain, untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista), Indonesia masih sangat tergantung pada AS dan negara-negara Eropa Barat. Ini sangat berbahaya.

Namun bukan itu saja. Saat ini ada sebuah tren baru namun belakangan ini masih luput dari pengamatan para stakeholers kebijakan luar negeri di Indonesia. Bahwa di kawasan Asia dan Afrika dalam beberapa tahun belakangan ini, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump telah mengarahkan kebijakan luar negerinya yang bertujuan untuk meningkatkan militerisasi dan penjualan senjata, dengan mengorbankan pembangunan ekonomi yang selama ini menjadi prioritas di kedua kawasan.

Apa yang latarbelakang terjadinya tren baru tersebut di atas? Nampaknya gagasan dasar di balik kebijakan militerisasi kebijakan luar negerinya? Nampaknya dipicu faktor mersosotnya defisit perdagangan di Afrika dan Asia.

Pada 2017 lalu, kerjasama perdagangan AS dengan negara-negara sub-sahara di Afrika mencapai 39 miliar dolar AS. Neraca perdagangan, AS defisit 10.8 miliar dolar AS. Investasi AS di negara-negara sub-sahara Afrika tumbuh-berkembang semasa pemerintahan George W Bush. Namun di era Obama pada 2010 lalu, menurun drastis. Bahkan kolaps.

Pada masa-masa sebelumnya, US Africa Strategy terpusat pada kerjasama ekonomi dan bantuan pembangunan sebagai masalah primer. Adapun Kerjasama militer hanya masalah sekunder.

Namun dalam strategi baru AS di Afrika, telah terjadi pergeseran prioritas. Upaya ekonomi untuk mendorong kesejahteraan ekonomi telah dikesampingkan. AS memandang Afrika sebagai sarang terorisme yang harus diredam di benua Afrika. Bahkan AS tidak lagi mendukung Peace Keeping Mission yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sementara itu kerjasama Cina dengan Afrika berkembang pesat. Pada 2016 nilai perdagangan Cina-Afrika mencapai nilai 128 miliar dolar AS. Tiga kali lipat dibandingkan kerjasama perdagangan AS dengan Afrika. Investasi Cina di Afrika pun meningkat pesat, melampaui AS. Cina juga menjadi sumber bantuan pembangunan. Cina juga menjadi sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur di Afrika.

Celakanya, perkembangan serupa nampaknya juga sedang diterapkan AS di kawasan Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia. Sebuah kawasan yang jauh lebih penting dari sudut pandang ekonomi maupun strategi bagi Washington.

Baca juga:

Pembelian Maupun Pengadaan Alutsista Harus Dalam Tuntunan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif

Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan ekonomi AS di ASEAN telah merosot tajam. Sementara kerjasama ekonomi dan perdagangan Cina di ASEAN berkembang pesat. Menurut US Trade Representatives, kerjasama perdagangan AS dengan ASEAN mencapai nilai 234 miliar dolar AS pada 2016. Enam kali lipat lebih besar daripada di Afrika. Namun demikian, kerjasama dagang Cina di ASEAN jauh lebih besar. Mencapai 515 miliar dolar AS pada 2017.

Dalam konteks inilah kita mencoba memahami gagasan dan jalan berpikir para policy makers Gedung Putih maupun Pentagon, ketika pada 27 Oktober 2017 AS  mengeluarkan kebijakan yang disebut Countering America’s Adversaries Through Sanctions (UU CAATSA).

Sebuah kebijakan yang telah disahkan oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, yang dimaksudkan sebagai instrument AS di bidang intelijen dan pertahanan, untuk menekan dan bahkan mengancam negara-negara di Asia, Afrika dan Timur-Tengah, agar tidak membeli senjata dari negara-negara adikuasa yang dipandang oleh AS sebagai musuh atau pesaing global.

Dalam Doktrin Pentagon yang dirilis pada 2017 lalu, the National Security Strategy dan the National Defense Strategy, Cina dan Rusia ditetapkan sebagai musuh utama AS. Bahkan digambarkan sebagai kekuatan alternatif untuk mengubah konstelasi kekuatan global saat ini.

Dengan demikian, dua doktrin Pentagon tersebut di atas harus kita jadikan sebagai rujukan untuk memahami agenda tersembunyi Washington.

UU CAATSA lahir dipicu kekhwatiran AS terhadap tindakan Rusia dalam bentuk invasi ke Krimea dan Ukraina. Bukan itu saja.

Pesawat jet tempur Sukhoi SU-35 yang diproduksi oleh United Aircraft Corporation (UAC) Rusia merupakan modernisasi dari tipe SU-27.

Memanasnya Semenanjung Korea menyusul sikap agresif Presiden Korea Utara Kim-jong-un yang beberapa kali melakukan tes uji coba peluncuran Rudal Balistik Antarbenua (ICBM), yang mana manuver Korea Utara tersebut diyakini para policy makers Gedung Putih dan Pentagon didukung sepenuhnya dari belakang layar oleh Cina, juga merupakan faktor yang memicu semakin menguatnya kekhwatiran AS terhadap Rusia maupun Cina. Yang mana kekhwatiran tersebut terjelaskan secara terang-benderang melalui dua doktrin Pentagon tersebut di atas.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kunjungan Menhan Prabowo baru-baru ini ke Moskow, harus didasari semangat untuk tidak tersandera oleh konflik global ketiga negara tersebut(AS, Rusia dan Cina. Dengan demikian, dalam menyikapi adanya UU CAATSA terkait kerjasama pertahanan Indonesia-Rusia, maka pemerintah Indonesia dan Kementerian Pertahanan pada khususnya, harus tetap berkomitmen untuk tidak menghentikan kontrak pembelian 11 unit jet tempur Sukhoi S-35.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Hendrajit, dalam presentasinya di Kementerian Pertahanan pada November 2019 lalu, merekomenasikan beberapa hal sebagai berikut:

Rekomendasi Untuk Kementerian Pertahanan Terkait UU CAATSA AS

  1. Untuk menjabarkan Politik Luar Negeri RI yang Bebas-Aktif yang bersifat visioner dan imajinatif terkait kebijakan pembelian dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista), maka berarti bukan saja tidak boleh didikte atau diatur-atur oleh negara asing, melainkan juga berarti kepentingan nasional NKRI harus menjadi panglima.
  2. Ketika pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pertahanan RI, dihadapkan pada kenyataan adanya UU CAATSA sebagai intrumen sekaligus sanksi ekonomi dari AS untuk menekan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka pemerintah Indonesia, dan Kementerian Pertahanan Indonesia pada khususnya, harus menyikapi tekanan Washington tersebut dengan berpedoman mana yang paling kecil resikonya.
  3. Jika Indonesia bersikeras bertahan dengan kesepakatan kontrak kerjasama dengan Rusia terkait pembelian 11 unit pesawat Sukhoi, memang bisa dipastikan kita akan dikenakan sanksi. Namun jika kita mematuhi tekanan dan ancaman AS agar membatalkan perjanjian kerjsama pembelian Sukhoi, maka harkat-martabat dan kredibilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan jatuh, bukan saja di luar negeri, melainkan juga di dalam negeri.
  4. Jika pemerintah Indonesia tetap bertahan dan berkomitmen melaksanakan kesepakatan kontrak kerjasama dengan Rusia terkait pembelian Sukhoi, dalam jangka pendek boleh jadi kita akan menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah. Namun harkat-martabat dan kredibilitas kita sebagai bangsa berkarakter akan terselamatkan dan terjadi baik di dunia internasional, maupun di dalam negeri.
  5. Sebaliknya, jika Indonesia menuruti dan mematuhi tekanan dan ancaman sanksi ekonomi AS, boleh jadi kehidupan perekonomian kita dalam jangka pendek akan terselamatkan. Namun hancurnya kredibilitas dan harakt-martabat kita sebagai bangsa di dalam dan luar negeri, daya rusaknya bisa lebih parah dan sulit untuk dipulihkan dalam jangka waktu dekat. Sedangkan kalau kita menghadapi krisis ekonomi jika menolak tekanan UU CAATSA AS dan tetap berkomitmen pada kesepakatan kerjasama pertahanan dengan Rusia, dalam jangka pendek mungkin cukup memberatkan. Namun bagaimanapun juga, krisis ekonomi masih sangat berpeluang untuk pulih kembali.
  6. Terkait dengan tekanan dan ancaman Washington melalui skema UU CAATSA, kiranya disampaikan beberapa catatan. Bahwa pengalaman Indonesia saat terkena embargo senjata dari Amerika Serikat dan sekutunya pada 1999-2005 kiranya harus menjadi pelajaran penting. Yaitu betapa berbahayanya Indonesia akibat embargo AS, akibat dari besarnya ketergantungan pemerintah Indonesia pada AS maupun negara-negara Blok Barat lainnya. Daya tahan Indonesia menurun drastis, oleh sebab tidak boleh membeli Alutsista maupun suku cadangnya dari AS maupun sekutunya. Bahkan lebih celakanya lagi, berbagai Alutsista milik Indonesia yang sudah dibeli, juga tidak boleh digunakan. Satu lagi catatan, AS maupun Inggris, tidak menyediakan suku cadang untuk berbagai Alutsista milik Indonesia. Sehingga saat itu Indonesia praktis tidak memiliki kemandirian dalam hal membeli, menggunakan dan merawat produk-produk pertahanan buat AS. (3)
  7. Sedangkan kerjasama pertahanan antara Indonesia-Rusia, yang didasarkan atas dasar prakarsa bersama kedua negara atas dasar saling menguntungkan dan kesetaraan, dan tanpa paksaan dari pihak manapun juga, rasanya jauh lebih masuk akal untuk kita pertahankan kelangsungan dan kelanjutannya semaksimal mungkin. Yang mana senafas dengan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif. Inilah hakekat kepentingan nasional yang sesungguhnya.
  8. Sehubungan dengan poin 7 di atas, ada baiknya kita belajar dari politik bebas aktif dan kemandirian politik pertahanan ala Turki, Cina dan India. Meskipun Turki termasuk sekutu AS dan negara-negara Blok Barat, bahkan masih tercatat sebagai anggota NATO, Turki tetap menganut politik luar negeri dan politik pertahanan yang bebas-aktif, ketika memutuskan membeli pesawat Su-400. Sedangkan India selama ini kita terikat dalam persekutuan dengan Inggris dalam kerangka Common Wealth. Namun tetap bersikap mandiri dengan membeli peralatan militer dari Rusia, atas dasar kebutuhan nasional pertahanan negaranya.
  9. Sosok Menteri Pertahanan RI yang baru, bapak Prabowo Subianto, yang sempat masuk dalam blacklist AS dan beberapa negara NATO, kiranya merupakan sumber inspirasi yang luar biasa menuju kemandirian dan kebangkitan kembali Pertahanan Nasional kita dari keterpurukan.

 Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com