Letjen Marinir (Purn) Suharto: Alutsista yang Paling Pokok adalah Rakyat

Bagikan artikel ini

Mantan Komandan Korps Marinir TNI Angkatan Laut ke 12, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Suharto antusias bila diajak diskusi bertema kebanggsaan. “Ideologi kita sangat rapuh. Semua sudah menuju kepada liberalisme,” ujar sosok yang dianggap banyak kalangan berjasa meredam meluasnya kerusuhan massa saat pergolakan reformasi 1998 ini.

Suharto berpendapat, membahas konstalasi politik dan hubungan internasional, Indonesia harus mempertimbangkan tiga unsur, yaitu Geostrategi, Geopolitik dan Geologistik (Geoekonomi). Menurutnya, ketiga unsur itu bisa membuat suatu konstruksi dari perkembangan lingkungan strategik, baik di regional maupun di nasional. “Atas dasar itu baru kita mengetahui strategi seperti apa taktik kita, utamanya dalam menghadapi ancaman,” jelasnya.

Namun Suharto menyayangkan ketiga unsur penting itu tidak muncul saat berlangsungnya debat presiden. Kegilasahan itu membuat Suharto kemudian menayakan langsung kepada Prabowo, kenapa tidak kupas ketiga unsur itu. “Apa jawaban Prabowo?. Mas, (alasan) saya tidak mengupas Geostrategi, Geopolitik dan Geologistik bukan apa-apa, rakyat di daerah tidak mengerti kalau saya bicara geopolitik. Rakyat tidak mengerti kalau saya bicara geostrategi dan lain-lain. Jadi saya berusaha untuk mendekatkan dengan bahasa rakyat.”

Sementara apa yang disampaikan Jokowi menurutnya lebih aneh lagi. Pasalnya, ketika debat berlangsung tiba-tiba saja Jokowi bicara tentang poros maritim. “Saya orang maritim. Saya berpikir yang dimaksud dengan poros maritim itu apa. Indonesia itu adalah benua maritim, bukan negara maritim. Poros itu opo, saya tidak mengerti. Lebih lagi ketika dia (Jokowi) ngomong tol laut. Itu tidak tepat,” tegas lulusan Akademi Angkatan Laut (ALL) angkatan ke XV Tahun 1969 ini.

Bagi pengikut ajaran Sukarno ini, sistem pertahanan Indonesia sebenarnya sistem Hankamrata, yaitu sistem pertahanan rakyat semesta. “Bila kita mau jujur, alutsista kita yang paling utama bukan lagi kita bicara pada main bettle tank atau bicara kapal yang tangguh dan lain-lain. Alutsista yang paling pokok adalah rakyat,” jelasnya.

Sebagai seorang nasionalis, Suharto menilai perlu adanya undang-undang wajib militer. “Bukan berarti negara kita akan dijadikan negara militerisme. Kita ingin menjadikan rakyat kita mempunyai kemampuan membela negara dan mempunyai satu sikap disiplin,” ujarnya.

Saat masih memimpin Komandan Korps Marinir, Suharto mengakui kesatuannya saat itu paling Sukarnois. “Ora dibandhani opo-opo (tidak pernah diberi anggaran yang cukup memadai untuk memperkuat dirinya) dari mulai kemerdekaan sampai sekarang. Tank saya itu adalah tank buatan tahun 1958-1960. Supaya 700 tank jalan waktu itu, saya utus perwira ke Belanda, ke tempat rongsokan bekas perang dunia ke 2 untuk mencari spare part,” imbuhnya.

Menurut pria yang lahir di Palembang ini, ketahanan Indonesia terbilang sangat kurang. Sehingga negara yang besar ini kerapkali dilecehkan Malaysia. “Bila ditanya apa yang dipakai untuk pertahanan, saya cukup beli Surface to Surface Missile (SSM). Pasang di sepanjang pantai timur Sumatera. SSM kita beli aja.

Kalau tidak boleh beli dari Cina, beli dari Rusia. Bila masih tetap tidak boleh, kita bisa beli dari Ukraina. Bila perlu beli dari Korea Utara yang punya kemampuan 300 sampai 400 kilometer. Murah kok itu. Untuk apa harus beli mahal-mahal,” ujarnya.

Bicara sosok kepemimpinan, putra dari mantan Komandan Koramil di Padang Bulak Tanding, Sumatera Selatan ini berpendapat, bahwa masih banyak dari pemimpin yang berbohong. “Pemimpin boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong. Kalau salah itu manusiawi. Kalau pemimpin kita berbohong, kita tidak perlu memikirkan alutista, tidak perlu bicara pertahanan. Sepuluh tahun lagi negara kita ambruk dengan sendirinya,” jelas anak seorang Prajurit TNI Angkatan Darat berpangkat Peltu (Pembantu Letnan Satu) ini.

Lebih lanjut pria yang berusia 67 tahun ini memandang, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dibuat sebanci-bancinya. Seharusnya  MPR lah yang membuat GBHN. Presiden merupakan mandataris MPR.  “Sekarang ini tidak. Presiden punya rencana, kerjakan sendiri dan pertanggungjawabkan sendiri. Ini yang disebut tirani. Harusnya tidak seperti itu,” tegasnya.

Suharto seakan menyadarkan banyak orang, bahwa begitu strategisnya posisi Indonesia bila dilihat dari peta geografis dunia. Namun sangat disayangkan, posisi strategis itu tidak dapat dimanfaatkan Indonesia untuk menjadi negara besar. “Kita harus mengetahui bahwasannya tahun 1945 sampai dengan 1975, itu adalah era Atlantik. Di tahun itu semua negara di sekitar Atlantik menjadi negara yang makmur. Tahun 1975 sampai dengan 2005, itu era Pasifik. Semua negara di sekitar Pasifik makmur, kecuali Indonesia. Tahun 2005 sampai 2025, itu adalah era lautan Hindia. Harusnya Indonesia ikut makmur. Apabila kita mendapatkan jati diri bangsa dan apabila kita mendapatkan kepercayaan, bangsa kita mampu untuk berdiri sendiri,” jelasnya.

Boleh jadi apa yang dipaparkan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Suhartoini menyadarkan kita bahwa sudah saatnya rakyat berdaulat di negeri sendiri. Setidaknya sejalan dengan konsep Triksakti yang diungkapkan Bung Karno: berkedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com