Memahami Sinergi antara Smart dan Hard Power di Libya

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Dalam (sejarah) kelaziman perang modern, kalah dalam jumlah pasukan dan peralatan tempur, termasuk ketinggalan teknologi — identik kalah perang. Contoh riil yang baru terjadi adalah perang antara Georgia versus Rusia 2010-an yang lalu. Ya, Rusia hanya butuh waktu seminggu guna menaklukkan Georgia. Itulah logika pertempuran dan berlaku universal.

Akan tetapi, seringkali terdapat fenomena pada pertempuran dan tentunya layak “dibaca”, sekaligus dicari jawaban guna kepentingan pendataan bagi negara-negara suka perang (agresor). Tanpa akurasi data, penggelaran pasukan apapun niscaya penuh ketidakpastian. Sebagai contoh fenomena tewasnya Jenderal Mallaby dalam pertempuran “10 Nopember 1945” di Surabaya; atau kekalahan Amerika Serikat (AS) di Vietnam dekade 1980-an; atau Perang Gaza 2010-an lalu banyak hal ganjil; atau yang kini tengah berlangsung ialah perang antara AS dan sekutu melawan Taliban di Iraq dan Afghanistan (2001 – hingga kini), demikian seterusnya.

Itulah fenomena perang bersifat nyata, bukan mengada-ada. Seyogyanya data-data “fenomena” tersebut mutlak didalami doeloe oleh para agresor, sebelum ia mengambil keputusan bagi agresi militer berikutnya dengan berbagai dalih dan modus – kapanpun, dimanapun.

Merujuk hal di atas, menyaksikan keroyokan Koalisi pada Libya — betapa AS dan sekutu telah abai atas hikmah pengalaman (kalah perang) saat di Vietnam doeloe, atau lalai mengapa ia hengkang dari Iraq. Jangan-jangan terkena sihir Rambo, James Bond 007, atau Kolonel Braddock, para tokoh khayalan ciptaan Barat yang selalu tampil menang di setiap pertempuran.

Terlihat bahwa operasi AS Cs di Libya tanpa membaca fenomena yang tersirat, hanya berdasar “logika perang lazim” semata yakni: “Barang siapa kalah jumlah tentara dan peralatan tempur maka akan kalah di dalam peperangan”. Bayangkan, satu negara (Libya) melawan lebih dua puluh negara jago perang (NATO) dengan peralatan tempur serba canggih. Predeksi dan analisa manapun akan memastikan bahwa dalam tempo singkat Moamar Gaddafi bakal lengser dari singgasana yang telah diduduki selama 40-an tahun lebih. Apakah memang demikian?

Lalu, lupakah para pengambil kebijakan di Jajaran Koalisi atas peristiwa di Iraq, tatkala pasca Saddam digantung oleh Bush Jr tepat di Hari Raya Korban justru menimbulkan perlawanan maha dahsyat dari rakyat Iraq hingga ia dan sekutu terpaksa meninggalkan medan laga dengan alasan ingin fokus pada satu perang di Afghanistan saja; atau barangkali, lalaikah mereka akan peristiwa Gaza, ketika tiba-tiba Israel meminta gencatan senjata kepada Hamas sedang di berbagai media ia mengaku menang perang? (Baca tulisan Pesta Kabaret di Gaza di www.theglobal-review.com).

Ada pelajaran lama menyebut: “Betapapun supernya kekuatan bersenjata suatu negara, tidak mudah menundukkan tekad perlawanan gerilya rakyat guna mempertahankan eksistensinya” (Joseph E. Stiglitz, 2009). Agaknya, semangat guna “mempertahankan jati diri” adalah learning point yang bisa dipungut dari pelajaran lama di atas!

Invasi militer udara ala NATO di Libya, sesungguhnya merupakan ulangan cara dan sarana penjajahan AS yang sering disebut “hard power”. Ya, ingat hard power jadi teringat AS era Bush Jr berkuasa. Cara tersebut memang sangat ampuh menghajar negara-negara kaya minyak dan jenis tambang lain dimana pemerintahannya tak patuh atas hegemoni AS dan sekutu. Bukti riil yang masih tertinggal ialah Iraq dan Afghanistan. Dengan berbagai dalih, stigma atau alibi (War on Terror, senjata pemusnah massal dan sebagainya) negara target diinvasi ala keroyokan militer, diduduki, setelah itu dikapling-kapling sumber daya alamnya.

Agaknya kali ini, resolusi 1973 PBB soal zona larangan terbang dijadikan alasan pokok bagi Koalisi menggempur Gaddafi melalui udara dan laut, tatkala rakyat Libya sendiri sejatinya menolak kehadiran militer asing turut campur dalam konflik internal di negaranya.

Sekilas sebelumnya, banyak analisa menyebut bahwa gelombang dahsyat  massa model provincial reconstruction team (PRT) yang saat ini melanda Timur Tengah dan Afrika Utara, sesungguhnya didalangi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RAND Corporation dan National Endowment Democracy (NED) –LSM yang dibiayai Kongres AS — dalam rangka “ganti server” di Kelompok Negara Jalur Sutra. Mengapa demikian – tampaknya kesuksesan tata cara (smart power) para LSM menghancurkan komunis Pakta Warsawa di Eropa Timur doeloe, menjadi rujukan untuk diulangnya kembali di Jalur Sutra, karena dalam perspektif Barat, selaku “rezim boneka” — Ben Ali, Mubarak dkk sudah dianggap lemot lagi tak loyal kepada induknya. (Baca tulisan terdahulu “Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra” di www.theglobal-review.com).

Hal lain tentang keniscayaan bahwa mayoritas Presiden dari Demokrat senantiasa menghembuskan berbagai isue non kekerasan seperti HAM, korupsi, demokratisasi, kemiskinan, supremasi hukum dan lain-lain — sebagai cara dan sarana, oleh karena Demokrat memang didominasi usahawan bidang barang dan jasa. Itulah hidden agenda kebijakan dan strategi smart power yang diperkenalkan oleh Obama ke publik global. Sementara Partai Republik cenderung menggunakan hard power sebab diawaki pengusaha kelas berat (pertambangan) dan konglomerat bidang pertahanan (pabrik senjata dan peralatan militer). Demikianlah hegemoni berpola selama ini. Kendati antara smart dengan hard power secara fisik berbeda, tetapi hakiki tujuan sama yakni penguasaan berbagai sumber daya di wilayah atau negara target. Ya, Demokrat dibawah kendali Brzenky, sementara Republik dikendalikan Henry Kissinger. Sedang tokoh-tokoh di belakang kedua Partai tersebut dalam binaan dan satu komando dari D. Rockefeller, kapitalis pertambangan global.

Akhirnya bila diibaratkan anatomi tubuh, tangan kiri AS adalah Demokrat dengan smart power-nya, sementara tangan kanannya hard power-nya Republik; sedang otak yang menggerakkan kedua Partai tak lain adalah Rockefeller. Sungguh menakjubkan!

Dengan demikian, siapapun Presiden Amerika –cuma sekedar boneka– entah ia memilih smart atau hard power — sesungguhnya  kebijakan yang diterbitkan adalah “serupa tetapi tak sama”. Yang serupa metodenya (penjajahan), sedang tidak sama hanya cara dan sarana. Itulah strategi global AS hingga kapanpun. Ibarat anak kembar dari satu rahim ibu (Liberty), wajah berbeda tetapi wataknya sama!

Kembali mencermati agresi NATO di Libya, tidak usyah bicara siapa menang siapa bakal tumbang. Hakiki perang itu urusan Tuhan. Nafsu manusia hanya pemicu saja. Namun yang perlu dikaji disini ialah sinergi kebijakan dan strategi dari kedua Partai (Demokrat dan Republik). Dan tampaknya otoritas pola operasi (penjajahan) ternyata tak mutlak milik Partai berkuasa, sebab ada komando lebih tinggi atas nama “Kepentingan Nasional”. Siapa?

Perubahan pola dari smart menjadi hard power mencerminkan geliat sinergi (pola) kedua Partai di Kelompok Negara Jalur Sutra. Misalnya Tunisia dan Mesir cukup melalui gerakan massa hasil olah smart power via PRT, namun Libya tak cukup melalui smart power saja, metode unggulan invasi militer yang merupakan implementasi hard power pun tampil lagi via Koalisi meski dalihnya cuma zona larangan terbang, bukan teror – bukan pula senjata pemusnah massal seperti sewaktu menginvasi  Afganistan dan Iraq.

Tiba-tiba saya teringat statement penulis buku Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia, ketika ia menjadi salah satu pembicara dalam forum diskusi “32 tahun Revolusi Iran dan Hikmahnya bagi Indonesia dan Negara-Negara Berkembang” (17 Februari 2011), bahwa bicara masalah AS, maka tak lepas dari dua nasab yakni Rothschild dan Rockefeller (Hendrajit, 2011).

Dengan demikian, mencermati alih komando pasukan Koalisi dari AS ke NATO dalam perang di Libya, bila diibaratkan pagelaran wayang maka cuma ganti dalang saja, karena pemilik haja

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com