Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Dalam seluk beluk hegemoni global, penyiapan atas persediaan minyak tanpa batas ialah syarat mutlak serta sarana mengendalikan dunia. Dan Timteng merupakan pilihan AS, karena dianggap kawasan yang memiliki sumber daya alam (minyak) terbesar bagi suatu kekuasaan dan kekuatan strategis di dunia.

Dari mapping di atas, sebenarnya terbaca bahwa invasinya ke Afghanistan dan Iraq (2001-sekarang) hanya langkah awal menguasai Jalur Sutra dari sebelah SELATAN, disamping bermaksud untuk membendung gerak laju Cina – juga sekalian menjepit Iran, Republik Islam yang kerapkali menentang kebijakannya. Secara geografis, posisi Iran memang di antara Afghanistan dan Iraq. Tampaknya, melalui modus yang sama pula ia menerkam Haiti (2010) berkedok “bantuan gempa” – sebab selain minyak Haiti sebagai tujuan, juga diduga dalam rangka mengurung Kuba, negara pulau di halaman belakang AS tetapi paling keras membandel atas hegemoninya. Dan semestinya bisa ditebak ketika AS begitu ambisi ”menguasai” Socotra, salah satu pulau di Yaman. Ya, lokasi pulau sekitar 80-an Km dari Tanduk Afrika (Horn of Africa) memang strategis guna mendukung upayanya mewujudkan doktrin Alfred Mahan menjadi kunci percaturan global. Bagi AS sendiri, bahwa semakin meluas (pengembangan jalur perairan) Jalur Sutra, kepentingan utama menguasai Socotra ialah menjaga PINTU GERBANG memasuki jalur tersebut melalui Teluk Aden, Laut Merah – Terusan Suez dan menuju Laut Mediterania.

Disinyalir kegagalan AS dan sekutu dalam invasi milter di Afghanistan dan Iraq menyebabkan kebangkrutan ekonomi negara dan berefek domino pada negara penyangga serta kroninya —  akhirnya telah mengubah pola penjajahan dari hard menjadi smart power dengan konsekuensi perubahan berbagai cara dan methode.

Bahwa stigma teroris dan doktrin preemtive strike bikinan Huntington, hanya efektif menggoyang negara-negara yang secara ideologis berseberangan, atau negara mayoritas muslim bukan kroninya, akan tetapi TIDAK ADA ALASAN bagi AS dan sekutu menggoyang kelompok negara bonekanya di Jalur Sutra secara terang-terangan melalui hard power, meski mereka –para bonekanya– banyak yang “durhaka” dan kurang sumbangsih di tengah krisis ekonomi melanda, maka diperlukan segera penggantian rezim baru yang loyal terhadapnya.

VOC Gaya Baru dan PRT

Perubahan dari hard power ke smart power di Era Obama, diawali oleh kemunculan WikiLeaks dan sosok Julian Assange yang tiba-tiba di-HERO-kan berbagai media sebagai lambang keberanian dan kebebasan. Kendati akhirnya diketahui bahwa New York Times (NYT) ternyata di belakang WikiLeaks, dan menurut editor NYT, David E Sanger bahwa setiap kali menerbitkan “bocoran rahasia” ke publik ia harus izin Pemerintah AS untuk dilihat dahulu kualitas dan derajat kerahasian.

Meski AS awalnya kecut ketika mantra pecah belah via bocoran Assange tidak mampu mengadu-domba antara Iran dengan Saudi Arabia, juga tak mempan membenturkan Cina versus Korea Utara. Akan tetapi ia boleh lega, ketika “mantra sakti”-nya VOC melalui isue ketidakadilan, korupsi, kemiskinan, lapangan kerja dan lain-lain mampu mengerakkan gelombang dahsyat massa hingga Ben Ali, Mubarak, entah esok siapa lagi – dipaksa lengser dari kursi kekuasaan.

Menurut catatan William F. Engdahl, bahwa National Endowment for Democracy (NED) telah diam-diam terlibat dalam mempersiapkan gelombang destabilisasi rezim di Afrika Utara maupun Timteng sejak invasi militer AS 2001-2003 ke Afghanistan dan Irak. Daftar negara dimana ada aktivitas NED sangat memperkuat kecenderungan ini, Tunisia, Mesir, Yordania, Kuwait, Libya, Suriah, Yaman, Sudan, dan – yang menarik, Israel. Kebetulan hampir semua negara-negara tersebut hari ini tengah mengalami  pemberontakan “spontan” yang menginginkan pergantian rezim.

Maka  pantaslah jika dalam gejolak di Mesir kemarin, Israel benar-benar hendak ditinggal oleh AS dan para sekutunya Negara Barat, ternyata sudah direncanakan matang oleh AS via NED sejak 2003-an doeloe. Manakala timbul pertanyaan, apa motivasi AS meninggalkan sekutu dekatnya Israel, mungkin tesis Bung Karno masih aktual menjawab (sementara) yaitu bahwa : “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan Fasisme. Fasisme adalah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”.

Kembali pada judul catatan ini, VOC gaya baru kini akronim dari Volk Organization Company yaitu “perusahaan” yang mengatasnamakan rakyat atau sering disebut Multinational Corporotion (MNC). Dan bila dianalogikan pada dinamika politik global ialah peran para korporasi raksasa bidang pertambangan dan “jaringan individu” mengglobal. Meminjam istilah John Perkins (2009), jaringan individu global ini (mungkin) boleh disebut “imperium” : Yakni sistem kekuasaan dipimpin penguasa atau raja yang memiliki kendali atas pemerintah dan media. Mereka tidak dipilih rakyat dan masa jabatannya tidak dibatasi hukum. Bergerak di wilayah antara bisnis dan pemerintahan, mendanai kampanye politik dan media. Dan mereka bisa “menguasai” siapapun terpilih dan mengendalikan informasi yang diterima oleh warga. Dan sudah barang tentu, ia bisa menempel pada tataran lokal, regional maupun global.

MNC dan jaringan individu ini sesungguhnya merupakan aktor non negara, dimana memiliki daya tawar setingkat bahkan lebih kuat daripada negara itu sendiri, sebab bisa mengubah dan membuat kebijakan suatu negara. Ia bergerak dan berjuang seolah-olah demi dan untuk rakyat suatu negara. Kendati kiprah selanjutnya masih belum jelas. Artinya hasil apa yang akan didapat dari para korporasi tambang ini, terutama bagi pendukung destabilisasi pemerintahan di Kawasan Jalur Sutra. Sejauh ini yang terlihat jelas justru agenda AS dalam rangka menciptakan Timur Tengah Raya di bawah korporasi-korporasi raksasa sebagai pengendali utama arus modal dan aliran energi di jalur melegenda tersebut.

Melalui methode Provincial Reconstruction Team atau disingkat PRT, Paman Sam dan sekutunya Negara Barat menebar benih pecah belah serta memainkan “mantra adu domba”. Ini adalah metode penjajahan AS dekade 1970-an lalu. Ya, PRT merupakan bagian dari VOC. Dan kedahsyatannya sudah terbukti tatkala ia menggulung negara-negara Pakta Warsawa di Eropa Timur. Agaknya, PRT kini dicoba kembali untuk menggulung Jalur Sutra, sebuah jalur strategis di dunia.

PRT bergerak melalui kota atau provinsi-provinsi. Beroperasi tak cuma bidang keamanan saja, namun di banyak aspek sasaran. Sasaran antara yang ingin diraih ialah menjerat masyarakat agar tergantung kepada suatu kaum, golongan atau sekelompok orang. Masyarakat dibentuk seperti tumbuhan parasit. Hidup menumpang tak punya pijakan. Operasional PRT mensyaratkan kepemilikan modal. Atau seminimnya merangkul sosok kuat berpengaruh di daerah. Entah berdarah biru, pengusaha, pejabat dan anaknya, jawara, paranormal atau dukun, tokoh religi, intelektual, dan lain-lain, termasuk melalui LSM dan organisasi bentukannya, atau lembaga atau organisasi dalam suatu negara yang telah “tergadai” atau terbeli oleh asing. Yang utama adalah suara dan kiprah sosok atau lembaga yang “terbeli” mampu merekatkan serta mampu mengkomando komunitas di sekitarnya dan bisa membentuk opini publik.

Bersambung (Bag 3)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com