Membaca Agenda Tersembunyi AS Pasca Pembatalan Sepihak INF 1987 dan Anti-Ballistic Missile Treaty 1972

Bagikan artikel ini

Penempatan sistem pertahanan antirudal AS  Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan dan kemungkinannya meluaskan penempatannya di beberapa negara sekutu AS lainnya di Asia Tenggara seperti Filipina dan Singapura, nampaknya semakin mengkhwatirkan. Apalagi dengan keputusan Presiden Donald Trump membatalkan secara sepihak perjanjian senjata nuklir jarak menengah (INF) antara AS dan Rusia pada 1987.

Tony Cartalucci dalam artikelnya berjudul: Does US Withdrawal from another Nuclear Treaty Really Benefit Russia?  menulis bahwa dasar pertimbangan utama mengapa AS membatalkan secara sepihak perjanjian INF dengan Rusia karena saat ini AS merasa kalah unggul dibandingkan Rusia dalam kepemilikan senjata nuklir jarak menengah. Terutama dalam perlombaan kepemilikan rudal bermuatan nuklir.

Sebab pola yang diterapkan Presiden Trump terkait perjanjian INF tersebut juga pernah diterapkan oleh Presiden George W Bush pada 2002, ketika membatalkan perjanjian Anti-Ballistic Missile Treaty 1972. Begitu Bush mengumumkan pembatalan secara sepihak Anti-Ballistic Missile Treaty 1972, pemerintah AS segera mengembangkan dan mengerahkan Sistem Pertahanan Antirudal bernama Aegis Ashore, yang diproduksi oleh Lockheed Martin.

Sistem Pertahanan antirudal Aegis Ashore tersebut kemudian ditempatkan di beberapa negara Eropa Barat, seiring dengan penempatan sistem pertahanan antirudal THAAD di Korea Selatan. Fakta penting yang perlu kita catat dan cermati dalam kedua event ini adalah; baik Aegis Ashore maupun THAAD sama-sama buatan  Lockheed Martin. Berarti ini merupakan bukti nyata bahwa di balik pembatalan perjanjian INF AS-Rusia ada keterlibatan kepentingan korporasi global yang bergerak dalam bidang industri pertahanan strategis seperti Lockheed Martin.

Maka itu tidak berlebihan bila Tony Cartalucci berani berkesimpulan bahwa  pembatalan sepihak Bush terhadap Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 maupun perjanjian INF AS-Rusia yang kemudian ditindaklanjuti dengan penempatan sistem pertahanan antirudal Aegis Ashore di Eropa maupun THAAD di Korea Selatan, pada hakekatnya merupakan kesinambungan agenda strategis yang sama. Siapapun yang berkuasa di Gedung Putih.

Dengan demikian bisa juga kita simpulkan bahwa pembatalan sepihak INF maupun Anti-Ballistic Missile Treaty 1972, kemudian dijadikan alasan pembenaran atau justifikasi AS untuk mengembangkan aneka jenis senjata nuklir jarak menengah, karena saat ini kalah unggul dalama persaingannya dengan Rusia.

Apalagi dengan adanya dua payung kebijakan strategis yang dirilis Pentagon pada 2017 lalu: the National Security Strategy dan the National Defense Strategy, yang menetapkan Cina dan Rusia sebagai musuh utama AS, maka pengembangan aneka jenis senjata nuklir jarak menengah itu kemudian diikuti dengan meningkatnya kekuatan militer AS yang diarahkan ke negara-negara yang berbatasan langsung dengan Cina maupun Rusia.

Dalam situasi demikian, kepentingan strategis beberapa korporasi global AS yang bergerak di bidang industri strategis seperti Lockheed Martin nampaknya merupakan pihak yang meraup keuntungan jutaan dolar AS dalam bisnis penjualan Aegis Ashore maupun aneka jenis lainnya, kepada beberapa negara sekutunya. Dalam tulisan kami sebelumnya, Jepang, salah satu sekutu strategis AS sejak pasca Perang Dunia II,  juga sudah membeli  membeli sistem pertahanan anti rudal Aegis Ashore seharga 4 miliar dolar AS dari Amerika Serikat.

Baca: Kaga dan Aegis Ashore, Isyarat Bangkitnya Kembali Militerisme Jepang?

Mengingat Jepang saat ini merupakan salah satu dari empat negara yang tergabung dalam Persekutuan Empat Negara atau QUAD bersama AS, Australia, dan India, maka pembatalan sepihak INF oleh Presiden Trump, berpotensi menuju semakin meningkatnya perlombaan dan proliferasi senjata nuklir baik di Eropa, Asia Timur maupun Asia Tenggara.

Dalam situasi demikian, niat Jepang untuk membeli sistem pertahanan anti rudal Aegis Ashore seharga 4 miliar dolar AS, semakin memperkuat indikasi bahwa Washington sedang mendorong Jepang untuk semakin meningkatkan postur pertahanannya secara lebih agresif.

Inilah tren global yang harus diantisipasi para stakeholders atau pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI. Bahwa pembatalan secara sepihak perjanjian senjata nuklir jarak menengah INF dengan Rusia, terkandung potensi menuju meningkatnya eskalasi konflik militer di Asia Timur dan Asia Tenggara, seturut semakin tajamnya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com