Membaca Agenda Tersembunyi di Balik Isu Kegagalan Pertemuan Trump dan Kim

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Telaah Kecil Geopolitik

Apabila telah memahami skema besar (global)-nya, niscaya mudah membaca agenda/tema serta isu-isu yang sudah dan/atau yang akan muncul di atas permukaan. Inilah clue geopolitik. Sekali lagi, pahami dulu skemanya maka akan relatif mudah membaca agenda dan isu-isu yang berkembang.

Menurut Craig Unger dalam buku House of Bush, House of Saud, Scribner (2004), bahwa kebijakan politik Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah selalu berkaitan dengan dua hal yaitu minyak dan Israel. Itulah skema besar dalam membaca manuver apapun AS di Timur Tengah, bahkan barangkali juga semua kebijakan AS di dunia? Itu cuma masalah ruang hidup (living space atau lebensraum).

Jadi, entah isu al Qaeda di Afghanistan, entah isu senjata pemusnah massal di Irak, atau isu pelanggaran HAM berat di Libya, ataupun isu pemimpin tirani di Mesir, Suriah, Tunisia, Yaman dan lain-lain, apapun agenda lanjutan setelah isu ditebar ke publik global, maka entah melalui hard power/invasi militer atau smart power/gerakan massa (nirmiliter) seperti modus Arab Spring kemarin yang sempat menggoyang negara jajaran Jalur Sutra —ini adalah geostrategi— bahwa skema (kolonialisme)-nya tidak berubah sepanjang massa, yakni pencaplokkan geoekonomi (pangan dan energi) di negara target. Dan secara geopolitik, apa yang dikatakan Unger terkait minyak dan Israel di setiap kebijakan Paman Sam, itu hanya bagian kecil dari apa yang disebut skema geoekonomi, hal yang hendak diraih oleh AS. Intinya, what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. “Politik praktis memang bukan apa yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal HAM, maka yang ia maksud adalah minyak dan gas alam (Pepe Escobar, Asia Times, 27 September 2007).

Jadi, membaca isu dan agenda atas kegagalan pertemuaan antara Donald Trump dengan Kim Jong-Un, pertanyaannya adalah: “Kemana agenda dan skema akan dilabuhkan?”

Tak dapat dipungkiri, bahwa lingkungan strategis bergerak serta berubah-ubah sesuai tuntutan zaman. Berbagai isu muncul lalu menghilang. Timbul tenggelam, datang dan pergi. Akan tetapi, hari ini — terdapat dua isu strategis yang bersifat aktual lagi sangat faktual, antara lain yaitu:

Pertama, pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik. Catatan ini tidak mengkaji mengapa geopolitik bergeser, atau sebab apa ia bergeser, dan lain-lain sekali lagi, entah mungkin akibat pertumbuhan ekonomi, peningkatan konsumsi, tingginya daya beli ataupun potensi pasar terus meluas, aspek-aspek tadi tidak akan dibahas. Ya. Catatan ini hanya menyoroti bahwa ada pergeseran 60% armada perang AS ke Asia Pasifik sewaktu era Obama dan dilanjutkan oleh Trump. Itulah hal aktual lagi faktual di level global;

Kedua, perubahan power concept pada dinamika geopolitik dari sebelumnya mengkedepankan power militer, sekarang berubah menjadi power ekonomi yang di depan. Ya. Power concept ialah penggunaan kekuatan dalam geopolitik yang meliputi power militer, power politik dan power ekonomi.

Maka menganalogi dinamika isu-isu di atas, ibarat gelombang lautan, bahwa perubahan power concept ini dianggap “arus inti” dalam geopolitical shift dari Atlantik ke Asia Pasifik. Artinya ke depan, jika merujuk dua isu strategis tadi, kemungkinan tidak akan dijumpai military war (perang secara militer) tetapi justru trade war (perang dagang) sebagaimana isyarat Trump terhadap Cina. Pertanyaan muncul, sedang tren geopolitik global adalah trade war, tapi mengapa AS masih menggeser 60% armadanya ke Asia Pasifik?

Tak boleh disangkal, implementasi power concept setiap negara berbeda. Tergantung mapping geopolitik masing-masing. Jepang contohnya, ia lebih mengkedepankan aspek ekonomi dan sedikit power politik, meski akibat perubahan situasi akhir-akhir ini, ia telah menghidupkan kembali kekuatan militernya. Korea Selatan lebih menonjolkan sisi ekonomi dan sedikit pada power politik dan militer. Kalau Korea Utara terlihat cenderung menampakkan power militernya terutama nuklir. Cina hampir menyamai Paman Sam, ketiga-tiganya dimainkan terutama sisi ekönomi, sedang power politik dan militer dijalankan secara tersembunyi, menumpang pada power ekonomi. Sementara AS menjalankan ketiga power concept secara sinergi dengan intensitas berbeda. Tergantung target sasaran. Nah, sampai disini mungkin telah terjawab, kenapa dalam atmosfer trade war sekarang justru AS masih mengerahkan 60% armada perangnya ke Asia Pasifik. Artinya, selain national interest (kepentingan nasional) Paman telah mendunia sehingga terkesan malang-melintang seperti Polisi Dunia, juga ia didukung oleh enam US Command dan tujuh armada perang di berbagai belahan bumi. Dengan demikian, penggeseran 60% armadanya hanya seperti menggeser prioritas penggunan kekuatan sesuai tren dan tuntutan kepentingan nasionalnya.

Merujuk judul tulisan ini tentang agenda tersembunyi di balik kegagalan pertemuan antara Trump dan Kim, tak boleh dielak, isu reunifikasi Korea adalah pintu pembuka saja. Sekali lagi, reunifikasi hanya entry point. Jalan pembuka belaka. Kenapa? Setimen etnis dan/atau serumpun, sedarah — dijadikan bahan utama bagi AS guna “menjinakkan” Korea Utara yang selama ini liar, cenderung sulit dikendalikan oleh AS, si Polisi Dunia.

Dan ia sangat memahami, ada Cina di belakang Korea Utara selama ini selaku supporting segalanya. Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus punya modal dan andalan). Dan agaknya, Cina merupakan modal dan andalan bagi Kim sehingga berani menantang hegemoni superpower. Dan dari perspektif geopolitik, eksistensi Kim ini menambah deret keprihatinan atas skema multipolar yang membuat menurunnya hegemoni AS di mata global. Kenapa begitu, dari sisi power ekonomi misalnya, muncul kompetitor baru selain Cina, ada Korea Selatan, India, Rusia, Brasil, Jepang, Taiwan, Iran, juga Afrika Selatan dan lain-lain. Dari sisi militer dan power politik, ada Rusia, Cina, Korea Utara, Turki, Jepang dan seterusnya. Tidak ada pengelompokan ideologi sebagaimana Era Perang Dingin. Semua mencair berbasis persinggungan kepentingan nasional masing-masing. Dari perspektif hegemoni AS, situasi multipolar ini berbahaya karena sulit dikendalikan oleh Polisi Dunia. Manuver negara-negara niscaya akan bergerak sesuai kepentingan nasional masing-masing. Oleh karena itu, ia menyadari kondisi multipolar ini justru merugikan hegemoninya. Paman Sam ingin mengembalikan kondisi global menjadi bipolar (dua kutub) sebagaimana Perang Dingin dulu. Maka ketika isu reunifikasi Korea telah membawa euphoria Kim untuk meledakkan dan melucuti sendiri gudang-gudang dan sarana nuklirnya, inilah sejatinya agenda utama AS terhadap Korea Utara yakni denuklirisasi. Korea Utara tanpa nuklir ibarat ayam jantan tanpa taji, seperti harimau tanpa taring dan cakar. Mandul. Banyak negara kecewa atas kegagalan tersebut termasuk Singapura yang rencana menjadi tuan rumah pertemuan keduanya.

Hingga detik ini, metode asymmetric warfare (peperangan asimetris) yang dilancarkan oleh Trump mungkin dianggap berhasil, karena tanpa letusan peluru — Korea Utara berubah menjadi harimau tanpa cakar dan taring. Tetapi pertanyaannya, apakah mungkin Kim sebodoh itu dengan permainan asimetris Paman Sam? Kita tunggu episode berikutnya.

Terima kasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com