Membaca Isu Natuna dan Tewasnya Panglima Qassem Soleimani (Bagian II)

Bagikan artikel ini

Diskusi Geopolitik di Awal 2020

Geopolitik memberi isyarat, bahwa peperangan apapun itu hanya agenda atau sekedar tema, sedang inti tujuan adalah geoekonomi. Jadi sebenarnya, dalam konteks geopolitik, tak ada itu perang agama, tidak ada konflik ras, antarsuku, golongan, ataupun pertikaian antarmazhab dalam agama, atau peperangan ideologi dan lain-lain. Semua itu penyesatan. Bohong. All warfare is deception, kata Sun Tzu.

Sekali lagi, dari perspektif geopolitik, perang apapun hanya geostrategi guna meraih apa yang disebut dengan istilah GEOEKONOMI. Jangankan di level global, konflik lokal semacam kerusuhan Ambon, misalnya, atau konflik Sampit yang digebyarkan merupakan konflik agama dan perang suku, ternyata faktor utamanya adalah (geo) ekonomi. Cermati urutan diksi: Geopolitik-Geostrategi-Geoekonomi. Jangan dibolak-balik. Geopolitik dilangkahkan dalam rangka meraih geoekonomi melalui apa yang disebut dengan geostrategi. Itu narasi singkatnya.

Urgensi Cina menebar isu sengketa perbatasan di Laut Natuna —secara asymmetric war— isu tadi di antara dua pola yang tengah dijaring, antara lain:

Pola pertama, itu test the water. Memancing reaksi publik sekaligus melihat kesiapan serta kekuatan militer Indonesia; atau memancing munculnya stakeholders baik orang, kelompok, atau negara tertentu yang selama ini menikmati “aliran gas” dari Natuna; dan tidak kalah penting bahwa melalui isu tadi, Cina kembali mempeta ulang siapa pro dan siapa yang kontra atas tindakannya;

Pola kedua, isu tersebut sengaja dilempar sebagai pintu pembuka untuk mencaplok Natuna karena faktor (geoekonomi) perairan Natuna sangat strategis bagi jalur “energy security“-nya, selain sumber daya alam dan ikan yang berlimpah. Hal ini dianggap sebagai keniscayaan karena tercermin dari Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) yang sudah berada sejak tahun 1947.

Tidak boleh dipungkiri, kepentingan nasional Cina ialah lintasan pelayaran baik jalur energy security maupun akses ekspor – impornya yang melintas dari Lautan Hindia – Selat Malaka – Laut Cina Selatan, dimana Laut Natuna berada pada jalur lintasan tersebut. Ada 80% atau sekitar 7 juta barel minyak melintas di Selat Malaka terus berlanjut ke Laut Natuna. Inilah geopolitical flashpoint di satu sisi, barangsiapa menguasai jalur ini akan mengendalikan Cina, sementara di sisi lain, ia pasti meradang bila jalur tersebut diganggu atau terganggu karena akses “energy security“-nya terhambat, dan bisa menyebabkan kolaps.

Kegelisahan Cina kemarin —di era Obama— selain bercokol Armada ke-7 Amerika di Singapura (Selat Malaka), juga ancaman AS hendak memblokade Laut Cina Selatan.

Gilirannya, kekhawatiran Cina agak reda ketika Hu Jintao menerbitkan String of Pearl —ini benih dari OBOR atau Belt and Road Initiative (BRI) yang kini mengglobal di Era Xi Jinping— sebuah strategi pengamanan jalur energy security dari Lautan Hindia hingga Laut Cina Selatan, sehingga dalam peta terlihat seperti Untaian Kalung/String of Pearl.

Dan melalui String of Pearl pula, ia mampu mengakuisisi hampir semua pelabuhan di pesisir Lautan Hindia dan seaport negara pesisir di Laut Cina, termasuk penguasaan ilegal terhadap Spartly dan Paracel, kepulauan sengketa di Laut Cina.

Sekarang balik ke Negeri Para Mullah. Secara fisik, hal yang mustahil jika Iran berani menyerang AS secara terbuka kecuali ia diserang terlebih dulu. Tetapi agaknya, “Bendera Merah” telah dikibarkan di Qum, sesuatu yang belum pernah terjadi di era sebelumnya. Artinya, Iran siap berperang di medan apapun, dimanapun, kapanpun!

Iran niscaya, akan memainkan jaringannya dan memberdayakan proxy di luar secara optimal guna melakukan aksi balasan terhadap semua kepentingan AS di Jalur Sutra. Hezbullah, misalnya, milisi Irak pro-Iran bakal menaikkan tensi aksi, atau Houti di Yaman akan meningkatkan intensitas gerakan, kemudian milisi di Suriah, Hizbullah di Libanon, di Kenya dan lain-lain.

Tanpa disadari, tewasnya Panglima Qassem telah menyatukan gerakan para milisi yang selama ini terkesan sporadis dan terpecah-belah. Dan sialnya, AS kini justru menjadi musuh bersama!

Kawasan Jalur Sutra dan zona penyanggah sekitarnya niscaya menjadi “neraka” bagi AS dan sekutu. Ini yang pasti terjadi.

Nah, hal-hal di atas, itulah yang kelak disebut dengan istilah “kekuatan tersembunyi” di setiap negara sebagaimana frasa pada prolog tulisan ini (paragraf ke-9 di Bagian I). Mengapa?

Ya. Kekuatan tersembunyi di setiap bangsa itu ada, nyata dan berada. Bukan hoax, bukan pula fiksi. Cöntoh, pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya tempo doeloe. Betapa cuma berbekal senjata rampasan dan semangat juang pantang menyerah, pemenang Perang Dunia II pun harus mengakui “neraka” di Surabaya. Dua jenderal sekutu pun tewas. Dan mereka harus angkat kaki jika tidak ingin menanggung malu. Ya. Pertempuran 10 Nopember 45 tercatat dalam sejarah dunia sebagai peperangan super dahsyat.

Secara teori, arek-arek Surabaya harusnya takluk dalam hitungan hari karena secara jumlah, peralatan dan mesin perang serba kalah, dan kalah canggih bila dibanding peralatan sekutu.

Itulah dahsyatnya kekuatan tersembunyi yang dimiliki Indonesia pada masanya. Belum yang di Vietnam ketika mengusir Paman Sam. Yang paling aktual ialah perang Israel – Palestina kemarin. Beberapa kali Israel mengumumkan perang, tetapi selalu Israel yang meminta gencatan terlebih dulu kendati secara peralatan, mesin perang dan lain-lain justru Palestina kalah canggih. Ada apa sesungguhnya?

Atau kekuatan tersembunyi di Afghanistan ketika Taliban dikeroyok secara militer oleh NATO dan ISAF (41-an negara) pimpinan AS selama 10 tahun (2001 – 2011) hingga AS mengalami krisis ekonomi karena dana perang belum kembali, lalu angkat kaki dari Afghanistan, Taliban toh masih eksis hingga kini.

Berbasis realita dan eksistensi kekuatan tersembunyi di beberapa negara di atas, lalu membandingkan kekuatan militer antara Cina – Indonesia, dan AS versus Iran, maka jawabannya adalah: “Jangan tertawa dahulu Amerika! Jangan dulu berdendang, Cina!”

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com