Membaca Isu Natuna dan Tewasnya Panglima Qassem Soleimani (Bagian I)

Bagikan artikel ini

Diskusi Geopolitik di Awal 2020

Awal tahun 2020, ada isu cukup menghebohkan bagi diskursus geopolitik baik lokal maupun global. Beberapa isu tersebut relatif menggelisahkan karena disinyalir mampu menjadi trigger untuk peristiwa yang lebih besar (perang), baik itu perang terbuka secara militer karena menyangkut kedaulatan dan harga diri bangsa, maupun perang senyap sebagaimana yang kini tengah berlangsung secara masif di berbagai sektor.

Adapun isu-isu dimaksud antara lain:

Pertama, klaim Cina atas perairan Natuna. Dan isu ini telah disikapi oleh Menlu Retno atas nama pemerintah. Intinya agar Cina menghormati dan kembali ke UNCLOS 1982. Dan sikap pemerintah tadi dibarengi pengerahan TNI guna mengamankan Natuna;

Kedua, tewasnya Panglima Pasukan (elit) Quds, Iran, Mayjen Qassem Soloemani akibat ditembak 3 roket Katyusha oleh helikopter Apache Amerika (AS) di Bagdad, Irak, dan lain-lain.

Mencermati situasi di atas, jika nantinya jalur diplomasi telah buntu (Iran dan AS mungkin buntu sejak awal), kemungkinan perang terbuka bakal meletus antara negara-negara yang bertikai. Kenapa? Karena kedua isu di atas sangat terkait erat dengan kedaulatan dan harga diri sebuah bangsa.

Pertanyaan menggelitik timbul, “Jika diskursus diplomasi menemui jalan buntu, apakah Indonesia akan menyatakan perang melawan Cina demi Natuna; dan adakah Iran menyerang Paman Sam guna membalas tewasnya Qassem?” Tulisan ini mencoba mengurainya secara sederhana.

Dari perspektif perang modern, siapa kalah dalam jumlah personel, peralatan dan kalah canggih mesin perang maka identik dengan kalah perang. Civis pacem parabellum. Ini mapping awal yang lazim pada sebuah peperangan (kecuali perang gerilya). Iran contohnya, apakah ia berani secara frontal membalas menyerang Paman Sam secara terbuka, sedang saat ini tengah dikelilingi puluhan pangkalan militer AS siap serbu? Demikian pula Indonesia, apabila jalur diplomasi mengalami kebuntuan, apakah harus berperang melawan Cina? Mari kita mapping kekuatan secara garis besar.

Militer Indonesia berada di peringkat 16 dunia, di bawah Pakistan dan di atas Israel. Sementara kekuatan militer Cina berada di peringkat 3 dunia, di bawah AS dan Rusia, di atas India dan Prancis. Belum lagi soal jumlah personel, peralatan, mesin perang dan lain-lain. Inilah poin-poin uraian.

Cina memiliki 2,6 juta personel militer yang meliputi 2,1 juta tentara aktif dan 510 cadangan. Armada laut Cina ada 714 kapal terdiri atas 1 kapal induk, 52 fregat, 33 kapal selam, 192 kapal patroli dengan didukung 33 pangkalan. Kekuatan daratnya ditunjang 13 ribu tank, 40 kendaraan lapis baja, 2 ribu roket proyektor, 4 ribu artileri otomatis dan 6.246 artileri manual. Sementara kekuatan udara Cina terdiri atas 1.222 pesawat tempur, 281 helikopter perang, 1000 helikopter, 1.564 pesawat pembom dan meriam antiudara plus 193 pesawat transportasi. Cina memiliki sumber daya minyak bumi sejumlah 10 juta barel/hari dengan cadangan minyak bumi 25 miliar barel. Ia juga memiliki 16 pelabuhan utama dan 507 bandara siap pakai dalam kondisi perang.

Sementara Indonesia memiliki sekitar 800 ribu terdiri atas 400 ribu personel aktif dan 400 ribu cadangan. Kekuatan armada laut 221 kapal meliputi 8 fregat, 24 korvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli serta 11 pangkalan perang laut. Indonesia tidak punya kapal perusak dan kapal induk. Adapun kekuatan darat didukung 315 tank, 141 artileri otomatis dan 356 manual, 36 proyektor missil serta 1.300 kendaraan lapis baja. Sedang matra udara punya 41 pesawat tempur, 8 helikopter perang, 192 helikopter, 65 pesawat pembom dan meriam antiudara. Sebuah operasi militer membutuhkan logistik dan bahan bakar. Dan Indonesia punya sumber daya minyak 1,66 barel/hari serta cadangan minyak 3,23 miliar barel. Ia juga memiliki 14 pelabuhan utama dan 673 bandara yang bisa dimodif guna kepentingan militer. Itulah kekuatan militer di atas permukaan, meski tidak menutup kemungkinan tiap-tiap negara memiliki “kekuatan tersembunyi” yang tidak diketahui oleh publik.

Nah, membandingkan data kekuatan militer beserta infrastrukturnya antara Cina dan Indonesia —dari perspektif perang modern— jika terjadi perang antarkedua negara maka ibarat pergulatan David and Goliath, atau seperti Elly Pical versus Mike Tyson. KO dalam hitungan menit? Belum tentu juga.

Bersambung Bagian II

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com