Membaca Isu Pagebluk sebagai Pertanda Perubahan Peradaban

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil dari Perspektif Filsafat dan Local Wisdom

Telaah kecil ini tidak membahas hangatnya konstelasi (geo) politik atas merebaknya coronavirus disease (Covid-19), dimana antara Cina dan Amerika (AS) saling tuduh tentang siapa pembuat dan penebar Covid-19 di Wuhan, asal coronavirus bermula. Retorika menggelitik timbul, “Sebenarnya coronavirus itu made in siapa?” Masih pro-kontra hingga kini bahkan muncul apa yang disebut “perang narasi” antara kedua adidaya.

Pada satu sisi, terdapat analisa bahwa isu corona merupakan playing victim dari Cina sendiri. Ia korbankan satu kota untuk kuasai (hegemoni) dunia. Itu sudah jamak di dunia geopolitik. Setiap tujuan niscaya membawa korban. Itulah tumbal politik. Kenapa? Selain pengalihan isu atas kebijakan kontroversi terhadap Xinjiang dan Hongkong, analisanya juga untuk melambatkan ekonomi agar tak terjadi bubble economy; lalu mengherokan diri dalam pola penanggulangan Covid-19; membantu negara lain dan seterusnya. Tetapi dalam skenario playing victim ternyata out of control alias lepas kendali –kebablasan– sehingga luas menjalar, tak dapat dikendalikan dan menimbulkan shock global.

Di sisi lain, ada pula kajian bahwa Covid-19 justru dibuat dan disebarkan oleh AS sendiri guna menghancurkan perekonomian Cina yang semakin melaju bahkan hendak melampui AS, sang superpower. Dalam perspektif hegemoni AS, siapapun yang hendak mengungguli superower maka harus dihambat dengan berbagai cara baik secara militer ataupun nirmiliter. Pada gilirannya, lahirlah perang narasi antara keduanya di panggung (geopolitik) global, saling tuduh.

Namun agaknya, ada yang terlewatkan. Publik global sendiri hampir lupa atau abai terhadap sesuatu. Apa itu? Bahwa hingga saat ini justru belum satu pun dijumpai narasi entah telaah, asumsi, ataupun analisa perihal: “Jangan-jangan isu Covid-19 justru silent operation dari kedua adidaya secara senyap.” Artinya, jika asumsi ini diterima, maka ada semacam bagi-bagi peran (dan tugas) serta kavling-kavling geoekonomi antara kedua adidaya. Ini baru tahapan mungkin, asumsi ini sangat-sangat prematur. Mungkin Cina dapat rapid test, masker, mungkin dapat projek ini-itu dan seterusnya, atau Paman Sam kelak dapat vaksin antivirus dan lain-lain.

Lantas, bagaimana dengan (perang) narasi saling tuduh di atas? Jika asumsi prematur ini benar, maka jawabannya: “Itu cuma skenario deception alias isu penggaduhan tetapi bertujuan untuk penyesatan publik.”

Kali ini, saya agak sepakat dengan isyarat filosofi dari Rocky Gerung, “Satu skenario dua lakon. Berganti – ganti aktor, dalam cerita yang sama kotor”.

Dan entah benar atau tidak, mau percaya atau tidak, hukumnya sunah. Biarlah waktu yang kelak mengungkap. Sebab kebenaran kerap memiliki jalannya sendiri.

Ini sekedar prolog awal sebagai latar dalam telaah kecil berbasis filsafat dan local wisdom.

Sesuai judul, catatan ini tidak membahas ke arah (geopolitik praktis) sana, namun membahas isu corona dari perspektif filsafat dan local wisdom. Inilah uraiannya secara singkat lagi sederhana.

Ya. Munculnya pandemi Covid-19 yang kini merebak ke berbagai negara secara cepat dan mematikan, bila ditelaah dari perspektif local wisdom (kearifan lokal) khususnya kearifan masyarakat Jawa, apapun epidemi dan/atau pandemi kerap disebut dengan istilah “pagebluk”. Dan munculnya pagebluk atau wabah merupakan pertanda bakal datang tatanan (kehidupan) baru baik di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dll entah di level lokal/nasional, regional bahkan di tingkat global. Dalam kepercayaan Jawa, pagebluk itu isyarat atau pertanda akan tiba era perubahan (atau datang peradaban baru) terutama di wilayah dimana pagebluk itu mewabah.

Cina sebagai asal Covid-19 berbiak, misalnya, mungkin tatanannya akan berubah. Entah apa bentuknya nanti. Atau Italia yang jumlah korban Covid-19 sudah melebihi Cina, pasti juga akan berubah, atau Amerika, Jepang dan seterusnya bahkan Indonesia yang kini terjangkit pagebluk corona akan berubah tatanannya. Entah iya atau tidak, ini bukan ramalan tetapi isyarat berbasis kearifan Jawa.

Sedangkan filsafat sendiri mengisyaratkan, bahwa faktor utama sebuah perubahan ialah ketidakpercayaan khalayak (public distrust). Ya. Ada public distrust terbenam di benak publik. Mengendap lama menunggu momentum.

Dan berbicara perihal kepercayaan (public trust) itu berasal dari dua arah, yakni logika dan hati. Aspek logika perihal baik dan buruk, benar atau salah. Sedangkan aspek hati tentang (rasa) adil dan tidak adil.

Adanya kepercayaan di publik terhadap “sesuatu” (entah nilai, teori, rezim, kebijakan, program, dan seterusnya) itu ketika ia berjalan di publik secara baik, benar serta adil sesuai pilihan logika dan hati publik. Itulah kepercayaan atau public trust. Tetapi ketika ia (sesuatu) berjalan sebaliknya –dipandang tidak baik dan tak adil– maka disinilah awal muncul benih ketidakpercayaan bersemi di taman logika dan hati rakyat terhadap sesuatu tadi.

Lantas, bagaimana hubungan antara pagebluk dengan perubahan? Ada. Bahkan nyata dan berada (existance). Artinya, pola penanggulangan pihak berwenang, cara antisipasi pagebluk, dan terutama sekali adalah dampak dari pagebluk itulah yang kelak menjadi faktor dominan dan pendorong dari sebuah perubahan peradaban.

Sebagai contoh pagebluk “maut hitam” (black death) yang pernah melanda Eropa di Abad ke-14 (1347 – 1352). Simpulan yang bisa diambil dari cerita pagebluk di atas bahwa black death, selain membidani negara bangsa (nation state), juga melahirkan apa yang kini dikenal dengan istilah revolusi industri. Bagaimana bisa begitu?

Munculnya black death bermula dari Sisilia. Ya. Keterlambatan otoritas Sisilia mengantisipasi wabah maut hitam yang masuk melalui pelabuhan Messina, berdampak buruk terhadap benua Eropa. Apa boleh buat. Eropa dijangkiti pandemi selama lima tahun sehingga melenyapkan hampir sepertiga penduduk. Selanjutnya pola dan cara antisipasi otoritas serta dampak dari black death inilah yang gilirannya menjadi faktor pendorong dari perubahan di Eropa. Kenapa? Karena kehilangan banyak penduduk maka pemukiman dan lahan pertanian menjadi longgar. Muncul fenomena. Tanah yang luas serta langkanya tenaga kerja membuat rakyat tidak mau lagi tunduk kepada sistem (perbudakan) feodalisme. Dan akibat kuatnya fenomena ini, akhirnya menghancurkan sistem feodalisme di Eropa yang telah bercokol ratusan tahun. Singkat cerita, bahwa untuk mengolah lahan baru, para petani mulai mengajukan pinjaman uang. Bukan untuk riba dan konsumtif, tetapi untuk usaha-usaha produktif. Agaknya otoritas gereja pun mulai longgar serta toleran terhadap bunga pinjaman karena aktivitas tersebut malah menumbuhkan perekonomian di Eropa. Perlu dicatat, ada kecenderungan di Eropa usai pandemi mewabah bahwa sebagian modal diinvestasikan ke inovasi teknologi. Dan pasca black death memang ditandai dengan kemajuan teknologi. Itulah perubahan akibat wabah atau pagebuk di Eropa.

Francis Bacon menandai hal tersebut dengan kehadiran kompas, misalnya, atau mesiu, mesin cetak, dan lain-lain. Perkembangan tersebut pada gilirannya membuka jalan bagi ekspansi pasar yang membidani apa yang disebut dengan istilah nation state (negara bangsa) dan revolusi industri yang mengubah peradaban dunia.

Merujuk diskusi di atas, retorika menggelitik pun muncul, “Apakah Covid-19 mampu membuka jalan bagi perubahan (peradaban) ke arah lebih baik di bidang politik, sosial budaya, ekonomi dan seterusnya sebagaimana pernah terjadi pada Abad ke-14 di Eropa; terutama bagi negara-negara yang kini terpapar coronavirus termasuk Indonesia?”

Let them think let them decide!

M Arief Pranoto, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com