Membaca Konflik al-Qaeda dan (Pemerintah) Yaman

Bagikan artikel ini

Abd. Basid

Salah satu berita internasional yang juga menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah berita al-Qaeda di Yaman. Kelompok al-Qaeda yang dianggap sebagai kelompok aliran ektremesm dalam memaknai agama kini tampaknya tidak tergantung pada figur satu atau dua tokoh. Telah banyak tokoh-tokoh al-Qaeda papan atas yang tewas, seperti pendiri al-Qaeda, Sheikh Abdullah Azzam (tewas misterius di Peshawar tahun 1989); Ali Rasyidi al-Panshiri (tewas di Danau Victoria, Afrika, 1996); dan Abu Musab As Zarqawi (tewas di Irak tahun 2006), namun aksi kelompok ini semakin subur, eksis, dan semakin berkembang dengan sumber daya manusia yang baru dan metode penyerangan yang baru pula.

Yaman, selama ini dikabarkan menjadi semacam surga persembunyian kelompok garis keras al-Qaeda ini. Karena itu, pemerintah Yaman mendapat tekanan keras dari Washington untuk memerangi al-Qaeda di Yaman. Washington juga menuduh bahwa al-Qaeda Yaman berada di balik aksi peledakan pesawat yang gagal pada Northwest Airline di Detroit, AS, persis pada hari Natal, 25 Desember 2009, melalui intelektual mudanya asal Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab.

Al-Qaeda dapat menumbuhkan benih-benih kekerasan dan radikalisme yang menghinggapi alam pikiran banyak pemuda Arab khusunya dan umat Muslim umumnya. Jika di luar sana jaringan ini identik dengan Osamah bin Laden. Tidak luput pula di Indonesia juga diberitakan dianut oleh aliran Abu Bakar Ba’asyir yang diatas namakan dengan Jama’ah Islamia Abu Bakar Ba’asyir. Karena demikian, maka tidak keliru jika publik mengkambinghitamkan aliran itu sebagai gembong aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sendiri, termsuk pada waktu bom bunuh diri di hotel di hotel JW Mariott dan Rits-Carlton Jakarta tahun 2009 kemarin, yang akhirnya terjadi penyergapan Ibrohim di Temanggung, Jawa Tengah dan penangkapan gembong teroris, Noordin M Top.

Pertanyaannya sekarang mengapa aliran al-Qaeda ini tetap eksis dan semakin berkembang? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada dua poin yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena ideologi al-Qaeda ini adalah sebuah proyek Jihadi. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, proyek Jihadi cukup berkembang. Hal itu menunjukkan proyek tersebut bukan bersifat temporal dan juga kemunculannya bukan karena sekadar aksi balas dendam. Proyek itu sudah ibarat putaran yang setiap saat mengisi kekosongan eksistensi atau identitas siapa pun akibat disia-siakan oleh rezim kekuasaan tempat mereka hidup, atau punya perasaan inferior, atau merasa terzalimi oleh masyarakat atau keluarganya.

Kedua, salah satu tujuan strategis al-Qaeda adalah terus berlanjutnya konflik antara Barat dan dunia Islam sehingga mereka bisa memiliki payung legitimasi etika dan politik dalam aktivitas terorisnya. Dalam hal ini, al-Qaeda berhasil dengan terlibatnya AS dan Barat dalam perang di Afganistan, Irak, dan Pakistan.

Selagi dua poin penyebab di atas masih dianutnya, maka aliran itu (radikalisme) akan tetap berkembang. Karena dari mereka (al-Qaeda) bukan dari golongan yang tidak tahu agama. Mereka dari golongan intelektual. Akan tetapi, karena ideologi mereka memang proyek Jihadi, maka setiap apa yang mereka perbuat diasumsikan salah satu tindakan jihad. Padahal konsep jihad tidak seperti itu.

Bagaimana cara untuk membendung usaha mereka? Untuk membendung dan menghentikan mereka, tidak ada lain kecuali meluruskan ideologinya. Kalau ideologi mereka tetap utuh, maka mereka tidak akan surut. Terbukti, ketika pria asal Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab, berada di pengadilan distrik Michigan, Amerika Serikat, pekan lalu, ia tampak tenang dan tak menyesali perbuatannya. Bahkan, ia mengungkapkan masih ada 20 kandidat pelaku serangan bunuh diri yang sedang antre untuk melakukan aksinya kapan saja.

Mengevaluasi kembali wacana variabel yang selama ini dipercaya sebagai faktor-faktor bagi bersemainya radikalisme ini kiranya menjadi solusi jitu untuk mengerdilkan ideologi itu.

Variabel pertama adalah bersemainya radikalisme sering dikaitkan dengan kemiskinan dan kebodohan. Wacana ini sangat dipercaya di dunia Barat dalam memandang fenomena kekerasan dan radikalisme selama ini. Padahal realita di lapangan, mereka yang tertarik bergabung dengan jaringan al-Qaeda sebagian besar justru berasal dari keluarga berada, kelas atas atau menengah, dan mengenyam pendidikan modern.

Variabel kedua, teks-teks ajaran agama dan kurikulum sekolah agama di dunia Islam kerap dituduh sebagai faktor pendorong perilaku radikalisme. Wacana ini dipercaya cukup kuat di dunia Barat dan bahkan juga di dunia Islam. Karena itu, para ulama terkemuka Islam sering turun tangan dengan memberi penafsiran yang moderat atas teks-teks ajaran agama agar dapat mengeringkan sumber kekerasan dan radikalisme. Padahal tidak sedikit dari sebagian besar loyalis al-Qaeda papan atas berlatar belakang pendidikan sipil modern, bukan salaf (agama).

Variabel ketiga sering dikatakan bersemainya perilaku radikalisme bagi para pemuda Arab dan Muslim lantaran mereka menolak atau tidak mampu berintegrasi dengan kehidupan modern yang didominasi peradaban Barat. Namun, kasus Abdulmutallab, al-Balawi, dan Muhammad Atta adalah mereka produk pendidikan modern dan beberapa waktu hidup di negara Barat atau di lingkungan yang berorientasi ke Barat, seperti al-Balawi yang beberapa tahun hidup di Turki. Persoalannya bukan hubungan Islam dan modernitas, tetapi lebih pada perasaan inferior, krisis identitas, dan rasa kesia-siaan sehingga mereka bergabung dengan al-Qaeda.

Variabel keempat adalah masalah kerancuan semantik. Pejabat dan media Barat sering mengidentikkan Tanzim al-Qaeda dengan paham konservatif atau salaf. Padahal, tidak semua penganut paham salaf dengan sendirinya anggota al-Qaeda.

Kiranya empat variabel di atas itulah yang perlu dievaluasi, yang nantinya evaluasi tersebut sebagai proses keniscayaan agar perang melawan jaringan al-Qaeda tidak berlanjut satu dekade lagi dengan hasil tidak ada pihak yang memenangi pertarungan secara mutlak seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

* Abd. Basid, salah satu nominator pada lomba essai nasional tentang “Islam dan Terorisme” yang diselenggaran oleh LPM Obsesi STAIN Purwokerto, Desember 2009; aktif di pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com