Membaca Lockdown dari Perspektif Asymmetric Warfare

Bagikan artikel ini

Telaah Singkat Geopolitik

Lockdown atau apapun istilah lainnya, jika ditinjau dari perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris) ia cuma sebuah tema atau agenda dari suatu skenario besar yang tengah dijalankan. Kenapa disebut skenario besar? Karena sifatnya mengglobal, antarnegara bahkan lintas benua. Di sini, saya tak menggunakan istilah Perang Dunia III.

Selanjutnya bicara “tema” pada koridor asymmetric war, artinya masih ada “skema” yang hendak dicapai setelah lockdown beroperasi. Sekali lagi, lockdown itu hanya agenda dari skenario yang tengah dihampar.

Pola tahapan atau urutan asymmetric warfare yang berulang bahkan hampir jadi keniscayaan ialah: “Isu -Tema/Agenda – Skema” atau disingkat ITS. Itulah pola asymmetric war. Isu ditebar, selain guna melihat reaksi publik, kacaukan situasi, membuat panik warga dan pemerintah, juga isu sebagai pintu pembuka dari skenario yang hendak digelar. Digelar oleh siapa? Mari kita lanjutkan diskusi kecil ini.

Panic buying, misalnya, itu bagian sasaran antara dari isu yang disebar. Karena pasca kepanikan, biasanya tema/agenda akan diluncurkan. Dan tema, selain ia kelanjutan dari sebaran isu, maka sifat dan warna tema merupakan penebalan kondisi dari (isu) situasi sebelumnya. Apabila isu mampu memproduksi social distancing, contohnya, atau panic buying dan lain-lain maka kondisi tahapan agenda adalah penebalan dari apa yang dìhasilkan oleh isu (panic buying, social distancing dan lain-lain), contohnya kerusuhan massa, penjarahan, atau turunnya dinamika sosial ekonomi dan seterusnya.

Ketika isu dan agenda berjalan sukses, maka lazimnya skema bakal ditancapkan.

Ya. Skema dalam pola asymmetric warfare merupakan ujung atau tujuan dari skenario yang dihampar. Seperti halnya konstelasi geopolitik, bahwa skema dalam perang asimetris adalah (geo) ekonomi. Entah berupa penguasaan ruang —baik fisik maupun nonfisik– entah pengendalian ekonomi moneter oleh adidaya tertentu akibat pasar saham berguguran, atau monopoli di bidang tertentu terkait hajat hidup orang banyak dan seterusnya hingga hidden program depopulasi, itu memang terpulang desire atau hasrat si pemilik hajat.

Bila coronavirus disease (Covid-19) ialah isu yang ditebar oleh adidaya —entah elit negara mana— dimana isu dimaksud terbukti menimbulkan kecemasan publik, memunculkan social distancing, panic buying dan seterusnya, maka lockdown merupakan langkah lanjutan dari kondisi (isu) sebelumnya. Nah, lockdown (agenda) nantinya —pada tempo tertentu— bisa menciptakan kerusuhan sosial, terutama sekali kelumpuhan ekonomi baik mikro maupun skala makro, serta memunculkan public distrust terhadap rezim dimana skenario tersebut dihamparkan.

Agaknya asymmetric warfare ber-isu Covid-19 yang kini gaduh, sesungguhnya bagian dari peperangan geopolitik para adidaya dimana ujungnya adalah perebutan geoekonomi sebagaimana diulas sepintas pada paragraf ke-6.

Ketika catatan kecil ini terbit, geoekonomi yang belum tercapai mungkin tinggal dua aspek, yaitu (1) vaksin antivirus, (2) kucuran utang dari lembaga keuangan global guna menanggulangi wabah Covid-19 bagi negara-negara. Entah siapa kelak kejatuhan “duren” se-dunia ini.

Tetapi di satu sisi, secanggih apapun skenario yang digelar oleh segelintir elit global, masih saja out of control. Lepas kendali. Sedang di sisi lain, apapun narasi dan perang hipotesis yang tengah masif terjadi, saya lebih meyakini ajaran local wisdom leluhur, yaitu “Bahwa apapun pagebluk (Covid-19 tergolong pagebluk) adalah pertanda akan datang perubahan zaman dan peradaban.” (baca: Membaca Isu Pagebluk sebagai Pertanda Perubahan Peradaban)

Demikian adanya.

M Arief Pranoto, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com