Membaca Sasaran Strategis Trump terhadap Cina

Bagikan artikel ini

Rangkuman dari Artikel Prof James Petras di Global Research.

Sebenarnya kalau soal konfrontasi antara AS dengan Cina, pada masa pemerintahan Barrack Obama sudah berlangsung sengit. Hanya saja tidak sefrontal Donald J Trump dengan menyatakan perang dagang secara terbuka terhadap Cina.

 Selengkapnya bisa dibaca dalam artikel Prof James Petras,

Reasons Trump Breaks Nuclear-Sanction Agreement with Iran, Declares Trade War with China and Meets with North Korea

Pada era Obama sempat diluncurkan apa yang kemudian kita kenal dengan Trans Pacific Partnership (TPP) yang mana tujuan utamanya tiada lain untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.

Dengan begitu TPP merupakan sebuah pakta antar berbagai negara yang dimaksudkan sebagai penggalana kekuatan berbagai negara dalam Perang Dangan terhadap Cina. Maka TPP tak pelak lagi ditujukan untuk membendung dan mengeluarkan Cina dari konstelasi kekuatan global di Asia Pasifik. Seraya membentuk suatu poros kekuatan menghadapi Cina.

Oleh sebab TPP hakekatnya merupakan pakta perdagangan sekaligus sekaligus poros kekuatan militer menghadapi Cina di Laut Cina Selatan, Gagasan strategis Obama inilah yang kemudian mengarah pada keputusan pemerintahan era Obama untuk memasang sistem pengawasan berkekuatan tinggi di Korea Selatan, dan latihan militer gabungan antara AS, Korea Selatan dan Jepang, di wilayah perbatasan Korea Utara.

Saat ini TPP dihentikan oleh Trump, namun konflik dan ketengangan AS-Cina sudah semakin menajam, oleh sebab kebijakan strategis Trump terhadap Cina justru semakin radikal. Dengan dinyatakannya perang dagang secara terbuka terhadap Cina. Salah satu indikasinya, menurut Prof Petras, bisa dilihat melalui manuver Trump terhadap Korea Utara.

Trump bahkan jauh lebih agresif daripada Obama, dengan mendesak Korea Utara menghentikan program nuklirnya (de-nuclearization). Petras yakin bahwa kesediaan Presiden Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan Moon dalam mencapai kesepakatan bersama untuk membuka kembali perundingan damai untuk mengakhiri 60 tahun permusuhan,  tak lepas dari manuver Trump tersebut.

Trump berkeyakinan bahwa kesepakatan damai di Semenanjung Korea hanya akan tercipta jika Korea Utara bersedia untuk melucuti senjata nuklirnya secara sepihak. Tetap hadinya kekuatan militer AS di Semenanjung Korea, dan adanya diizinkannya para pengawas senjata nuklir yang disetujui AS untuk datang ke Korea Utara sebagai supervise internasional.

Prof Petras yakin bahwa keputusan Trump melancarkan perang dagang terhadap Cina, berasal dari keyakinannya bahwa melalui ancaman militer akan mampu memaksa pemerintahan Proyongyang di bawah kepemimpinan Kim Jong-un untuk menyerah pada tekanan AS. Sehingga menghentikan secara total program nuklirnya.

Mengapa Trump sebegitu yakinnya dengan skenarionya? Menurut Petras hal itu didasarkan perhitungan Trump bahwa melalui deklrasi perang dagang, maka akan timbul krisis ekonomi di Cina. Dalam bayangan sederhana Trump, begitu ekonomi Cina ambruk, maka dominasi ekonomi AS di dunia akan bangkit kembali. Berhasilnya perang dagang terhadap Cina, pada gilirannya juga berhasil dalam perang militer.

Sebab dengan deklrasi perang dagang kepada Cina, maka Cina akan terisolasi dari dinamika pasar di Amerika. Maupun pasar yang berada dalam orbit pengaruh AS. Inilah keyakinan Trump bahwa dengan terisolasinya Cina dari dinamika pasar global AS, Washington akan mendapatkan kembali momentumnya untuk membangkitkan kembali dominasi ekonominya di seluruh dunia.

Terkait dengan soal Korea Utara tadi, berarti ini pula yang jadi dasar keyakinan Trump. Bahwa dengan ambruknya perekonomian Cina seturut dengan terisolasinya Cina dari pasar ekonomi global yang berada dalam pengaruh AS, maka Cina dapat dipaksa oleh Washington untuk mendesak Korea Utara menghentikan program nuklirnya.

Namun dalam penilaian Prof Petras, agenda Trump ini banyak titik lemahnya dan berbahaya. Sebab dengan menghentikan kesepakatan damai AS-Iran pada era Obama, pada perkembanganya akan membuat AS terisolasi dari  negara-negara sekutunya baik di Eropa maupun Asia.

Begitu jugga ketika Trump memilih opsi campur tangan militer ke Iran, berpotensi memantik perang regional di Timur Tengah, sehingga bisa menghancurkan ladang-ladang minyak Arab Saudi.

Lebih celaka lagi, menurut prediksi Petras, sikap agresif Trump malah akan mempersatukan kelompok liberal, nasionalis dan Islam, untuk melawan AS. Sehingga malah merusak jalinan hubungan AS dengan para kolaboratornya di Iran.

Bukan itu saja. Bisa-bisa gara-gara ulah Trmp, perlawanan terhadap AS akan meluas di Asia, Afrika dan Timur Tengah.

Dalam kaitannya dengan kebijakan perang dagang terhadap CIna, menurut Petras juga bisa boomerang. Selain ketahanan ekonomi Cina cukup kuat menanggulangi ancaman ekonomi jangka pendeknya, dan bahkan kembali menjadi kekuatan ekonomi global.

Selain itu, Cina malah bisa memanfaatkan momenmtum isolasi  yang dilakukan AS ini untuk meningkatkan diversifikasi  pasar maupun dalam memilih mitra-mitra dagangnya. Selain itu, persekutuan strategisnya dengan Rusia malah semakin erat dan solid. Termasuk kerjasama militer Cina-Rusia semakin diperkuat dan ditingkatkan skala dan eskalasinya.

Bahkan Wall Street pun akan mengalami goncangan keuangan sehingga malah bisa memicu timbulnya depresi ekonomi seperti pada dekader 1930-an.

Terhadap Korea Utara pun, Petras pesimis dengan manuver Trump. Sepanjang Trump bersikeras memaksa Korea Utara untuk melakukan penghentian total program nuklirnya, tetap bercokolnya tentara AS di Semenanjung Korea, dan agar Korea Utara memutuskan hubungan politiknya dengan Cina.

Sementara Kim Jong-un akan tetap bersikeras agar AS menghentikan sanksi ekonominya, dan tetap akan menjalin kerjasama pertahanan dengan Cina.

Kim bisa saja bersedia menghentikan uji coba rudal balistiknya, namun tidak akan mau menghentukan program nuklirnya secara total.

Apalagi dengan keputusan Trump membatalkan perjanjian damai antara AS-Iran di era Obama, Kim pasti berpandangan bahwa membuat perjanjian dengan AS sama sekali tidak bisa dipercaya.

Prof James Petras, Research Associate dari the Centre for Research on Globalization.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com