Membaca Ulang Karya Kishore Mahbubani: The New Asian Hemisphere, The Irresistible Shift of Global Power to the East,

Bagikan artikel ini

Membaca buku karya Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere, The Irresistible Shift of Global Power to the East, saya yakin kebangkitan Islam di abad 21 bukan khayalan kosong belaka. Hanya  saja, kita jangan kehilangan perspektif. Bahwa kebangkitan negara-negara Islam bisa saja terjadi,  sebagai faktor pengiring dari kebangkitan Asia dan Negara-negara berkembang pada umumnya. Di sinilah tesis menarik buku karya Mahbubani yang diterbitkan kali pertama di Amerika Serikat pada 2008 lalu.

Kishore Mahbubani dalam Asian Hemisphere menulis, kita telah mencapai akhir era dominasi Barat atas sejarah dunia (tapi bukan akhir Barat sebagai produk peradaban besar beberapa dekade terakhir). kedua, kita akan menyaksikan suatu renaisance yang menakjubkan di Asia.

Hanya saja Mahbubani kecewa dengan cara pandang orang-orang Barat merespons tren baru ini. Menurut mantan Duta Besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa itu, wacana strategis di Barat semestinya berfokus pada bagaimana Barat beradaptasi, tetapi hal itu tidak terjadi. Lebih runyamnya lagi, Barat telah bergeser dari kompeten menjadi inkompeten dalam menyikapi banyak masalah kunci tantangan global. Mulai dari terorisme, perubahan iklim, hingga menjaga rezim proliferasi nuklir.

Inilah yang justru memompa rasa tidak aman di dalam kalangan para pemikir Barat saat ini, sehingga selalu menggaungkan adanya situasi yang berbahaya di dunia.

Yang kita butuhkan bukan demokratisasi politik, tapi demokratisasi jiwa manusia. Itulah obsesi Kishore Mahbubani.

Pada tataran pandangan Mahbubani ini, saya sepakat dengan ulasannya ihwal buku karya Samuel Huntington, The Clash of Civilizations ketika menggambarkan situasi global pasca perang dingin.

Huntington menulis: “dalam politik peradaban, rakyat dan pemerintah-pemerintah peradaban non-Barat tak lagi sudi menjadi obyek sejarah, sebagai target kolonisasi Barat, melainkan ingin bergabung dengan Barat sebagai penggerak dan pembentuk sejarah.”

Selanjutnya Huntington mengingatkan, Barat kelihatan sekali menggunakan lembaga-lembaga internasional, kekuatan militer, dan sumberdaya ekonomi untuk menjalankan dunia dalam cara-cara yang tetap mempertahankan keunggulan Barat, melindungi kepentingan-kepentingan Barat, dan mempromosikan nilai-nilai ekonomi dan politik Barat.

Saya kira buku ini, sangat relevan sebagai informasi latarbelakang dalam menjelaskan persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik yang berlangsung dewasa ini. Bukan melulu ditelaah pada benturan kepentingan nasional antar kedua negara adidaya. Melainkan ada satu isu yang lebih besar dan strategis. Adanya keengganan para pemimpin Barat untuk mengakui tidak akan ada jaminan berlanjutnya terus dominasi global Barat, pada perkembangannya akan menghadirkan bahaya besar pada dunia.

Gambaran nyata reaksi negatif kalangan Barat atas buku Mahbubani ini, terlihat jelas melalui salah satu majalah berkala Inggris yang berhaluan sosialis liberal dan cara pandang lapisan elit pimpinan Inggris yang mapan dan ortodoks. Yaitu the Economist. The Economist, majalah yang sangat digandrungi oleh para intelektual berhaluan neoliberal di negeri kita sejak 1950-an ini, menggambarkan buku karya Mahbubani ini sebagai “sebuah polemik anti-Barat.” Waduh, kok bisa gitu ya.

Inilah yang memantik Mahbubani berkesimpulan bahwa beberapa masyarakat di Barat memang terbuka dalam sistem politik mereka, namun tertutup pikirannya.

Memang terlihat kecewa betul Mahbubani dengan cara pandang Barat yang tertutup, bahkan dari kalangan intelektualnya sekalipun. Bahkan Mahbubani sedari bab pendahuluan sudah kecewa dengan tajuk rencana atau editorial the New York Times dan Financial Times. Karena kedua orang tersebut menurut Mahbubani penuh dengan wacana-wacana sumbang.

Antara lain dengan menganut keyakinan bahwa 12 persen penduduk dunia yang hidup di Barat dapat terus mendominasi 88 persen sisanya yang hidup di luar Barat.

Alhasil, sangat logis ketika Mahbubani berkesimpulan melalui bukunya ini, bahwa Barat menjadi bagian dari solusi, namun juga sekaligus bagian dari masalah, di dalam usaha kita merestrukturisasi tata dunia. Atau dalam istilah Bung Karno, to build the world anew.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com