Memotret Masa Depan Hubungan AS dan China

Bagikan artikel ini

AS berulangkali mengatakan bahwa China merupakan ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Alih-alih dianggap sebagai kompetitor yang harus lawan secara sehat, AS justru menjadikan China sebagai musuh yang harus dilumpuhkan. AS sepertinya tidak akan mengubah haluan hubungan permusuhannya dengan China. Harus diakui bahwa negeri Paman Sam telah menjadi kekuatan ekonomi hegemonik dunia sejak perjanjian Bretton Woods tahun 1944. AS telah mendominasi perdagangan global melalui penggunaan dolar sebagai mata uang cadangan dunia dan menjadi lokomotif ekonomi di bidang teknologi maju.

Namun, semuanya sudah berubah menyusul kemajuan China yang siap menantang dominasi AS terhadap ekonomi global. Perjuangan eksistensial semacam ini telah dimainkan berkali-kali sepanjang sejarah ketika kekuatan dominan menghadapi persaingan dari negara-negara berkembang. Sejarawan Yunani, Thucydides, menjelaskan hal ini dengan sederhana, “Kebangkitan Athena dan ketakutan yang ditanamkan di Sparta inilah yang membuat perang tak terhindarkan.

Selama 500 tahun terakhir saja, ada 16 kasus di mana kekuatan hegemonik ditantang oleh kekuatan yang terus meningkat. Dalam sejumlah kasus, kontradiksi yang tak dapat didamaikan antara hegemoni dan penantang menyebabkan pecahnya perang.

Abad 21 seolah menjadi saksi adanya konfrontasi antara Uni Soviet dan AS yang nyaris menyebabkan perang nuklir dan menyebabkan serangkaian perang proksi yang sangat destruktif yang terjadi di seluruh planet ini.

AS seperti banyak kerajaan hegemonik lainnya di masa lalu, mulai dari Romawi hingga Kerajaan Inggris, telah membuat mereka mengalami kebangkrutan akibat perang demi mempertahankan posisi mereka sebagai kekuatan dunia.

AS melihat China sebagai ancaman jangka panjang terhadap dominasi ekonomi dan militernya yang tidak akan diselesaikan dengan kesepakatan perdagangan terbatas apa pun yang mungkin diselesaikan saat ini.

Randall Schriver, asisten Departemen Pertahanan untuk Urusan Keamanan Indo-Pasifik, membuat poin ini dengan jelas ketika berbicara pada peringatan 70 tahun Revolusi China di Brooking’s Institute:

“Kami merasa berada dalam persaingan karena pada dasarnya kami memiliki visi yang berbeda, aspirasi yang berbeda dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana arsitektur keamanan kawasan seharusnya. Secara global, China berupaya membentuk dunia yang konsisten dengan model otoriter dan tujuan nasionalnya.”

Dia menyatakan kegelisahan AS menyusul kemampuan ekonomi dan militer China yang terus berkembang pesat. Bahkan Schriver memberi simpulan, perkembangan militer China akan berdampak pada pengikisan “pundi-pundi” militer AS. Mengingat, China berupaya untuk menjadi kekuatan yang unggul di Indo-Pasifik sementara secara bersamaan membuat rencana untuk memperluas kehadirannya dan mempertahankan kemampuannya lebih jauh lagi.

Scriver mengakui bahwa imperium AS tidak lagi yakin bahwa kekuatan militernya akan bisa mengintimidasi negara-negara yang sedang bangkit untuk melawan hegemoni AS.

Pada akhir Perang Dunia II, AS mendominasi ekonomi global dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh bangsa lain dalam sejarah manusia. Banyak keuntungan yang dimilikinya, seperti dominasi dolar pada perdagangan global. Namun, lagi-lagi China memberikan tantangan AS demi upayanya untuk mengamankan pasar, bahan baku, dan sumber energi untuk memastikan standar kehidupan 1,3 miliar penduduknya.

Skenario AS Menghadapi China

Kelas penguasa AS menghadapi sejumlah pilihan sulit dalam sejarah ini. Setelah mendominasi abad ke-20, AS sekarang menghadapi penantang yang kuat di abad ke-21 yang tanpa henti mengejar strategi ekonomi yang akan meninggalkan AS dalam bayang-bayang kecuali jika berani mengambil tindakan tegas segera.

Beberapa tindakan yang mungkin di antaranya adalah AS bisa mencoba mencapai resolusi jangka panjang komprehensif dari perbedaannya dengan China yang secara efektif juga akan membagi dunia menjadi dua zona pengaruh ekonomi. Yaitu, zona Barat dipimpin oleh AS dan didukung oleh sekutu NATO dan zona timur yang dipimpin oleh China dan didukung oleh Rusia.

Pilihan lainnya adalah memerangi kekuatan ekonomi China yang yang terus melesat melalui perang ekonomi yang meningkat seperti sanksi komprehensif pada sektor-sektor utama industri hi-tech China, menghalangi China dari sistem pembayaran global SWIFT, memaksa perusahaan-perusahaan AS untuk melakukan divestasi dari China. Langkah-langkah seperti itu, tentu saja, akan mendorong ketegangan politik antara kedua kekuatan ke tingkat yang sangat berbahaya. Ini dapat mengakibatkan perang proksi yang sedang diperjuangkan atau paling buruk konflik konvensional yang dengan cepat akan meningkat menjadi perang nuklir.

Tentu saja, semua ini tidak terjadi dan kita mungkin melihat pergeseran dalam kebijakan AS sebagai perjuangan kelas politiknya untuk menyelesaikan masalah domestik yang mendesak. Turbulensi domestik di AS, diakui atau tidak, telah melemahkan kemampuannya untuk “menindak” Beijing, yang secara de facto justru memberikan ruang bagai China untuk tampil sebagai negara ekonomi terbesar di dunia yang akan mendominasi perdagangan global.

Konflik ekonomi dan geo-politik antara China dan AS akan semakin mendominasi urusan global selama beberapa dekade mendatang. Imperium AS menghadapi pilihan sulit baik untuk menghadapi, menyetujui atau mengakomodasi kekuatan yang meningkat dari China.

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com