Memprediksi Akhir Sengketa Senkaku-Diayou

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, MSi; staf pengajar dan alumnus Fisip Universitas Jember serta alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia

Sengketa kepulauan Senkaku (sebutan Jepang) atau Diayou (sebutan Cina) telah semakin memanaskan situasi politik dan keamanan di wilayah Laut Timur dan Laut Cina Selatan. Memang sejauh ini, belum ada tanda-tanda penyelesaian kasus ini akan dituntaskan melalui jalur perang, walaupun masing-masing negara sudah melakukan sejumlah propaganda, manuver ataupun unjuk kekuatan militer terkait sengketa pulau yang diklaim banyak mengandung minyak dan gas bumi tersebut.

Kedua negara sampai saat ini juga masih mengklaim sebagai pemilik sah kepulauan yang diperebutkan tersebut, dalam media massa Yindunixiya Shangbao edisi 12 Oktober 2012 misalnya Wakil Dubes Jepang untuk Indonesia, Yusuke Shindo mengatakan, Jepang ingin tetap menyelesaikan kasus Senkaku-Diayou secara damai. Sejak ratusan tahun lalu, nelayan Jepang telah melakukan penangkapan ikan dan tinggal di kepulauan Senkaku. Berdasarkan data sejarah Jepang dan manuskrip asal Cina menyatakan Senkaku adalah pulau milik Jepang. Salah satu buktinya adalah pemerintah Meiji pada tahun 1896 telah menyetujui adanya penangkapan ikan serta mengizinkan tinggal di pulau tersebut. Yusuke menegaskan bahwa pulau tersebut hingga kini masih berada dibawah pengawasan Jepang, Cina baru mengakui kepemilikan pulau tersebut tahun 1971.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hong Lei mengatakan, aksi Jepang untuk menarik perhatian Inggris, Jerman dan Perancis memboikot Cina terkait Senkaku-Diayou akan sia-sia. Pulau Diayou dan sekitarnya adalah wilayah Cina, sehingga Jepang menduduki wilayah Cina secara ilegal, seperti dimuat Harian Wen Wei Po Hongkong edisi 16 Oktober 2012.
Menurut Peter Gill dan Mark Phythian dalam buku “Intelligence in an Insecure World : Cambridge : Polity (2006) menyatakan, dalam permasalahan yang bersifat trans societal atau melibatkan banyak negara, maka jelas permasalahan tersebut terkait dengan hubungan internasional, sehingga untuk menganalisanya dengan pendekatan realisme, politik ekonomi internasional dan constructivism.
Indikasi kuat bahwa sengketa Senkaku-Diayou berdampak pada ekonomi dan perdagangan dunia antara lain seperti dinyatakan Zhang Monan dari Pusat Informasi Nasional Cina kepada Harian Wen Wei Po Hongkong edisi tanggal 10 Oktober 2012 mengatakan, memburuknya hubungan Cina-Jepang terkait perselisihan kepulauan Senkaku-Diayou akan berdampak serius terhadap pemulihan ekonomi dunia. Rangkaian efeknya tidak hanya membekukan ekonomi perdagangan Cina-Jepang, tetapi juga akan menimbulkan terpaan terhadap rantai suplai Asia bahkan ekonomi seluruh dunia.
Sementara itu, pakar masalah politik internasional Kantor Riset Global dan Regional Jerman juga kepada kepada Harian Wen Wei Po Hongkong mengatakan, persengketaan Cina-Jepang pada masalah Diayou-Senkaku adalah masalah peninggalan sejarah. Masalah itu menyangkut masalah tanggung jawab, permintaan maaf dan kompensasi Jepang terhadap negara-negara disekitarnya dalam PD II, juga terpengaruh hubungan sekutu strategis AS-Jepang dalam Perang Dingin. Sengketa ini adalah masalah geopolitik, sehingga bukan hanya masalah Cina-Jepang, namun juga ada campur tangan AS.
Menurut General Manajer Takagi Securities, Satoshi Yuzaki, produsen-produsen mobil Jepang mengalami penurunan penjualan yang tajam di Cina akibat konflik klam perebutan pulau Diayou-Senkaku. Penjualan mobil Toyota mengalami penurunan sekitar 49%, Honda (41%) dan Nissan (35%) pada September 2012, seperti dilansir Harian Yindunixiya Shangbao edisi tanggal 17 Oktober 2012.
Apakah akan terjadi perang?
Kemungkinan penyelesaian sengketa kepulauan Senkaku atau Diayou yang paling memungkinkan adalah diplomasi atau jalan damai, diselesaikan melalui Mahkamah Internasional atau dengan menggunakan jalur perang.
Berdasarkan data dari tim riset Global Future Institute, tim riset Global Future Institute, Cina mempunyai tentara aktif berjumlah 2.255.000 orang, tentara cadangan (800.000 orang), dan paramiliter aktif (3.969.000 orang). Angkatan Darat, Cina memiliki senjata bebasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700.
Di matra laut, Cina pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan kapal amphibi sekitar 121 unit. Menurut Harian Yindunixiya Shangbao edisi 3 Oktober 2012, kapal induk pertama Cina “Liaoning” 25 September 2012 diluncurkan dan tahun 2020 Cina akan memiliki 3 sampai 4 kapal induk. Angkatan Udara, Cina punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Sementara itu, tanggal 16 Oktober 2012, 7 kapal perang Cina berada di perairan sekitar 49 Km selatan ke tenggara Pulau Yonaguni, yang merupakan wilayah tidak berpenghuni dan secara internasional diakui sebagai milik Jepang, seperti dilaporkan Harian Yindunixiya Shangbao edisi 17 Oktober 2012. Kemudian di edisi tanggal 22 Oktober 2012, harian yang sama memberitakan 11 kapal AL Cina melakukan latihan bersama di Laut Timur tanggal 19 Oktober 2012. Pihak AL Cina menyatakan, latihan ini untuk menunjukkan kekuatannya kepada rakyat Cina dan dunia internasional. Media massa di Jepang mengatakan, latihan perang Cina tersebut berarti Cina telah mengarahkan “pedang” kepada Jepang dan menyebutkan militer Cina pada saat yang ditentukan akan siap masuk ke dalam pertempuran memperebutkan pulau Senkaku-Diayou.
Di pihak Jepang relatif masih biasa saja menanggapi manuver Cina. Harian Guoji Ribao edisi tanggal 3 Oktober 2012 memberitakan Dua kapal induk AS “USS George Washington” dan “USS Jhon C Stennis” yang masing-masing dilengkapi dengan 80 jenis peralatan tempur canggih memasuki perairan laut Cina Selatan dan Timur.
Duta Besar Jepang untuk AS, Ichiro Fujisaki mengatakan, AS tidak akan campur tangan dalam konflik Senkaku-Diayou, namun perjanjian keamanan AS-Jepang meliputi seluruh area kepulauan tersebut. Sementara itu, hasil pertemuan Wakil Menlu AS, William J Burns dengan Menlu Jepang, Koichiro Genba menyepakati penempatan pesawat Ospre MV-22 milik AS di pangkalan Funtenma, Jepang sebagai bentuk mantapnya hubungan sekutu diantara kedua negara seperti dilansir media Wen Wei Po Hongkong edisi 16 Oktober 2012.
Menurut Prof Robert Gallucci dari Universitas California Berkeley, beberapa prakondisi untuk memantik perang terbuka Cina dan Jepang sepertinya sudah tersedia. Pertama, pada Desember 2010 lalu, Tokyo telah mengumumkan haluan Pertahanan Baru sebagai respons atas meningkatnya anggaran militer Cina dan sepak-terjangnya di kawasan Asia Pasifik. Berarti, ada satu tren terjadinya militerisasi baik di pihak Jepang yang notabene masih terikat pada perjanjian persekutuan keamanan bersama antara Jepang dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai konsekwensi dari haluan baru pertahanan Jepang untuk mengimbangi kekuatan militer Cina, Jepang memutuskan untuk menjalin kerjasama strategis dengan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan nasional Jepang. Dan konsekwensinya, Jepang akan mempersilahkan kehadiran militer Amerika di Jepang (Mainichi Daily News, 2011).
Bukan itu saja. Di bagian lain kawasan Asia Timur, tepatnya di Selat Taiwan, ternyata Cina juga telah mengembangkan armada laut yang diperkuat dengan kapal selam yang memiliki jarak tembak 2100 km sehingga mampu memberlakukan Strategy anti access aerial denial, suatu strategi penolakan dan penangkalan terhadap kehadiran militer AS , sehingga mampu memaksa pasukan marinir AS berada di luar kawasan Selat Taiwan dan Pasifik Barat, jika sewaktu-waktu terjadi aksi militer Cina ke Taiwan.
Dari konstalasi kekuatan militer Cina yang seperti itu, angkatan bersenjata AS akan bisa dicegah untuk memberi dukungan angkatan laut kepada Jepang jika terjadi konflik militer terbuka antara Cina dan Jepang.
Dalam konteks pernyataan Peter Gill dan Mark Phythian tersebut diatas, maka tidak menutup kemungkinan sengketa Senkaku-Diayou terus akan “dipelihara” oleh Amerika Serikat sebagai “proxy war” yang dapat mencegah Cina akan menjadi negara kuat pada 2049. Oleh karena itu, dalam setiap sengketa di era ancaman yang bersifat asimetrik sekarang ini selalu harus dilihat dalam konteks “what lies beneath in the surface” nya, karena dari sudut constructivism yang kemungkinan sedang dijalankan AS adalah mereka ingin menciptakan landscape tata dunia baru yang menguntungkan mereka, terutama terkait dengan kemungkinan perebutan energi, air dan pangan di masa depan. Apalagi futurolog AS, Dr Samuel Huntington dalam bukunya the Clash of Civilization memprediksi akan pecah konflik militer terbuka antara Amerika dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada sekitar 2014-2017.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com