Mencermati “Tragedi Kemanusiaan” di Myanmar dari Perspektif Geopolitik

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Memotret tragedi di Arakan, Myanmar, sekali-kali jangan memakai cara pandang lazimnya. Apalagi disikapi sekedar “perang agama” (Islam versus Budha), atau konflik etnis semata (Rohingya versus Rakhine) di antara sesama warga Arakan sendiri. Ya, menelaah cleansing (pembersihan) etnis —istilah Hendrajit— Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), di sebuah negeri yang dulu bernama Birma itu, jangan pula dialihkan saling tuduh etnis mana yang kali pertama menyerang, atau didangkalkan karena dugaan pemerkosaan seorang wanita pemeluk Budha (suku Rakhine) oleh warga Rohingya (Muslim), dan lain-lain.

Isyarat Hendrajit dari GFI, kasus Arakan mirip konflik di Ambon dulu. Pemicunya masalah kriminal kemudian dipolitisasi sehingga membesar menjadi konflik komunal. “Untuk itu harus dipahami skema besarnya”. Yang sesungguhnya terjadi adalah cleansing masyarakat. Kalau melihat skema konflik mengarah pada konflik peradaban, selain mengorbankan warga masyarakat juga membenturkan peradaban. Dan kebetulan dalam konteks di Arakan ini yang memang kondusif adalah isu agama, kata Hendrajit ketika diwawancarai oleh IRIB, Iran (17/7/2012). Merujuk uraian sekilas di atas, menurut hemat penulis titik tolak setiap telaah terhadap kasus ini mutlak harus diawali dari asumsi umum pada konstalasi politik, bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global.

Rumor menyebut peristiwa di Arakan itu bukannya konflik biasa, tapi merupakan bencana atau tragedi kemanusiaan. Embrionya sudah terbenam lama. Di internal sendiri contohnya, meski ia bagian dari elemen bangsa Myanmar, Rohingya tidak diakui sebagaimana suku-suku lain. Berbeda dengan suku Bamar, Karken, Kayah, Arakan (disebut Rakhine), Mon, Kachin dan Chin yang hidup sebagaimana kelaziman warga negara. Entah kenapa, kebijakan pemerintah bertahun-tahun menolak kewarga-negaraan justru di tempat kelahirannya yang telah turun-temurun. Ia dianggap imigran ilegal asal Bangladesh. Adanya pembatasan gerak, tidak diberi kepemilikan hak atas tanah, perlakuan diskriminasi pendidikan serta layanan publik, dan lain-lain. Akhirnya Rohingya seperti kaum yang tidak memiliki negara atau stateless.

Terkait gelombang pengungsi, sikap pemerintah malah membiarkan. Sontoloyo! Tengoklah statement Presiden Thein Sein seperti “membuang” warganya sendiri. “Myanmar akan mengirim kaum Rohingya pergi, jika ada negara ketiga yang mau menerima mereka, kami akan mengambil tanggung jawab atas suku-suku etnik kami, tapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang masuk secara ilegal, yang bukan termasuk etnik Myanmar“, kata Sein kepada Antonio Guterres, Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi (14/ 7/2012).

Kepala Komisi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Nasional Majelis Iran, Alaeddin Boroujerdi mengatakan, kurangnya reaksi dari Dewan Keamanan (DK) PBB dan Organisasi Kerjasama Islam atas bencana tersebut tidak dapat diterima (21/7/2012).

Mundur sejenak dari catatan di atas, jika menyimak asymmetry strategy (strategi non militer) yang kini tengah gencar-gencarnya dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS), kondisi masyarakat serta model kebijakan warga semacam Rohingya di Myanmar, tertandai sebagai archilles (akiles) atau disebut titik kritis yang dapat “diletuskan” sewaktu-waktu karena embrio konflik memang melekat pada sistem sosial. Ini yang mutlak dicermati bersama.

Tulisan sederhana ini mencoba menguak permasalahan di Arakan bukan dari “apa yang terjadi” melainkan menelusuri mengapa cleansing etnis tersebut terjadi dikala tunas-tunas HAM serta demokrasi konon bermekaran pasca bebasnya Aung San Suu Kyi, tokoh pro-demokrasi sekaligus penerima Nobel Perdamaian. Janggal rasanya ketika Suu Kyi telah bebas dari rumah tahanan selama 15 tahun, justru tragedi kemanusiaan terjadi di depan matanya.

Sekjen OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu sampai melayangkan surat mendesak Suu Kyi agar memainkan peranan positif untuk membantu mengakhiri kekerasan terhadap komunitas Rohingya Muslim di negaranya. “Sebagai seorang Peraih Nobel Perdamaian, kami yakin bahwa langkah pertama dari perjalanan Anda dalam menciptakan perdamaian di dunia, dimulai dari negara anda terlebih dulu,” ungkap Ihsanoglu dalam suratnya.

Sesuai judul di muka, kenapa geopolitik dipilih sebagai perspektif dalam rangka menganalisa kasus ini, oleh sebab selain tua dan merupakan takdir suatu negara, kajian geopolitik tidak sebatas membahas di atas permukaan (subsurface) namun menelusuri what lies beneath the surface, apa yang terkandung di bawah permukaan. Termasuk melihat hal tersirat dari yang tersurat.

Sebelum melangkah jauh, perlu dikenalkan dahulu tentang geopolitik walau secara sekilas. Menurut beberapa pakar seperti Prof Friedrich Ratzel (1844-19040), Prof Rudolf Kjellen (1864-1922) dan Sir Halford Mackinder (1861-1961), benang merah geopolitik memiliki kesamaan esensi yaitu:

It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politican, the military planner and the diplomat can use geopolitic s as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning, geopolitics as the destiny”.

Sebuah kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu (Purbo S. Suwondo, Teori Strategi, PKN UI, 30 Juni 2011). Geopolitik adalah sebuah takdir. Dalam perspektif geopolitik, Pak Purbo mengisyaratkan perlu telaah secara cermat atas “ciri khas” berkenaan dengan geografis serta dinamika politik. Artinya geopolitik suatu negara bisa jadi kekuatan atau justru kelemahan, menjadi peluang atau malah menjadi ancaman. Tergantung bagaimana mengelola.

Dan agaknya, dinamika politik di era globalisasi kini melahirkan realitas kembar yang tidak terpisahkan, yakni: geopolitik dan geo-ekonomi. Artinya bicara geopolitik tidak akan lepas dari bahasan geo-ekonomi pula. Sedang geo-ekonomi itu sendiri menurut Pak Purbo, adalah kombinasi faktor ekonomi dan geografis yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Sesuatu yang ditandai oleh kondisi ekonomi atau politik yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan eksis atau dilakukan di tingkat internasional.

Oleh karena itu memahami “tragedi kemanusiaan” di Myanmar, mutlak harus dimulai dari penemuan gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal sekitar dekade 2004. Inilah ciri menonjol sebagaimana isyarat Pak Purbo tadi, dimana ketiga pakar geopolitik manca negara (Ratzel, Kjellen dan Mackinder) pada abad ke-19 menyebutnya sebagai “takdir”. Myanmar itu kaya minyak dan gas bumi.

Tatkala prakiraan deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun, maka semenjak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal – batas laut Andaman, Thailand menarik perhatian negara-negara. Tercatat Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia menyerbu Myanmar untuk eksplorasi serta eksploitasi penemuan tersebut, kecuali AS agak belakangan. Tumben Uncle Sam lambat-lambat padahal biasanya sangat agresif. Tetapi akhirnya diketahui ia pun ikut sharing via Chevron (AS) dan Total, Perancis.

Yang patut dicatat dalam “penyerbuan ke Myanmar” ialah geliat Cina. Tekadnya membangun pipa sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal sampai Kunming, Cina Selatan. Luar biasa! Jika kelak pipanisasi seharga 3 miliar dolar AS itu selesai, niscaya seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming. Lim Tai Wei, analisis dari Institute of International Affairs, Singapura mengatakan, apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut (World Politics Review, 21/8/2006), bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, modal transportasi import minyak Cina dalam jalur sangat aman dan lebih murah.

Pintarnya Cina, selain memanfaatkan pertemuan antar negara-negara di Tepian Sungai Mekong atau sering disebut Greater Subregion Mekong (GSM) di Viantine, Laos (30/3) tentang kerjasama ekonomi, sosial, infrastruktur, jalan, irigasi dan pembangkit tenaga listrik, ia juga membangun jalan raya trans-nasional menghubungkan Bangkok dan Yunan dengan dukungan Bank Pembangunan Asia. Mekong memang sungai lintas negara. Alirannya melewati Tibet, Yunnan, Cina – Myanmar – Thailand – Laos – Kamboja dan Vietnam sepanjang 795.000 km. Pada pertemuan GSM sepakat membangun jalan darat sepanjang 1800 km dari Kunming, China menuju Bangkok, Thailand.

Secara geo-ekonomi, karena kedekatan geografis interaksi di forum GSM saling menguntungkan. Sedang aspek geopolitik di satu sisi, khususnya bagi Cina dan Rusia yang berkepentingan atas pasokan gas dan mineral dari Myanmar, walau Rusia sendiri sebenarnya negara net oil exporter, sementara di sisi lain, Junta Militer Myanmar membutuhkan persenjataan dari kedua negara. Tak boleh dipungkiri, oil and arms interest diantara mereka ternyata sudah berjalan puluhan tahun. Ini persis “recycle petrodollar”-nya Henry Kisinger di Arab Saudi Cs. Kemiripan dua kebijakan dalam ujud riilnya bahwa Cina, (Rusia) dan AS membutuhkan minyak, sementara Myanmar dan Arab Saudi Cs memerlukan senjata guna menciptakan stabilitas dalam negeri serta menghadapi ancaman kawasan.

Dekade 1990-an, Cina memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang, dan keperluan militer ke Myanmar lainnya. Empat tahun kemudian, Myanmar memesan lagi kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Dan tahun 2005, dikirim lagi 400 truk militer untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan oleh Myanmar.

Rusia tak mau ketinggalan, ia juga penyuplai senjata ke Myanmar. Data terbaru menunjukkan tahun 2002, Myanmar memesan 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta menyewa pelatih pesawat tempur dengan total nilai US$ 130 juta. Dan sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Bahkan lebih dari itu, Myanmar menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia.

Dan pada bulan April 2004, mereka kembali melakukan kesepakatan selain minyak dan gas bumi, juga kerjasama penanggulangan obat-obat terlarang, trafficking, dan kesepakatan dalam hal menjaga informasi rahasia. Di samping kerjasama-kerjasama tersebut, perusahaan Rusia dan India (15 September 2006) menandatangani kontrak perjanjian bagi hasil dengan perusahaan nasional atau BUMN Myanmar untuk eksplorasi dan penambangan ekstraksi mineral di Mottama Offshore Block M-8.

Dua perusahaan Cina menandatangani kontrak mengelola eksplorasi minyak dan gas pada Blok M di Kyauk-Phru Township dan Blok A-4 di Arakan State. Selain itu telah pula ditandatangani MoU antara Petro Cina dengan junta militer Myanmar (7 Desember 2005) untuk membangun saluran pipa dari Arakan, Myanmar ke Provinsi Yunan di Cina. Ada kontrak bagi hasil eksplorasi antara Kementerian Energi Myanmar dengan perusahaan Cina di Blok No C-1 (Indaw-Yenan Region) dan Blok No C-2 (Shwebo-Monywa Region). Selain Cina, memang ada perusahaan nasional Korea Selatan juga memiliki ijin eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

Pada mapping geopolitik dan geo-ekonomi di atas, terlihat bahwa Rusia dan Cina lebih unggul dalam segala hal bahkan mendominir dibandingkan negara-negara lain. Uncle Sam tertinggal dalam kompetisi —perebutan— ladang-ladang minyak dan gas alam di Myanmar. Selain gagal menerobos struktur domestik, ia kalah dalam mengakses ke Junta Militer. Kelompok Barat, dalam hal ini Perancis dan AS melalui Total hanya menguasai tambang di Adanna, sementara Cevron cuma memiliki 28% saham atas tambang tersebut. Betapa jauh konsesi yang diperoleh AS bila dibanding dengan negara-negara lain, terutama Cina dan Rusia.

Mencermati pola hegemoni AS selama ini, tak boleh lepas dari kajian strategis Deep Stoat tentang penempatan aspek minyak sebagai Agenda Kepentingan Nasional: “If you would understand world geopolitics today, follow the OIL”. Dalam beberapa hal, Cina merupakan rival berat AS sedang Beruang Merah belum dipersepsikan pesaing, dengan alasan selain Rusia itu net oil exporter, penyebab lain juga —usai Perang Dingin— ditandai runtuhnya Uni Sovyet, bahwa benturan ideologi (komunis versus kapitalis) telah dianggap masa lalu oleh Paman Sam sebab banyak negara kini menerima demokrasi sebagai nilai-nilai universal.

Kenapa Cina dianggap pesaing berat, selain konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional, juga dari waktu ke waktu kompetisi keduanya kerapkali berlangsung ketat dalam penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Itulah penyebab utama.

Membuat perbandingan bangkitnya Beruang Merah dan Negeri Tirai Bambu dari prospektif ancaman hegemoni AS, sepertinya Cina dianggap lebih membahayakan Kepentingan Nasional (minyak) AS. Sekali lagi, selain karena konsumsi minyak, banyak faktor lain dalam perkembangan Cina layak dianggap ancaman, seperti pertumbuhan ekonomi, militer, budaya dan lain-lain. Dalam perspektif hegemoni AS memang, siapapun negara yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung dari luar serta dilemahkan dari sisi internal dengan segala cara.

Berbagai dokumen Pentagon menguak, bahwa persaingan antara Cina dan AS semakin kuat mengental. Project for The New American Century and Its Implications (PNAC) 2002 misalnya, memprediksi persaingan antara AS-Cina meruncing 2017 serta konfrontasi terbuka mungkin tak bisa dielakkan. Kemudian dokumen National Inteligent Council (NIC) 2004  bertajuk Mapping The Global Future, dimana salah satu ramalan adalah Dovod World: “Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia”, dan lain-lain.

Setidaknya sejak kejadian WTC 11 September 2001, AS dan sekutu mendorong militerisasi di Selat Malaka dengan menggandeng militer laut India, Australia, Singapura, Jepang, Thailand dan lain-lain untuk latihan perang-perangan, dengan alasan sebagai kesiapan menanggulangi terorisme global. Bahkan Leon Panetta, Menhan AS menegaskan terus memperkuat posisi di Asia Pasifik dengan cara mengerahkan sebagian besar kapal perangnya di wilayah ini hingga 2020. “Di 2020 Angkatan Laut akan menambah pasukannya dari hari ini pembagian sekitar 50-50% antara Pasifik dan Atlantik menjadi 60-40 antara kedua samudera itu,” katanya. Sebanyak 60% armada tempur akan dikerahkan ke wilayah Asia Pasifik sesuai dengan strategi baru AS untuk menguasai Asia, selaras dengan statemen Barack Obama bahwa wilayah Asia Pasifik merupakan “priotitas utama” (2/7/2012). Cina enteng berpendapat, bahwa militerisasi di Selat Malaka merupakan skenario AS dalam rangka membendung Cina.

Dalam diskusi terbatas di Forum “Kepentingan Nasional RI” (KENARI) dimentori Dirgo D. Purbo, Ahli Geopolitik dan Geo-Ekonomi, ada asumsi berkembang bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Dengar kata lain, peristiwa konflik bagi wilayah yang memiliki “ciri” —meminjam istilah Pak Purbo di atas— terutama kawasan kaya minyak dan gas bumi, sering hanya bagian dari modus dan pola kolonialisme guna memasuki kedaulatan negara lain. Ini mirip paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan hidup). Artinya isu disebarkan dulu ke wilayah target kemudian disusul metode atau modus-modus lain.  Di Tunisia, Mesir atau Yaman contohnya, isu kemiskinan dan korupsi ditebar duluan setelah itu timbul gerakan massa. Saat itu, kemiskinan dan korupsi adalah akiles atau titik kritis yang diolah menjadi tema gerakan para demonstran. Itulah sekilas tahapan strategi asimetris oleh AS di Jalur Sutra.

Terkait tragedi kemanusian di Myanmar, Hendrajit, penulis buku Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia, melihat ada semacam permainan korporasi tertentu berkolaborasi dengan Junta Militer. Dalam skema global, masyarakat Birma-lah yang sejatinya menjadi korban, atau menjadi obyek semata. Artinya baik melalui HAM, atau berdalih pembiaran, maupun kelak bakal muncul stigma pelanggaran HAM, genosida dan lainnya. Skenario lanjutan kemungkinan memaksa Junta Militer melakukan negoisasi ulang atas berbagai kesepakatan minyak dan gas alam. Atau dugaan penulis justru melalui Resolusi PBB menghadirkan pasukan asing. Itulah kemungkinan skenario yang bakal dijalankan.

Secara substansi, tragedi Arakan hanyalah pemicu belaka, oleh karena skema besar telah dipersiapkan jauh hari. Artinya bila skenario berjalan sukses, maka ibarat sodokan stick bilyar mengenai bola dua sekaligus. Pertama, selain penguasaan pipanisasi dan “merebut” kawasan kaya minyak serta gas bumi, seolah-olah pula legal sebab melalui lembaga internasional (PBB); Kedua ialah membendung Cina dari sisi perairan terutama melalui pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal, terkait perebutan hegemoni para adidaya di Laut Cina Selatan.

Ya, pada akhirnya semakin jelas terbaca bahwa konflik lokal (tragedi Rohingya) ialah bagian dari konflik global (AS versus Cina), sedang Myanmar hanya sebagai proxy war atau lapangan tempur belaka.

Silahkan saudara-saudara mencermatinya!

 

Referensi Link dan Bacaan:

http://id.wikipedia.org/wiki/Myanmar

http://id.wikipedia.org/wiki/Mekong

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=8937&type=13

http://www.tempo.co/read/news/2012/07/04/118414649/Myanmar-Kembali-Bebaskan-Tahanan-Politik

http://www.bbc.co.uk/indonesia/multimedia/2010/06/100624_rohingyaphotos.shtml

http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/07/14/m74gmu-beginilah-nasib-pedih-muslim-rohingya

http://stevenpailah.blogspot.com/2008/04/bargain-china-di-sungai-mekong.html

http://stevenpailah.blogspot.com/2008/04/myanmar-ham-minyak-dan-senjata.html

http://geostrategicpassion.blogspot.com/2011/08/definisi-geopolitik-geostrategi-dan.html

http://forum35.wordpress.com/2007/10/08/minyak-bumi-sebagai-andalan-junta-myanmar-tidak-gentar/

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/09/61818/oki_desak_suu_kyi_bantu_akhiri_kekerasan_di_myanmar/

http://indonesian.irib.ir/wacana/-/asset_publisher/mkD7/content/id/4973259

http://jaringnews.com/internasional/asia/16230/amerika-kerahkan-armada-tempurnya-ke-laut-china-selatan

Dirgo D. Purbo, “Energy Security” dalam Konteks Kepentingan Nasional RI, disampaikan untuk Forum Duta Besar RI (FDB-RI), 24 Januari 2012

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com