Mengeksploitasi Anak Sebagai Pelaku Bom Bunuh Diri

Bagikan artikel ini
Otjih Sewandarijatun, alumnus Udayana, Bali. Mantan Direktur Komunikasi Massa di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
Karakter umum dari terorisme adalah menyerang sasaran dengan cara radikal, kejam, sadis, tidak kompromi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Konsep serangan teroris adalah mengeksploitasi patriotisme atau fanatisme sebagai kepercayaan yang kaku dan keinginan dari seseorang untuk mengorbankan dirinya dalam aksi teror. Dari tipe-tipe atau ciri-ciri perang, terorisme adalah bagian dari aksipsychological warfare (The general character of terrorism is to attack the objectives applying the radicalism, cruelty and sadism, no compromise and ignoring the human principles. The concept of terrorist action is to exploit the patriotism or fanaticism on a certain belief and the willingness of someone to sacrifice his soul in the attack. From the point of type of war, terrorism is considered as a part of psychological warfare action).
“Keikhlasan” pelaku teror untuk mengorbankan nyawanya dalam aksi bunuh diri selama sejarah psychological warfare dalam perang militer mungkin diawali dengan aksi pasukan Jepang yang menjalankan “kampanye kamikaze” atas perintah Mabes militer Jepang, hal ini terbukti pilot-pilot Jepang berani menabrakkan pesawatnya ke kapal induk serta kapal perang milik Amerika Serikat selama berlangsungnya perang Pasifik dan Perang Dunia ke-2. Salah satu kapal induk Amerika Serikat yang terkena serangan “kamikaze” Jepang adalah the US Missoury, walaupun tidak mengalami kerusakan serius.
Sebagai aksi psychological warfare dalam konflik politik, sejarah terorisme sepertinya diawali di awal tahun 1970-an ketika anggota militan the People’s Liberation Army (PLO) menyerang komplek atlet Israel saat pelaksanaan Olimpiade Munchen, Jerman, pembajakan pesawat terbang Israel dari Tel Aviv untuk diarahkan ke Etembe di Uganda, pembajakan pesawat Japan Airlines dalam penerbangan dari Tokyo ke Dacca oleh kelompok militan the Red Army, pembajakan pesawat Garuda Indonesian Airways oleh kelompok teroris Warman di Bangkok  dan beberapa contoh lainnya.
“Keikhlasan” kelompok militan untuk mengorbankan jiwanya dalam aksi bunuh  diri dalam konteks psychological warfare pada dasarnya dapat dipahami sebagai ekspresi patriotisme dan kepahlawanan diantara generasi muda untuk memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan bagi masyarakatnya.
Bagaimanapun, sekarang ini psychological warfare yang mengeksploitasi “keikhlasan” seseorang untuk melakukan bunuh diri semakin dramatis dan cenderung meningkat. Kalangan teroris secara tidak manusiawi sudah mengeksploitasi anak-anak kecil yang tidak mengerti apapun soal aksi teror sebagai pelaku teror bom bunuh diri ditengah-tengah kerumunan masyarakat. Anak-anak kecil pelaku bom bunuh diri ini jelas tidak menyadari bahwa mereka telah diperalat oleh kelompok teror.
Bom bunuh diri yang dilakukan anak-anak telah terjadi di Turki yang berdekatan dengan perbatasan Syria, dimana dua negara ini sedang berkonflik secara politik dan militer dan secara internal kedua negara juga menghadapi sejumlah konflik dengan kelompok radikal, termasuk konflik diantara suku dan kelompok kepentingan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran dalam masyarakat Indonesia untuk berhati-hati dalam mengasuh anak-anak mereka dan generasi mudanya agar tidak menjadi korban eksploitasi kelompok teroris.
Latar belakang situasi
Seorang anak telah menjadi pelaku bom bunuh diri yang menewaskan sedikitnya 51 orang dan mencederai 70 orang dalam sebuah pesta pernikahan kelompok Kurdish di dekat perbatasan Turki dengan Suriah. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengutuk serangan teror tersebut yang dinilainya dilakukan Islamic State untuk mendestabilisasi bangsa dengan mengeksploitasi tensi ketegangan agama dan etnis di negara tersebut.
Pemboman yang terjadi di Gaziantep adalah serangan yang paling mematikan di Turki selama tahun 2016. Kejadian ini diduga sebagai bentuk perlawanan militan Kurdi yang tergabung dalam Kurdistan Workers’ Party atau PKK dengan pemerintah Turki. Kejadian ini adalah pukulan telak berikutnya bagi Turki pasca kegagalan kudeta militer dan polisi yang dituduhkan oleh pemerintah Turki dilakukan tokoh Muslim AS asal Turki, Fethullah Gulen dan pengikutnya.
Banyak negara yang mengutuk serangan teror dengan pelaku anak-anak antara lain Amerika Serikat, Jerman, Austria, Russia, Mesir, Swedia, Yunani, Perancis, Bahrain, Qatar dan Yordania serta beberapa organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa dan NATO juga mengutuk serangan tersebut, seperti dikemukakan Dubes AS untuk Turki, John Bass, seraya menambahkan AS dan Turki akan terus bekerjasama untuk mengalahkan kelompok teror.
Di Vatican, Paus Francis memimpin doa bersama didepan ribuan umatnya untuk mendoakan korban serangan teror tersebut dan meminta “perdamaian untuk semua orang”. Pengamat keamanan dan mantan perwira militer Turki yang juga kolumnis di koran online Al-Monitor mengatakan, serangan ini adalah pandangan ISIS yang diistilahkan dengan “memukul burung dengan satu batu atau hitting two birds with one stone” dimana serangan ini membangkitkan pejuang Kurdi Suriah untuk menyerang Suriah dan disisi yang lain Turki akan menyerang lawan-lawan ISIS di Suriah.
Assessment
Situasi konflik di Turki semakin kompleks. Secara internasional, Turki terkena pengaruh buruk dari aktivitas ISIS di Suriah. Secara internal, konflik politik antara kelompok kepentingan seperti kelompok separatis melawan pemerintah dan konflik yang diprovokasi oleh konflik horizontal yang dipengaruhi oleh perbedaan ideologi telah menjadikan situasi di Turki semakin krusial secara politik dan keamanan.
Secara khusus, tulisan ini tidak ingin menjadi “pengadilan politik” atas perkembangan politik yang terjadi di Turki, namun tulisan ini ingin menunjukkan bahwa situasi konflik internal di sebuah negara akan dapat dieksploitasi oleh kelompok teroris dalam beragam konflik. Penulis menyakini bahwa penerapan yang salah atas prinsip-prinsip demokrasi di sebuah negara ada kecenderungan mudah diprovokasi dan menjadikan konflik politik semakin memburuk.
Mengeksploitasi anak-anak selaku pelaku bom bunuh diri dalam aksi teror di Turki telah mengindikasikan sebagai bentuk kemerosotan prinsip-prinsip demokrasi dan rasa kemanusiaan.
Penulis mengharapkan aksi teror dan eksploitasi anak-anak sebagai pelaku teror tidak akan pernah terjadi di Indonesia, dan sebagai tujuan dibentuknya BNPT dan beberapa lembaga negara seperti TNI, Polri dan BIN dibawah koordinasi Menko Polhukam harus mengupayakan agar situasi terburuk dari aksi teror agar dapat dicegah untuk tidak terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia tentunya mengharapkan adanya langkah yang dilakukan semua kementerian untuk mengatasi ancaman aksi teror di Indonesia menggunakan perkembangan isu yang terjadi di Timteng dan beberapa negara lainnya sebagai referensi.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com