Mengenal Prasasti dan Sesanti sebagai Bagian Ilmu Tanda (Semiotika) Asli Nusantara

Bagikan artikel ini

Daun Lontar Yogyakarta

Sinamun Ing Samudana, Sesadoni Ing Ngadu Manis

‘Disamarkan dengan isyarat, segalanya harus dihadapi dengan manis”

Sebelum Van Zoes dan Ernest Cassier membuat pernyataan “homo semioticus” dan “animal symbolicum” pada abad ke-19 yang inti makna pernyataan tersebut bahwa manusia sendiri adalah makhluk bersimbol, ribuan tahun lalu orang Nusantara kuno telah mengenal ilmu tentang tanda (semiotika).

Hal ini dapat dilihat patung-patung megalitik yang telah ada sebelum masehi hingga berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan kuno Nusantara dimana seluruh prasasti kerajaan tua seperti Kutai Kertanegara, Kalingga, Sriwijaya, Tarumanegara yang rata-rata telah berusia 1500 tahun telah menggunakan ilmu tanda (semiotika) dalam setiap prasasti yang dipahatkannya.

Ungkapan semiotika itu terpahat indah dalam sebuah rangkaian kata salah satunya yang terdapat dalam prasasti Yupa Kerajaan Kutai Kertanegara abad ke V berbahasa Sansekerta berbunyi “srimataah sri narendrasya, kundungasya mahatmanah,putro svavar mmo vikhyatah dan seterusnya… yang artinya ‘Sang maharaja kudungga, yang amat mulia mempuyai putra yang mashur sang aswawarman namnya” .

Namun begitu tidak perlu risau dengan penggunaan bahasa sansekerta dalam prasasti Kutai Kertanegara tersebut, karena prasasti lebih tua dari Kutai Kertangera yaitu abad ke IV ternyata berbahasa Melayu/Indonesia dan dianggap prasasti tertua berada di Vietnam Utara (Coedes,1939 ).

Vietnam Utara dalam sejarahnya merupakan wilayah Nusantara yang saat itu dikuasai oleh geneologis “Warman” berbangsa Melayu Campa.

Sayangnya kini wilayah Vietnam tersebut telah dalam kuasa bangsa Cina yaitu suku King dari Cina Selatan yang menyerang bangsa Melayu Campa dan akhirnya Melayu Campa runtuh pada tahun 1471 hanya selisih 7 tahun bersamaan dengan runtuhnya kerajaan sekerabatnya yaitu Majapahit di Jawa Indonesia 1478.

Melangkah ke zaman Indonesia klasik kita masih istiqomah menggunakan ilmu simbol sebagai media berekspresi dengan beragam bentuknya, namun bukan lagi dalam bentuk prasasti akan tetapi berupa sesanti atau semboyan. Sebagaimana sesanti atau semboyan di Kalimantan Selatan tanah para Pegustian yang berbunyi “Wadja Sampai Kaputing” (semangat baja sampai titik akhir), sesanti di Kalimanatan Tengah tanah para pangkalima yaitu “Isen Mulang” (pantang mundur). Seemntara di Sumatera Selatan negeri “wong kito galo” berbunyi “ Besatu Teguh “ dan Yogyakarta “Hamemayu Hayuning Bawana” (memperindah keindahan dunia) dan masih banyak lagi.

Bukan hanya daerah yang memiliki ekpresi sesanti sebagai pengobar semangat, akantetapi tokoh-tokoh besar Indonesia juga banyak memiliki sesanti ampuh sebagai pendorong semangat dalam perjuangan melawan penjajah saat itu. Lihat saja sesanti2 dua tokoh Jawa berikut ini.

Sang Heru Cakra Ratu Adil Pangeran Diponegoro

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti”
‘Kejahatan sebesar apapun akan hancur lebur oleh doa dan kebenaran’

“Maju tatu mundur ajur”
‘Maju luka, mundur hancur’

Dan Panglima Besar Jendral Sudirman

“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi Jiwaku dilindungi benteng merah putih, akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi”.

“Bahwa kemerdekaan satu negara, yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa-harta-benda dari rakyat dan bangsanya. Tidak akan dapat dilenyapkan oleh mansuia siapapun”.

Itulah sekelumit tentang prasasti dan sesanti asli Nusantara yang merupakan bagian dari ilmu semiotika yang patut untuk kita lestarikan dan banggakan.

Wallu a’lam bissawab

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com