Mengenang Lima Tahun Gugurnya Moammar Khadaffi

Bagikan artikel ini

Helmi Aditya, Wartawan dan Pemerhati Timur-Tengah

Minggu ini menandai lima tahun pembunuhan Moammar Khadaffi. Saat itu, Khadaffi sedang melarikan diri dari Tripoli ke Sirte, akibat serangan jet tempur NATO di ibukota Libya yang makin menjadi sejak penerapan no-fly-zone.

Perjalanannya terhenti di tengah jalan ketika jet Prancis dan drone AS menghancurkan konvoi mobilnya. Terluka, Khadaffi terseok-seok bersembunyi di saluran got, sebelum ditangkap oleh ‘pemberontak’ buatan AS dan Prancis.

Khadaffi dihajar secara membabi-buta oleh orang yang notabene rakyatnya sendiri. Orang-orang yang telah diantarnya sebagai pemilik Gross Domestic Product  tertinggi per kapita di dunia, memiliki angka harapan hidup terpanjang dan angka kemiskinan yang bahkan lebih rendah dibanding Kerajaan Belanda.

Ia disodomi dengan gagang pisau oleh orang yang notabene rakyatnya sendiri, yang diantarkannya untuk menikmati pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, listrik gratis, pinjaman tanpa bunga, hingga apartemen gratis saat mereka kawin.

Ia ditembak di kepala dan di dada oleh orang yang notabene rakyatnya sendiri, yang diantarkannya memenuhi universitas-universitas, yang dikuliahkannya ke luar negeri, lengkap dengan gaji bulanan dan mobil, yang tetap diberi tunjangan meski menganggur setelah lulus.

1986, Khadaffi sempat lolos dari maut. Jet tempur AS menjatuhkan bom seberat 1 ton di barak Khadaffi di Bab al-Azizya. Bom itu tepat jatuh di tempat tidurnya, membunuh putrinya yang berusia 2 tahun, yang sering tidur bersamanya. Malam itu, ia tak berada di tempat.

Baik atau buruk, Khadaffi hanyalah seorang Bedouin yang lahir dalam tenda. Ia membenci kemiskinan dan korupnya dunia Arab, yang didominasi dan dieksploitasi oleh AS, Perancis dan Inggris. Ia juga merupakan pendukung Palestina, Nelson Mandela, Tentara Republik Irlandia dan separatis Basque.

Khadaffi juga bukan bebas dari dosa. Pembunuhan Sayyed Musa al-Sadr menjadi salah satu titik yang menunjukkan ia masih sangat lemah dan tak bijak dalam menanggapi hal-hal sektarian. Ketidakmampuannya memenangi debat dengan ulama Syiah Lebanon itu membuatnya kalap.

Namun dari semua itu, hanya satu hal yang membuat nyawanya dihilangkan paksa dengan cara segitu rupa. Kebencian dan perlawanannya terhadap imperialisme Amerika.

Rest in Peace, Colonel!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com