Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tentang Krisis Korea Utara

Bagikan artikel ini

Rusman, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Seminar tarbatas yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) tentang Kebijakan AS terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia pada Kamis 9 November 2017, nampaknya semakin mendapat respons positif dari berbagai kalangan pemerintahan, perguruan tinggi maupun masyarakat pada umumnya.

Tak kurang dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, beberapa hari yang lalu secara khusus menyorot isu Korea Utara sebagai salah satu dari 4 situasi geopolitik internasional yang cukup krusial ke depan. Menurut Ryamizard yang juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat pada era kepresidenan Megawati Sukarnoputri, saat ini dunia tengah menghadapi empat isu krusial yang dapat mengganggu keamanan kawasan dan wilayah.

Empat isu krusial tersebut adalah isu Korea Utara, perkembangan Laut Cina Selatan, isu trilateral pengamanan Laut Sulu dari potensi ancaman ISIS, dan terakhir soal krisis Rohingya di Myanmar.

Dalam paparannya, terkait isu ketegangan di Semenanjung Korea, ia mengajak semua pihak agar tidak terprovokasi dengan situasi yang dapat memicu bergejolaknya eskalasi konflik.

Lebih lanjut Ryamizard menegaskan, agar kita bersama -sama mengajak PBB untuk dapat mengambil langkah-langkah produktif untuk dapat lebih menekan Korea Utara agar dapat lebih menghormati hukum dan norma serta tatanan internasional.

Menhan Ryacudu juga menggarisbawahi bahwa situasi ketegangan di Laut Cina selatan saat ini sudah cenderung mereda dan membaik, sehingga perlu terus dipelihara. Pemerintah Indonesia pun sangat mengapresiasi niat baik Tiongkok yang sudah membuka diri dan berkeinginan untuk bekerjasama dalam memperkuat arsitektur keamanan kawasan.

Pandangan Ryacudu nampaknya sejalan dengan Direktur Jendral  Strahan Kemhan RI Mayjen TNI Yoedhi Swastanto ketika memaparkan kertas kerjanya dalam Diskusi Terbatas GFI pada Kamis 9 November 2017. Mayjen Swastanto  mengatakan, Indonesia harus memainkan peran aktifterutama melalui forum regional ASEAN. Dimana Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan masih tetap punya pengaruh kuat di kalangan negara-negara ASEAN. Selain itu Indonesia harus tetap menjaga komunikasi dengan Korea Utara. Sebab Modal hubungan itu sudah ada sejak era Presiden Sukarno dan Presiden Kim Il Sung.

Karena itu menurut Yoedhi, Indonesia dapat menggunakan ASEAN dan menjadi dirinya sebagai the leading sector dalam proses menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.

“Kita harus bisa memanfaatkan keberadaan Indonesia di ASEAN untuk berperan aktif menjaga stabilitas. ASEAN bisa memainkan peran positif. Kalau kita mampu menjadi mediator. Sehingga kita akan memiliki nilai tambah,” katanya lagi.

Oleh karenanya GFI menyambut baik pandangan Menteri Pertahanan Ryacudu yang menegaskan bahwa sebaiknya kita jangan terprovokasi untuk semakin meningkatkan eskalasi konflik. Sebab beberapa narasumber lainnya dalam seminar terbatas GFI November lalu, mengingatkan bahwa Indonesia akan berada dalam zona tidak aman jika pecah perang terbuka di Semenanjung Korea.

Maka itu, baik para pembicara maupun peserta seminar, berpandangna bahwa cara terbaik untuk mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea adalah dengan tidak menyerang Korea Utara. Dan menghentikan provokasi termasuk yang bersifat verbal dari pihak pemerintah AS. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengakhiri perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani di akhir Perang Korea pada 1953. Dan mengubahnya menjadi menjadi perjanjian damai.

Sehubungan dengan itu, GFI sangat mengapresiasi dan sepakat dengan himbauan Menteri Pertahanan Ryacudu.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com