Menuntut Status PNS Bagi Perangkat Desa, Bukan Solusi Implementasi PP 72/2005 Tentang Pemerintahan Desa

Bagikan artikel ini

Disamping, secara paralel kepemimpinan desa muncul melalui pemilihan kepala desa secara langsung menyusulnya sistem yang lebih demokratis dan terbuka. Sehingga tidak saja kepala desa, bupati dan gubernur pun dipilih secara langsung oleh warga masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Karena itu, peran dan keberadaan desa memiliki nilai yang cukup strategis. Dengan semakin derasnya arus investasi asing maupun dalam negeri di sektor-sektor strategis seperti migas, pertanian/agrobisnis, ketenaga-kerjaan dan transmingrasi. Termasuk pembangunan infrastruktur sebagai faktor pelengkap dari proses tadi.

Karena itu, pembangunan yang bervisi pembangunan wilayah pedesaan dan kelurahan menjadi agenda yang cukup strategis untuk kita gali bersama, khususnya pada pemangku kepentingan di pemerintahan daerah.

Ini penting, karena akhir-akhir ini telah terjadi erosi dan lunturnya berbagai khazanah budaya di wilayah pedesaan, akibat derasnya rembesan pembangunan yang berbasis perkotaan dan kuatnya orientasi materialime (Metropolistik).

Akibatnya, terjadilah peningkatan intensitas kejahatan dengan berbagai operasi operandi seperti narkoba, perdagangan manusia/prostitusi, korupsi dan sebagainya,

Berdasarkan pemikiran di atas, maka produk hukum menjadi piranti/instrumen yang cukup strategis untuk mengelola tata pemerintahan maupun melindungi berbagai kepentingan yang tidak senafas dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Payung Hukum Untuk Menyeleraskan Aspirasi desa di Seluruh Nusantara 

Pembangunan berwawasan pedesaan harus dalam skema pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 UU RI No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan  Nasional. Yang berbunyi: Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Karena itu, derivasi dari UU tersebut di atas, mengharuskan adanya pendekatan partisipatif dalam konteks pembangunan maupun pengembangan wilayah pedesaan. Sehingga proses diikuti oleh prinsip-prinsip pengambilan kebijakan yang menganut pendekatan bottom-up maupun top-down secara selaras dan timbal-balik.

Dengan demikian, UU tersebut mendorong semua pemangku kepentingan/stakeholders agar terlibat secara aktif dalam rangkaian pembangunan nasional berbasis lokal/desa.

Inilah pentingnya penjelasan pasal 2 dari UU tersebut, yang terdapat azas kepastian hukum. Azas ini menggarisbawahi pentingnya peraturan perundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

Pada sisi lain, juga ditekankan beberapa azas yang menghargai  kepentingan umum, tertib penyelenggaraan negara/aparatur negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.

Perlu Visi Baru Dalam Pelaksanaan PP 72/2005 dan PP 73/2005 

Pada intinya, dalam pembangunan wilayah pedesaan masyarakat tidak boleh menjadi suatu korban dari suatu kebijakan maupun penyelenggaraan urusan pemerintahan, baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.

Padahal, dalam PP Pemerintah RI No.72/2005, telah ditegaskan bahwa pemerintahan desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah desa dan Badan Pemusyawaratan Desa, dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayagnya, ada semacam gejala pendangkalan dalam menghayati dan memahami ketentuan P 72/2005, tidak dari kalangan pemerintah pusat, dari kalangan pemerintahan desa dalam lingkup pemerintahan daerah menurut UU No.32/2004.

Pasal di pasal 7 dari PP 72/2005, jelas ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan desa terletak pada kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

Karena itu, menarik kasus yang terjadi pada Rabu 3 Februari 2010, ketika 1000 perangkat desa berdemo ke Jakarta untuk menuntut DPR dan pemerintah pusat untuk segera mengesahkan UU tentang pemerintahan desa. Demo ini melibatkan perangkat desa dari Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Yang menarik adalah, para perangkat desa ini agar diangkat menjadi pegawai negeri sipil.

Dalam perspektif Global Future Institute, ada yang kurang pas dalam kejadian ini. Pada satu sisi, PP 72/2005 sangat menekankan otonomi pemerintahan lokal dalam segala aktivitas penyelenggaraan di wilayah pedesaan. Sementara tuntutan sektoral dari para perangkat desa yang berdemo pada  3 Februari, justru meminta agar status mereka di-pegawai negerikan, dengan konsekwensi akan tunduk pada otoritias dan undang-undang kepegawaian yang notabene merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat di wilayah pedesaan.

Bukankah tindakan atau tuntutan ini justru akan menggadaikan otonomi lokal yang menjadi karakterisitik di masing-masing daerah, yang justru telah diakomodasikan oleh PP 72/2005. Haruskah hanya karena menuntut kepastian penghasilan dari para perangkat desa yang berstatus honorer, harus menggadaikan otonomi daerah yang sudah memiliki payung hukum?

Seharusnya, meng-PNS-kan para perangkat desa bukanlah solusi untuk meluruskan pendangkalan penghayatan dari implementasi PP 72/2005.

Dari kasus demo para perangkat desa di Jawa Tengah tersebut, membuktikan bahwa tidak adanya apresiasi terhadap implementasi PP 72/2005, justru muncul dari kalangan aparat pemerintahan wilayah pedesaan itu sendiri.

Ini bisa juga karena ketidaktahuan dan kurangnya sosialisasi PP 72/2005 tersebut, dan lemahnya pembinaan serta pengawasan yang dilakukan atas desa dan kelurahan. Tapi lebih yang lebih buruk lagi, ketika ini semata-mata didorong oleh motivasi kepentingan jangka pendek.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kasus demo para perangkat desa Jawa Tengah baru-baru ini, membuktikan sinyalamen Profesor DR Barda Nawawi Arif, Guru Besar Hukum Pidana Undip bahwa ada kesenjangan antara nilai-nilai yang hidup di masyarakat terhadap ketidapercayaan efektifitas sistem hukum. Kesenjangan antara sentralisasi dan desentralisasi. Sehingga membawa implikasi terhadap dalam pola pikir/mindset perangkat desa dan bahkan warga masyarakat.

Dengan kata lain, demo perangkat desa dari Jawa Tengah tempo hari, menggambarkan betapa nilai-nilai lokal yang melekat dalam otonomi pemerintahan daerah telah kehilangan apresiasi dari kalangan pemangku kepentingan di daerah yang bersangkutan itu sendiri. Sementara pemerintahan pusat itu sendiri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemerintahan Otonomi Daerah, tidak menerapkan pembinaan dan pengawasan secara intensif.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com