Menyikapi Anarkisme Global Melalui Geopolitical Weapon

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Jujur harus diakui, bahwa rivalitas antara Barat cq Amerika Serikat (AS) melawan Cina semakin hari kian meningkat di Laut Cina Selatan. Diaktifkannya kembali kerjasama keamanan/pakta pertahanan antara Australia, New Zealand dan AS (ANZUS) melalui pembangunan fasilitas militer AS di Darwin, Australia bagian utara, ini memunculkan pertanyaan selidik, “Apakah joint facilites militer tersebut guna membendung manuver Cina di Laut Cina Selatan, atau dalam rangka pertebalan pengepungan secara militer terhadap Indonesia; atau jangan-jangan justru kepentingan kedua-duanya?”

Intinya, tanpa ada penyikapan dan kebijakan konsepsional oleh pemerintah atas situasi kondisi di atas, kita di antara dua posisi pilihan simalakama. Pertama, dijadikan buffer zone atau wilayah penyangga bila kelak terjadi friksi terbuka antara AS versus Cina; kedua, hanya sekedar medan (kurusetra) tempur belaka —war theatre— bagi kedua adidaya. Maka apapun pilihan, posisi Indonesia sangat tidak menguntungkan, penuh resiko bahkan kritis, karena menjadi bagian strategi pertahanan bagi negara lain. Ini bermakna, bahwa keselamatan bangsa dan negara terancam. Tak boleh tidak.

Bahwa medan geopolitik serta lingkungan strategis berubah, dan di era kini, power concept dalam geopolitik sudah bergeser dari militer ke power ekonomi. Maka menimbang geoposisi silang Indonesia yang sangat strategis, kecil kemungkinan akan diserang secara militer oleh asing karena niacaya si penyerang akan dikecam banyak negara yang berkepentingan terhadap Indonesia baik itu kebutuhan atas raw material, atau akses terhadap pasar, maupun keamanan lintasan kapal-kapal di perairan Indonesia. Tapi, kita harus mulai menghitung kontinjensi atas kondisi di atas. Perkembangan (geo) politik sering unpredictable. Setidaknya, luas dan tersebarnya wilayah indonesia dalam gugus kepulauan, akan menyulitkan bagi asing untuk menduduki Indonesia baik secara militer maupun politis. Program bela negara mutlak kudu digalakkan baik di daratan maupun di lautan. Sinergi unsur-unsur keamanan laut adalah keniscayaan. Bakamla sebagai koordinator harus merumuskan pola dan strategi penutupan selat-selat di perairan Indonesia melalui kerjasama intens antara TNI AL, AD, AU, Polri dan stakeholders di pantai. Setidak-tidaknya, konsep penutupan selat —geopolitical weapon— itu ada, berada dan pernah dilatihkan. Piranti lunak terkait hal dimaksud mutlak disiapkan. Kenapa? Selain pergaulan internasional kini menunjukkan sifat anarkis, juga anarkisme global itu sendiri kerap muncul tiba-tiba atas nama kepentingan nasional para adidaya. Irak, Libya, dan lain-lain serta teraktual kasus Jerusalem adalah bentuk nyata dari anarkisme dimaksud.

Indonesia memang terkesan tidak ada apa-apa, tetapi justru ia menyimpan apa-apa. Indonesia seperti diam-diam saja, namun sejatinya bergemuruh lagi berdinamika!

Jelas? Camkan!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com