Misteri Pemberantasan Perdagangan Narkotika Amerika di Afghanistan

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Keputusan Amerika melancarkan invasi militer Afghanistan ternyata bukan dimotivasi oleh serangan balasan terhadap aksi terorisme yang dimotori oleh Osama bin Laden dan Al-Qaeda. Misi utama adalah menguasai sumberdaya minyak di kawasan Asia Tengah. Terbukti bahwa serangan militer Amerika ke Afghanistan terjadi menyusul desakan kuat dari Perusahaan minyak trans-nasional UNOCAL yang mulai tidak nyaman dengan semakin kuatnya pengaruh politik kelompok Islam Taliban.

Inilah sebabnya krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda Afghanistan hingga sekarang belum bisa diatasi. Dan akar dari masalah ini bukan terletak pada pemerintah dan masyarakat Afghanistan melainkan ketidakjelasan program rekonstruksi Afghanistan pasca jatuhnyan pemerintahan Afghanistan yang berada dalam orbit Kelompok Islam Taliban yang diklaim Amerika telah memberi dukungan secara diam-diam kepada Osama bin Laden dan Al-Qaeda.

Waktu telah membuktikan bahwa klaim Amerika tersebut ternyata hanya dalih semata untuk membenarkan kebijakan George W. Bush untuk menyerang Afghanistan secara militer menyusul terjadinya pemboman Gedung WTC dan Gedung Pentagon di Amerika pada September 2001.

Lalu bagaimana nasib Afghanistan sekarang di bawah kepresidenan Hamid Karzai? Praktis semua kebijakan dan program Amerika di negara ini gagal total. Alasan utama kegagalan tersebut: Amerika tidak secara sungguh-sungguh bermaksud menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi di Afghanistan. Demi untuk mencapai tujuan geopolitiknya di Asia Tengah, Amerika mengabaikan kepentingan nasional Afghanistan serta keamanan di Asia Tengah pada umumnya.

Berarti, segala situasi yang mengarah pada terciptanya instabiltias politik di dalam negeri Afghanistan maupun kawasan Asia Tengah, Amerika tidak berkepentingan dan berupaya untuk mengatasi dan menanggulanginya secara sungguh-sungguh. Bahkan ada kesan justru membiarkan situasi tersebut semakin memanas dan berkembang pada skala yang semakin membesar serta meluas.

Selain karena situasi Afghanistan yang stabil dan aman bukan tujuan strategis Amerika, efek sampingan dari instabilitas politik tersebut justru memberi keuntungan yang tidak terduga bagi beberapa oknum petinggi Amerika yang bertugas di Afghanistan baik dari sipil maupun militer.

Amerika Mengambil Keuntungan dari Merebakmya Perdagangan Opium di Afghanistan

Mari kita telusur kembali pada Juni 2003. Tak lama setelah Amerika berhasil menduduki Afghanistan secara militer, pemerintahan Bush diam-diam mendanai pembangunan kembali  Afghanistan dan mengizinkan para tuan tanah setempat (Warlord)  meraih kekuasaan kembali. Mereka ini pada umumnya terlibat dalam bisnis barang-barang terlarang seperti Narkotika dan Opium.

Tak heran ketika itu muncul berbagai pemberitaan mengenai meningkatnya produksi obat-obatan terlarang seperti Narkotika dan Opium di Afghanistan.

Menurut PBB, produksi opium yang resminya dilarang oleh pemerintahan Hamid Karzai yang mendapat dukungan Amerika sejak Januari 2002, ternyata telah mencapai 3400 ton pada tahun yang sama. Para pakar memperkirakan pada panen 2003 Afghanistan telah menjadi penghasil 3/4 opium dunia.

Tak heran jika sinisme dunia internasional bermunculan dari berbagai penjuru. Betapa tidak. Menurut berbagai sumber Global Future Institute, Afghanistan di bawah pemerintahan Hamid Karzai yang didukung Amerika, sekarang berstatus sebagai sumber opium terbesar di dunia.

Data tahun 2002 dan perkiraan pada 2003 menunjukkan lonjakan produksi dibandingkan dengan tingkatan yang terjadi pada tahun 2000. Penurunan  justru terjadi pada 2001, yaitu sekitar 180 ton, berkat larangan menanam madat yang diberlakukan oleh Taliban.

Bahkan ada sebuah buku yang ditulis oleh Andrew McCoy, The Politics of Heroin: CIA Complicity in the Global Drug Trade, yang berpendapat bahwa opium merupakan obat ideal bagi rekonstruksi Afghan. Dengan kata lain, perdagangan Narkoba selain memang dianggap memberi keuntungan bisnis bagi para tokoh-tokoh masyarakat setempat dan menyerap tenaga kerja, beberapa pemain kunci dari CIA pun ikut meraup keuntungan bisnis haram tersebut.

Karena gambaran tersebut di atas, PBB memperkirakan bahwa pendapatan kotor Afghanistan dari produksi opium pada 1994-2000 yang berada pada kisaran 150 juta dolar AS atau 750 dolar AS per-keluarga, pada 2002 angka ini melonjak hingga 1,2 miliar dolar AS, atau 6500 dolar per-keluarga. Sehingga pendapatan dari perdagangan tahun 2002 diperkirakan mencapai9 1,4 triliun dolar Amerika.

Bayangkan, itu data tahun 2002. Masuk akal jika Amerika dan pemerintahan Barrack Obama sekarang bersikeras dan berketetapan hati untuk menambah jumlah pasukan militernya di Afghanistan. Namun, adakah kesungguhan Amerika untuk menanggulangi perdagangan Narkotika dan Opium di Afghan dengan merujuk pada data-data yang tergambar di atas? Apalagi dengan fakta bahwa 75 persen heroin dunia sekarang ini berasal dari Afghanistan.

Bukan itu saja. Berbagai bursa keuangan di Amerika seperti Wall Street, dan Eropa Barat, pun kabarnya mendapat keuntungan dari meningkatnya perdagangan Narkotika dan Opium di Afghanistan. Karena sebagian besar opium dikonsumsi oleh warga masyarakat Eropa Barat negara-negara Balkan.

Bahkan berbagai sumber yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, sebelum serangan ke WTC, sempat  masuk uang dalam jumlah 250-300 miliar dolar AS per tahunnya ke Wall Street. Dan uang transferan ke Wall Street dan sejumlah Bank AS tersebut diduga keras merupakan hasil pemasukan dari obat-obatan terlarang.

Dari gambaran tersebut, selain bisnis Narkotika di Afghanistan tersebut sulit diberantas mengingat keterlibatan berbagai pelaku bisnis di Amerika sendiri, pada saat yang sama beberapa agen CIA maupun beberapa perwira militer Amerika di Afghanistan, ternyata juga ikut memfasilitasi perdagangan Narkotika tersebut, sebagai sarana melindungi akses mata uang kertas di negara tersebut.

Di sinilah misteri di balik kebijakan pemberantasan Narkotika Amerika di Afghanistan. Ketika kebijakan tersebut diterapkan di Kolombia bisa berhasil dan dinilai efektif, ternyata di Afghanistan praktis pemberantasan perdagangan Narkotika di Afghanistan menjadi tidak efektif sama sekali.

Karena itu sangatlah tidak akurat dan tidak valid data yang mengatakan bahwa sejak masa pendudukan militer Amerika di Afghan istan perdagangan Narkotika telah menurun setiap tahunnya. Lebih aneh lagi ketika ada data yang mengatakan bahwa perdagangan Narkotika di Amerika sejak 2008 telah berkurang 22%. Bahkan yang lebih gilanya lagi, ketika dikatakan bahwa penurunan perdagangan Narkoba tersebut berkat hasil kerja keras pasukan militer Amerika yang bertugas di Afghanistan.

Dengan merujuk pada data-data di atas pada awal tulisan ini, pada hakekatnya kegiatan perdagangan Narkotika dan Opium justru semakin meningkat, bahkan para pejabat Afghanistan dan beberapa pemain kunci militer dan CIA AS ikut terlibat dalam bisnis kejahatan ini.

Perdagangan Opium Bisa Merambah ke Asia Tenggara

Alhasil, struktur bisnis perdagangan Narkoba tersebut menjadi semakin canggih. Dan pada gilirannya kegagalan Amerika di Afghan istan dalam pemberantasan Narkoba, justru akan meningkatkan jumlah pengungsi Afghanistan yang masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Meningkatnya gelombang pengungsi Afghanistan ke Indonesia, sudah barang tentu akan membawa dua implikasi serius. Pertama, masuknya ajaran-ajaran Islam yang berhaluan keras dan tidak bertoleransi terhadap keyakinan agama-agama lain, dan bahkan sesama Muslim yang berbeda paham dan Mahzab. Kedua, arus pengungsi yang bertambah, berpotensi untuk memperluas perdagangan Narkotika dari Afghan ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com