Musuh Bersama itu Bernama “Terorisme”?

Bagikan artikel ini
Muhammad Iskandar Syah, President of International Thinkers
Sangat sulit untuk mendefinisakan terorisme dewasa ini, bahkan PBB selaku organisasi internasional yang banyak menaungi berbagai negara-negara di dunia, selama lebih dari 70 tahun belum rampung untuk mendefinisikan kata tersebut. Hal ini menunjukan betapa politisnya pendefinisian terorisme di PBB karena berbagai macam kepentingan. Bahkan Noam Chomsky, seorang intelektual anarkis, berkomenter mengenai istilah terorisme yang menurutnya memiliki sifat yang amat subjektif. Bagi Chomsky, terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan, atau bahkan pahlawan bagi pihak lain. Jeckson dan Sorensen (2013), mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang melanggar hukum atau tindakan kekerasan yang mengancam peradaban, seringkali untuk mencapai tujuan politis, agama, atau tujuan-tujuan lain yang serupa. Sedangkan Kent Lyne Oots, mendefinisikan terorisme sebagai : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonimin atau material; (2) sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain; (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi mencari publisitas; (4) tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotif politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis (Oots dalam Sihbudi, 1993: 94). Namun demikian, kurang afdol jika kita hanya memuat definisnya saja tanpa menguraikan sejarah terorisme itu sendiri.
Terorisme dalam Sejarah
Terorisme bukanlah fenomena modern, terorisme telah ada jauh sebelum peristiwa 11 Sepetember di New York. Terorisme yang terrekam oleh sejarah sejak abad pertama masehi. Pada masa itu orang-orang Zelot, kaum Yahudi yang menentang pendudukan Roma atas Palestina membunuh orang-orang Roma di siang hari di depan umum dalam rangka menakut-nakuti pemimpin Romawi di wilaya tersebut. Dalam dunia Muslim terorisme pertama kali dipraktekkan oleh kelompok yang disebut Assassins, atau “pemakan ganja,” Muslim Syiah militan abad kesebelas yang membunuh orang-orang yang menolak mengadopsi Islam versi mereka. Praktek terorisme terbesar dilakukan oleh bangsa Eropa saat menginvasi dunia-dunia baru dan merampok sumber daya di dalamnya. Ratusan juta manusia terbunuh karena keserakahan tersebut, terutama di benua Amerika dimana banyak suku asli di sana yang terbunuh karaena invasi Eropa.
Pada abad kesembilan belas, kaum anarkis yang menentang bentuk pemerintahan apapun, banyak menggunakan praktek-praktek terorisme, meskipun banyak juga kaum anarkis yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara damai. Beberapa pemimpin dunia menjadi korban pembunuhan yang disebut “propaganda perbuatan” oleh kaum anarkis, antara tahun 1881-1901, termasuk Presiden Amerika Serikat William H. McKinley (1843-1901), Presiden Prancis Marie-Francois Sadi Carnot (1837-1894), dan Raja Italia Umberto I (1844-1900). Pembunuhan-pembunuhan ini dipengaruhi oleh sebuah kelompok Rusia bernama “Kehendak Rakyat,” yang mencoba tetapi gagal untuk membunuh Tsar Alexander Ulyanov (1866-1887), kakak Vlademir Lenin Ilich.
Lanin (1870-1924), pemimpin revolusi Rusia, menggunakan terorisme sendiri setelah Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917dan bertanggungjawab untuk melancarkan Teror Merah melawan musuh-musuhnya pada musim panas 1918. Dipimpin oleh Felix Dzerzhinsky (1877-1926), pendiri polisi rahasia Bolshevik, Cheka, metode-metode teroris digunakan terhadap semua kelas sosial, terutama terhadap petani yang menolak menyerahkan padi mereka kepada pemerintah Soviet. Tetapi penggunaan teror negara oleh Lenin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipraktekan oleh penggantinya, Josef Stalin (1878-1953), yang selama upaya Soviet melakukan kolektivisasi peternakan dan industrialisasi masyarakat telah membunuh jutaan warga Soviet. Pada 1934, Gulag (sistem kamp penjara untuk tahanan politik Soviet) menahan jutaan orang yang dituduh melakuakan segala macam kejahatan yang dibuat-buat. Gulag, yang kemudian hari menjadi terkenal melalui novel Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, terdiri atas kamp-kamp kerja yang membentang melintasi Siberia dan jauh di Soviet utara dimana lebih dari satu juta orang meninggal.
Praktek terorisme juga dilakukan oleh rezim Mao Zedong, Frank Dikotter, seorang sejarawan Hong Kong yang dikutip melalui The Independent.co.uk, menemukan bahwa saat Mao menerapkan “Great Leap,” atau lompatan besar di tahun 1958-1962 untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Cina dari Dunia Barat, sedikitnya 45 juta penduduk Cina telah terbunuh karena dipaksa bekerja, kelaparan atau dipukul dalam kurun waktu tersebut (empat tahun). Hal ini merupakan pembantaian terbesar ketiga pada bad ke-20 setelah Gulag di Soviet dan Holocaust.
Tak ketinggalan pemimpin bangsa kita sendiripun melakukan praktek keji tersebut, saat Indonesia dibawa pimpinan Soeharto dibantu oleh kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang menyediakan daftar orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia (Friend, 2003: 117). Peristiwa ini terjadi tatkala kelopok komunis Indonesia gagal dalam melancarkan aksi kudeta pada 30 September 1965 yang kemudian diikuti dengan lengsernya Soekarno dari punjak kekuasaan dengan tuduhan mendalangi aksi kudeta tersebut. Kemudian kekuasaan Indonesia dipegang oleh Soeharto atas pilihan MPRS yang berisi orang-orang pro Soeharto setelah pemecatan para Soekarnois di MPRS. Jumlah pasti korban genosida terbesar abad ke 20 di Indonesia tersebut sangat sulit untuk diketahui, hanya sedikit akademisi dan wartawan Barat di Indonesia pada saat itu. Sebelum pembantaian usai, angkatan bersenjata Indonesia memperkirakan sekitar 78.500 orang telah meninggal, sedangkan menurut orang-orang komunis, diperkirakan 2 juta orang meninggal. Di kemudian hari angkatan bersenjata memperkirakan 1 juta orang telah dibantai (Vickers, 2005: 159). Sebagian besar para sejarawan sepakat bahwa sedikitnya setengah juta orang dibantai dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, dan digorok oleh kelompok militer dan warga sipil.
Dan sekarang, praktek terorisme banyak juga dilakukan oleh negara seperti Israel yang banyak membunuh warga Palestina, Myanmar dengan etnis Rohingyanya, Suriah dibawa pimpinan Bashar Al Assad yang banyak membantai warganya sendiri, dan negara-negara lianya. Hal tersebut menunjukan bahwa kecenderungan terorisme bukan hanya dipraktekan oleh segolongan kaum radikal, namun juga oleh negara atau yang lazim disebut dengan “state-sponsored terrorism”.
Terorisme = Musuh Bersama?
Awal mula terorisme banyak menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Pemerintah AS berreaksi cepat dengan menerapkan kebijakan “war on terroris”, ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat dunia terkontuksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama terbesar mereka. Sayangnya, kontruksi musuh bersama tersebut diikuti pula dengan pengkontruksian masyarakat tentang kaitanya salah satu agama yang dekat dengan terorisme sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. Agama yang dimaksud itu ialah Islam,  pengkondisian Islam sebagi agama yang erat kaitanya dengan terorisme dikarenakan banyak peraktek-praktek pengeboman dilakukan oleh muslim ditambah dengan peran dari media yang seakan-akan mempercepat pengkondisian tersebut.
Lalu pertanyaanya apakah benar “terorisme” sebagai musuh bersama umat manusia? Mungkin banyak yang berpendapat bahwa pertanyaan tersebut tak membutukan jawaban dikerenakan sudah secara gambalang terlihat bahwa terorisme merupakan musuh bersama bagi umat manusia. Namun dalam tulisan ini, penulis ingin menguak atau setidaknya menjelaskan alasan secara jelas mengapa ada pengkondisian bahwa terorisme merupakan musuh bersama.
Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet sebagai rival negara demokrasi-kapitalis Amerika Serikat di awal dekade 90-an terjadi perubahan konsep keamanan dalam Hubungan Internasional. Dahulu keamanan dipahai hanya berbicara mengani kalkulasi materi yang sangat bersifat tradisional yang militeristik. Konsep keamanan tersebut menkankan titik fokus pada negara, artinya negaralah sebagai objek yang perluh dilindungi dari ancaman. Namun semenjak berakhirnya Perang Dingin, muncul konsep keamanan baru, seperti “human security”, atau kemanan terhadap manusia. Konsep keamanan ini menitikberatkan pada perlindungan terhadap eksistensi manusia dengan dasar bahwa manusialah yang sebenarnya menjalankan negara dan juga manusialah yang menjadi alasan mengapa negara ada, yaitu untuk melindungi manusia dari anarki alamiah. Dari landasan tersebut maka masuklah terorisme sebagi musuh bersama umat manusia karena tindakan terorisme sendiri mengancam eksistensi manusia, meliahat sasaran mereka ialah manusia.
Upaya pengkondisian besar-besaran menjdikan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia dilakuakan oleh AS pasca tragedi 9/11. Sebelumnya pemerintah AS mengkondisikan persepsi masyarakatnya untuk percaya bahwa musuh bersama mereka ialah komunisme, persis apa yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap masyarakat Indonesia.
Pasca tragedi 9/11 pemerintah AS menudingkan kelompok Al Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Hingga akhirnya AS mencanangkan kebijakan war on terrorism, di mana pengaplikasian dari kebijakan tersebut ialah melakukan prventive strike dengan pertimbangan yang unilateralisme untuk menginvasi Afganistan yang dituduh sebagai sarang dari kelmpok Al Qaeda. Menurut Mubah (2007),  karakter AS tersebut dikarenakan rezim yang berkuasa pada saat itu dipengaruhi oleh kelompok nekonservatif yang menghendaki kebijakan luar negeri AS bersifat hawkish.
Pengkondisian terorisme sebagai musuh bersama tak lebih dari upaya kalangan neokonservatif di AS untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Mereka mencari-cari alasan terdapat keterkaitan antara Osama Bin Laden dengan rezim Saddam Hussein di Iraq. Kaitannya, Osama dengan organisasinya Al Qaeda memperoleh pasokan persenjataan dari rezim Saddam untuk menyerang kepentingan AS di seluruh dunia, termasuk WTC dan Pentagon. Dengan kata lain, AS berusaha menyetir opini publik internasional melalui media yang mereka kuasai kalau dalang sesungguhnya dalang dibalik peristiwa 9/11 ialah Saddam Hussein (Mubah, 2007: 159-160).
David Duke berpendapat sebaliknya mengenai tudingan Bush terhadap Taliban  dan Iraq terkait dengan terorisme. Ia dengan berani memilih jalur yang berseberangan dengan pendapat mayoritas publik AS dengan menyatakan bahwa Israellah yang semestinya ditempatkan pada posisi puncak sebagai target AS, sebab negara ini telah melakukan tindakan terorisme terhadap bangsa Palestina dan penghinatan secara sadar terhadap rakyat AS. Bagi Duke, Israel adalah surga teroris dan AS telah diperalat untuk memuaskan hawa nafsunya dengan mensupalai miliaran dolar yang diperoleh dari pajak rakyat AS untuk memenuhi kebutuhan persenjataan canggi yang digunakan untuk melakuakan pembunuhan terhadap bangsa Palestina (Duke, 2004: 11-26).
Dari sedikit uraian tadi penulis berusaha membuka cakrawala pengetahuan kita bahwa terorisme menjadi musuh bersama umat manusia merupakan hasil dari pengkondisian pemerintah AS dengan bantuan mendia mainstream. Munculnya asosiasi terorisme dengan Islam juga tak jauh berbeda dengan upaya pengkontruksian tersebut. Penulis tak bermaksud untuk menghilangakan daftar tindakan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia, namun penulis di sini lebih berusaha untuk terorisme bukan hanya tindakan yang dilakukan oleh kalangan penganut agama tertentu, namun lebih dari itu, tindakan terorisme bagi penulis adalah segala bentuk kekerasan dan pembunuhan yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi ini tanpa terpaku pada siapa yang melakukan tindakan tersebut.
Re-Construc Common Enemy
Terdapat sebuah anekdot yang menggelikan tentang terorisme dan petir, sebelum peristiwa 9/11, di AS jauh lebih sedikit warga AS terbunuh karena tindakan terorisme dibanding terbunuh karena serangan petir di sana (Mueller, 2004: 110). Peristiwa 9/11 seakan menjadi titik balik dari konsepsi common enemy di komunitas internasional yang sebelum adanya peristiwa itu terorisme masih dilihat sebagai kejahatan kecil (belum dilihat dapat berdampak secara luas bagi komunitas global). Kemudian pasca peristiwa itu, AS meyakinkan dunia bahwa ia dan aliansinya harus menghancurkan rezim yang mensponsori terorisme, dalam hal ini Afganistan dan Iraq yang dituduh oleh AS menyembunyikan senjata pemusanah massal. Oleh karena itu, AS dan aliansinya harus segera mengambil tindakan dengan cara menyerangnya terlebih dahulu sebelum AS dan negara-negara lain yang diserang duluan (preventive strike). Argumen itulah yang melandasi invasi AS ke Afganistan dan Iraq di tahun 2003. Lebih lanjut, meskipun sebagian komentator berargumen bahwa perang yang dipimpin AS di Iraq meneyebabkan “seranangan balik terorisme”, yang berarati bahwa perang cenderung meningkatkan, bukan menuerunkan, potensi rekrutmen terorisme internasional (Mann, 2003: 159-193).
Mubarok (2010), di dalam tesis magisternya meyebutkan bahwa saat terjadi peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marrion dan Ritz Carlton (2009-2010), media Indonesia, seperti Kompas banyak memberitakan yang mengarahakn terorisme sebagai musuh demokrasi. Kompas sendiri bahkan samapai mengutip pernyataan dari Presiden Prancis Nicholas Sarkozy, Kompas mengutip bahwa “… terorisme adalah musuh demokrasi”. Ancaman  (Mubarok, 2010: 82).
Di sini kita hendak mencoba mengkonstruksikan kembali apa saja sebenarnya yang lebih pantas atau lebih utama kita sebaut sebagai common enemy. Maka dari itu, supaya kita bisa dengan runut mengkonstruksiakanya maka dibutuhkan pertanyaan “common enemy bagi siapa?”, seperti yang telah disebutkan di atas kita di sini hendak mengkonstruksikan kembali apa sebenarnya yang pantas disebut musuh bersama, pertanyaan tadi bisa dijawab dengan musuh bersama bagi umat manusia, bukan bagi eksistensi rezim maupun kekuasaan tapi bagi eksistensi manusia dan kesejahteraanya di dunia ini. Lalu, apakah yang paling besar mengancam eksistensi manusia dan kesejahteraanya? Terorisme memang masuk kedalam salah satu ancaman tersebut, namun apakah terorisme yang paling besar ancamanya terhadap eksistensi manusia dan kesejahteraanya? Matt McFarland, di dalam tulisanya yang dimuat di halaman Washington Post pada 20 Feberuari 2015 dengan judul The 12 Threates to Human Civilization, Ranked, menyebutkan bahwa terdapat 12 hal yang dapat mengancam peradaban manusia. Kedua belas ancaman tersebut seperti, kecerdasan buatan, unknown consequences, biologi buatan, perubahan iklim secara ekstrim, nanoteknologi, perang nuklir, ancaman jatuhnya asteroid, global pendemik, letusan gunung berapi besar, runtuhnya ekologi, runtuhnya sistem status quo, dan pemerintahan global yang buruk. Ancaman -ancaman tersebut sedikit banyak belum terlalu dirasakan imbasnya untuk saat ini.
Ancaman paling besar terhadap eksistensi manusia dan kesejahteraanya bagi penulis pribadi sangatlah banyak, namun di sini kita berusaha mencari yang paling mengancam terhadap manusia dan kesejahteraanya. Kalau kita berkenan untuk menengok sejarah peradaban-peradaban masa lalu kita akan banyak mendapati  fakta bahwa banyak manusia terbunuh karena perang dan wabah penyakit. Namun, di tengah zaman yang banyak menikmati perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, masalah wabah penyakit tak terlalui menghantui kecuali hasil ketakutan yang diciptakan oleh media massa. Perang, bagi penulis merupakan ancaman yang akan sangat besar memusnahkan manusia dan juga menyengsarakanya. Banyak orang-orang terdahulu tewas dengan sia-sia gara-gara perang, perang tak lain adalah sesuatu yang diciptakan olehpemimpin-pemimpin ekspansionis dan haus akan kekuasaan.
Perang tak timbul dengan sendirinya, lebih dari itu perang merupakan sebuah cara untuk memenuhi kerakusan penguasaan-penguasa bangsa. Perang banyak tercipta karena didorong oleh pemimpin-pemimpinnya. Pemimpin yang haus akan kekuasaan maka akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaanya dan memperbesar wilayahnya untuk menunjang keberlanjutan hegemoni negara-bangsanya. Penguasa-penguasa yang rakus juga pada akhirnya berbuat sewenang-wenang pada rakyatnya, hingga akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada rakyatnya. Bahkan, kesengsaraan itu tak hanya dialami oleh rakyatnya saja namun oleh rakyat dari negara lain. Kesengsaraan yang dialami oleh rakyat di negara lain bahkan akan lebih parah. Kesengsaraan tersebut dikarenakan kerakusan dari negara ekspansions untuk merebut kekayaan alam dari negara lain.
Dengan mengatasnamakan demokratisasi dan perang terhadap terorisme negara itu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan kedaulatan negara lain. Negara seperti itu seakan menjadi pahlawan di setiap tindakanya, padahal ia ingin menguasai berbagai sumber daya untuk menopang keberlangsungan hegemoninya supaya kerakusan mereka terus terpenuhi. Negara penjajah itu akan melakukan berbagai cara dan modal yang ia miliki, termasuk modal penguasaan akan ilmu penegetahuan dan teknologi. Negara ini menciptakan pesawat-pesawat tanpa awak yang dipersenjatai untuk diterbangkan di wilaya negara lain untuk membantai rakyat sipil dari negara lain dengan legitimasi perang terhadap terorisme, padahal ia sendiri yang patut kita sebut sebagai teroris. Penulis yakin pembaca sudah mengerti negara mana yang penulis maksud.
Terorisme memang musuh bersama bagi manusia namun, tindakan terorisme tak terbatas hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, namun bisa juga dilakukan oleh sebuah negara untuk menjaga keberlangsungan kekuasaanya. Ia akan melaukan berbagai cara demi menjaga kekuasaanya untuk memenuhi kerakusanya yang tak pernah merasa terpenuhi meski telah merampok banyak sumber daya yang terkandung di negara lain. Negara seperti itulah yang patut disebut teroris dan musuh bersama, karena ia akan melakukan berbagai cara termasuk menginvasi dan mengobrak-abrik tatanan internasional yang tak sesuai dengan kepentinganya. Negara seperti ini telah banyak menyengsarakan rakyat di negara lain dengan tidakan-tindakanya tersebut. Apakah menurut anda negara seperti itu patut kita jadikan sebagai musuh bersama?
Kepustakaan
  • Duke, David. (2004). Mengapa Amerika (Mau) Diserang Lagi?. Jakarta: Penerbit Kalam Indonesia
  • Friend, T. (2003). Indonesia Destinies. Harvard University Press
  • Jackson, Robert & Sorensen, George. (2013). Introduction to International Relations 4th Edition. New York: Oxford University Perss Inc.
  • Mann, M. (2003). Incoherent Empire. London: Verso
  • Mansbacah, Richard W. & Refferty, Kirsten L. (2008). Introduction to Global Politics. London & New York: Routledge
  • Mao’s Great Leap Forward ‘Killed 45 Million in Four Years’. www.independent.co.uk/arts-eneterta…. Diakses pada 1 Juni 2016
  • McFarland, Matt. The 12 Threates to Human Civilization, Ranked. www.washingtonpost.com/news/innovat…. Diakses pada 2 Juni 2016
  • Mubah, Sfril A. (2007). Menguak Ulah Neokons: Menyingkap Agnda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Mubarok, Mubarok. (2010). Stigmatisasi Pemeberitaan Terorisme di Media Massa. Semarang: Universitas Diponogoro. http://eprints.undip.ac.id/38355. Diunduh pada 2 Juni 2016
  • Mueller, J. (2004). The Remnants of War. New York: Cornell University Press
  • Sihbudi, M. Rizal. (1994). Bara Timur Tengah: Islam, Dunia Arab, Iran. Bandung: Mizan
  • Vickers, Adrian. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com