Narko-Kolonialisme Ala CIA

Bagikan artikel ini

Sofyan Ahmad

Perdagangan internasional narkoba pada akhir abad ke-20, meningkat tajam volume sekaligus efek mematikannya pada penduduk dunia, peredarannya lebih cepat dari perdagangan senjata sekalipun. Narkoba menjadi komoditas paling menguntungkan dibandingkan perdagangan lainnya. Profit global dari bisnis narkoba multinasional dan manajemen kriminal di dalamnya terhitung mencapai milyaran dollar setiap tahun.

Benang kusut perdagangan narkoba internasional semakin kukuh dengan terlibatnya lembaga-lembaga intelijen dunia. Central Intelligence Agency (CIA) sebagai agensi paling aktif dan dinamis tentu membutuhkan banyak dana untuk menyokong  seluruh operasi clandestine (bawah tanah) di dunia. Hampir pasti berperan dalam setiap pergolakan politik di dunia, operasi-operasi CIA itu tentu membutuhkan aliran finansial yang stabil. Dan  dana narkoba mampu menutupi kekurangan yang sangat besar disetiap operasi. Eksekutif Direktur UNODC (United Nations Office of Drugs Control), Antonio Maria Costa yang bermarkas di Wina mengungkapkan bahwa dana narkoba (black budget) menjadi satu-satunya sumber kapital saat krisis pendanaan terjadi pada akhir tahun. Dan dana dari narkoba itu seringkali lolos audit dan laporan resmi, karena itu terdapat sejumlah kejadian dimana CIA tidak pernah memberikan laporan detil setiap operasi dengan siapa pun di Washington.

CIA memiliki sejarah panjang hubungan dengan mafia. Pada Perang Dunia II, CIA memanfaatkan pengaruh Lucky Luciano untuk menggalang dukungan rakyat Sicilia sebelum pendaratan pasukan Sekutu di pulau tersebut dan mengusir pasukan Jerman. Kini, CIA merentangkan tali kendalinya di berbagai belahan dunia yang diketahui sebagai pusat-pusat produksi opium di Segitiga Emas dan Afghanistan, kokain di Nikaragua maupun tempat lain.

Segitiga Emas dan CIA

Keterlibatan CIA dalam bisnis opium di Segi Tiga Emas (Golden Triangle) dimulai ketika medio 1960-an yang menandai puncak industri heroin Eropa mengalami kemunduran cepat. Awal 1960, Italia mulai menghancurkan jaringan mafia Sicilia, tahun 1967 Turki mulai membakar ladang-ladang opium di pegunungan Anatolia untuk memotong jalur suplay laboratorium pengolahan heroin di Marseille. Tidak ingin kehilangan sumber daya yang melimpah, mafia Corsica bersama mafia Amerika mengalihkan sumber pasokannya ke Asia Tenggara yang masih surplus opium berikut rezim korup yang “mendukung” situasi kondusif bagi produksi heroin skala besar.

Awal 1950, CIA mendukung pembentukan gerilyawan nasionalis China di Burma (Myanmar), grup yang masih mengendalikan setidaknya setengah suplai opium dunia, dan di Laos menciptakan bandar senjata  gelap Meo yang dimana komandannya mengolah heroin untuk dijual termasuk pada tentara Amerika di Vietnam Selatan.  Akhir 1969, laboratorium heroin menjamur di tiga perbatasan yang meliputi Burma, Thailand dan Laos. Hasil pengolahan heroin di Asia Tenggara tersebut mulai membanjiri Amerika Serikat dalam jumlah yang tak dapat diprediksikan, efeknya tentu terlihat pada meroketnya jumlah pecandu narkoba.

Disaat pegunungan Laos terisolasi dari lalu-lintas darat dan udara,  kendaraan dan pesawat CIA leluasa kelar masuk kawasan itu, dan opium mulai mengalir deras keluar dari desa-desa Laos menuju titik transit seperti Long Tieng. Intervensi bawah tanah CIA mulai menghasilkan peningkatan volume peredaran narkotika. Maskapai milik CIA, Air America mulai menerbangkan opium Meo keluar dari perbukitan Long Tieng dan Vientiane.

Arti penting dari klien-klien CIA terutama dalam pertumbuhan perdagangan heroin Segitiga Emas terungkap secara tidak sengaja oleh agensi sendiri ketika membocorkan laporan  rahasia soal peredaran opium Asia Tenggara ke surat kabar New York Times. Divisi analis CIA mengidentifikasi sekitar dua puluh satu pusat pengolahan opium terdapat di perbatasan tiga negara, Burma-Thailand, dan Laos. Tujuh diantaranya mampu memproduksi heroin kualitas 4 dengan kemurnian 90-99 %, ketujuh laboratorium tersebut berlokasi  di Tachilek (Myanmar), Ban Houei Sai dan Nam Keung (Laos), dan Mae Salong (Thailand).

Pusat pengolahan tersebut berlokasi di wilayah yang sepenuhnya dalam pengendalian grup paramiliter binaan Amerika di Segitiga Emas. Kawasan Mae Salong merupakan pusat Nationalist Chinese Fifth Army yang terlibat dengan CIA sejak 1950. Laboratorium Nam Keung dikuasai oleh Mayor Chao La, komandan pasukan bayaran Yao binaan CIA di barat laut Laos. Laboratorium dekat Ban Houei Sai adalah milik Jenderal Ouane Rattikone, mantan kepala angkatan darat militer Laos, satu-satunya pasukan militer di dunia non AS  yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah AS. Pabrik heroin dekat Tachilek dioperasikan oleh satu unit pemberontak Burma (Myanmar) dan pasukan Shan yang mengendalikan sebagian besar peredaran narkotika keluar Burma.

Sumber lain mengungkapkan sejumlah keberadaan laboratorium heroin yang dioperasikan dekat Vientiane di bawah perlindungan Jendral Ouane Rattikone. Dan akhirnya, Biro Narkotika AS melaporkan bahwa Jendral Vang Pao, panglima pasukan rahasia CIA, telah mengoperasikan pabrik heroin di Long Tieng,  pusat operasi kelompok-kelompok dukungan CIA di utara Laos.

Kejatuhan pemerintahan Nasionalis China atau Kuomintang (KMT) tahun 1949 dimanfaatkan Presiden Truman untuk mengendalikan gerakan komunis yang menuju selatan ke Asia Tenggara. Sisa-sisa pasukan KMT yang terdesak saat itu terkonsentrasi di provinsi Shan Burma, mendapatkan bantuan militer dari AS untuk rencana invasi di selatan China. Namun pada kenyataannya, pasukan KMT secara militer telah gagal, tetapi mereka sukses memonopoli perdagangan opium di provinsi Shan dengan bantuan CIA. Ini dipastikan oleh intelijen Burma pada awal 1951, yang melaporkan adanya pesawat C46 dan C47 menerjunkan setidaknya lima parasut seminggu di basis KMT di Mong Hsat.

Panen opium yang dikelola KMT dikirimkan ke utara Thailand untuk dijual pada kaki tangan CIA lainnya : Jenderal Phao Sriyanonda. CIA memuji kemitraan Phao-KMT yang telah menyediakan wilayah aman bagi KMT. Segera kemitraan tersebut menjadi titik penting dalam pertumbuhan perdagangan narkotika di Asia Tenggara.

Dengan dukungan CIA, KMT tetap di Burma hingga 1961, saat pasukan Burma mendesak mereka mundur ke Laos dan Thailand. Pada era itu, KMT telah menggunakan segenap pengaruhnya terhadap suku-suku pegunungan untuk meningkatkan produksi opium provinsi Shan dari 40 ton di akhir PD II hingga empat ratus ton di tahun 1962. Hari ini, hampir empat puluh berkat bantuan CIA di Segitiga Emas, serdadu KMT mengendalikan hampir setengah suplai opium dunia dan separuh bisnis opium di Asia Tenggara.

Politik Opium di Afghanistan

Di Afghanistan, AS/NATO selalu menuduh Taliban menggunakan opium sebagai sumber dana dalam perlawanan terhadap pasukan sekutu. Ironisnya, justru di era Taliban produksi opium telah menurun tajam di seluruh negeri, mungkin pertama kalinya dalam sejarah Afghanistan.  Hal ini telah ditegaskan sebelumnya oleh The Independent (19/10/2001) yang memuat tulisan Richard Lloyd Parry dari Islamabad dengan judul “End of Taliban will Bring Rise in Heroin.” Parry memperingatkan PBB bahwa kekalahan Taliban akan menciptakan gelombang besar produksi opium yang sebelumnya terhenti.

Menurut Farzana Shah dari BrassTacks (Security Think Tank and Defence Analysis Consulting) yang berbasis di Pakistan, Afghanistan adalah produsen bahan utama heroin : opium, tidak ada hal baru dalam hal ini di dunia. Produksi komersial opium dimulai selama invasi Rusia di Afghanistan dimana perkiraan produksi mencapai 8250 metrik ton opium setiap tahunnya atau 86% hingga 90% dari seluruh suplai opium dunia (AmericanFreePress.net, 24/11/2008). Meningkatnya produsi opium turut mengangkat kesejahteraan para panglima klan Afghanistan, termasuk masuknya milyaran dollar ke kas CIA. Inilah yang diperjuangkan lembaga intelijen itu di Afghanistan : produksi opium, dengan kemasan tanpa merek.

Peran CIA dalam awal-awal perang Afghan tidaklah terang-terangan. Untuk menghindari konflik terbuka dengan Soviet, CIA cukup memanfaatkan hubungan rahasianya dengan sejumlah panglima di Afghanistan yang menyediakan sejumlah lahan perkebunan opium. “Pada akhir invasi Soviet 1989, Afghanistan adalah produsen opium kedua terbesar dunia dengan jumlah 1350 metrik ton setelah Segitiga Emas : Laos-Thaildand-Burma-Vietnam yang memproduksi 2645 Metrik ton, jauh di atas Amerika Latin yang hanya memproduksi 112 Metrik ton,” demikian menurut badan anti narkoba AS.

Afghanistan kini memimpin produksi opium di dunia setelah invasi AS tahun 2002. Tanpa dukungan aktif Pentagon dan CIA, tidak mungkin mengekspor 8000 metrik ton opium ke luar Afghanistan. Hubungan AS dengan Aliansi Utara setelah Taliban jatuh menjaminkan lisensi besar pada seluruh produsen maupun pedagang opium. CIA dan Pentagon sangat dekat dengan seluruh jaringan kriminal untuk mengamankan suplai narkoba dan mengeskpornya dengan pesawat militer AS. Banyak laporan yang menerangkan bahwa pesawat-pesawat militer yang digunakan CIA mengangkut peti mati berisi narkoba. Untuk memastikan jalur peredaran tidak terganggu, AS menunjuk seluruh bandar-bandar narkoba Aliansi Utara di setiap pos-pos kunci di Afghanistan, salah satunya adalah Ahmed Wali Karzai, Saudara Presiden Hamid Karzai. Wali Karzai adalah gubernur provinsi Kandahar dekat perbatasan Iran.

Maka wajar jika kemudian Rusia menuduh Amerika tidak serius menuntaskan persoalan opium, terutama di Afghanistan. Kepala agensi pengendalian obat federal Rusia, Victor Ivanov menyatakan bahwa pasukan pendudukan AS di Afghanistan telah gagal menghentikan produksi Opium Afghanistan yang meningkat sejak invasi AS dan Sekutunya tahun 2001. Victor menuduh Presiden Obama tidak serius, sementara setiap tahun 30.000 orang tewas karena heroin yang 90% berasal dari Afghanistan. Sejak kekalahan Taliban, Rusia dan negara-negara Asia Tengah kebanjiran heroin murah dari wilayah pendudukan Amerika tersebut (www.presstv.ir, 28/02/2010).

*Tulisan ini dimuat di Majalah INTELIJEN No 06/Th VIII/2011

Rujukan :

1. Kris Millegan Dkk, Fleshing Out The Order of Skull and Bones – Investigations to America’s Most Powerful Secret Society.
2. Alfred W. McCoy with Cathleen B. Read and Leonard P.Adams II, The Politics of Heroin in Southeast Asia
3. Francis W. Belanger, Drugs, The U.S., and Khun Sa,
4. Farzana Shah , Secret Operations, Drug Money Central Investigation Agency, BassTacks Publication, 2009

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com