Negeri Kemana Melangkah

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid-Network Associate Global Future Institute (GFI)

Mengurai gemilang cahaya Indonesia doeloe mutlak diawali semenjak abad VII zaman Sriwijaya. Ia dinamai Nusantara I. Kemudian abad XIV era Majapahit disebut Nusantara II. Tidak dapat dipungkiri siapa pun kemilau sinarnya ditengarai sebagai negeri kelautan. Negara maritim.

Mengawal archipelago doeloe di mana sekarang terbentang dari Sabang sampai Merauke – antara Miangas hingga Rote ketangguhan angkatan (perang) laut Sriwijaya dan Majapahit sangatlah melegenda. Itulah Nusantara dahulu. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua. Jaya di Lautan Sentosa di Daratan.

Syahdan keagungan dan kebesaran Nusantara disegani kawan maupun lawan. Ia mercusuar dunia. Masa-masa keemasan kala itu senantiasa di bawah kepemimpinan sosok yang beratribut “Panglima”. Semasa jaya-jayanya doeloe Nusantara tidak pernah dipimpin sosok politikus, tidak ulama, bukan pedagang, atau pengusaha, tidak pula cendikiawan. Itulah data yang ada lagi nyata.

Banyak ramalan bilang kejayaan Nusantara berulang setiap tujuh abad. Putaran pertama jatuh di abad VII Sriwijaya. Lalu putaran kedua abad XIV Majapahit. Memasuki lorong putaran ketiga abad XXI entah di tahun kapan, dan di bawah sosok siapa Indonesia kembali jaya?

Kejatuhan dan kejayaan bangsa niscaya bukan karena ramalan. Suatu ramalan cuma sekedar sunnah. Boleh percaya boleh tidak. Mau diyakini atau sekedar dianggap ilusi. Silahkan saja. Tetapi, yang pokok jatuh bangunnya suatu negara karena perilaku warga bangsanya sendiri. Bukan sebab orang lain. Hal ini wajib disadari serta diyakini segenap toempah darah Indonesia.

Sejarah hanyalah wadah. Di mana putra-putri bangsa seyogyanya mampu menimba nilai-nilai (local wisdom) yang doeloe mengiringi kejayaan negara. Ketika suatu generasi tidak bisa mengurai nilai-nilai keemasan masa lalu bangsanya niscaya terombang-ambing tidak punya identitas. Bukankah globalisasi itu identik dengan bercampurnya nilai-nilai Barat dan Timur?

Hampir semua terkejut. Ketika local wisdom bangsa Indonesia tiba-tiba menjadi milik global dan dianut oleh komunitas internasional tanpa warganya sendiri memahami.

Pertanyaannya: bukankah win-win solution berasal dari ajaran Jawa menang tanpo ngasorake, tidakkah engkau sadari bahwa occupation without troops berawal dari petuah lama nglurug tanpa bala. Apakah tak kau cermati learning by doing dan experiance is the best teacher diilhami dari pepatah Minang alam takambang menjadi guru?

Makanya wajar terjadi. Bila aset-aset bangsa kasat mata seperti seni reog, hak paten tempe, lagu daerah, pasir laut, dan bahkan ada pulau-pulau kecil terluar di negeri ini “diserobot” bangsa lain. Apalagi cuma local wisdom yang tak terlihat.

Kecenderungan gerak republik ini mengarah pada dua hal.

Pertama, dinamika masyarakat menuju kapitalisme di mana berbagai sumber daya terutama kekayaan alam menyangkut hajat hidup orang banyak cuma dimiliki segelintir orang saja. Tanpa disadari perilaku di ranah politik pun mencerminkan ikhwal demikian.

Contoh sederhananya pelaksanaan pemilu, pilbup/walikota atau pilkada gubernur, pilkades. Bahkan pilkoplo memperlihatkan tata pola kapitalis. Barang siapa tak punya uang banyak jangan berharap bisa menjadi Kepala Desa, Bupati, Gubernur, apalagi menjadi Presiden.

Ini memicu kompetisi apa pun di mana pun yang kian meningkat. Gerak dinamika sosial mengarah pada koloni (kelompok-kelompok) guna menghadapi “kerasnya” lingkungan yang cenderung materialistik dan konsumtif. Muncul berbagai kelompok aliran dan organisasi massa (ormas) dengan aneka motivasi, nilai-nilai, dogma, latar belakang, dan sebagainya.

Kecenderungan yang timbul setiap ormas dan aliran merasa benar sendiri. Ingin disebut paling hebat sendiri. Akibatnya ego sektoral merebak di masyarakat sebagai latenitas konflik. Persoalan muncul ketika mencari bulat mufakat mengendala pada tahapan proses.

Ketidaksiapan mayoritas rakyat menghadapi kolonialisme dan kapitalisme yang “menabrak” bangsa ini menyebabkan krisis moral di sana-sini. Mental tak kuat. Iman bergoyang. Sehingga giliran warga masyarakat (yang kurang kuat mental) cenderung “potong kompas” yaitu menerabas hukum, menabrak norma sosial, agama, nilai sopan santun pun disingkirkan.

Muncul banyak aliran berafiliasi barat seperti punk, metalism, underground, dan sebagainya sebagai pengejawantahan dominasi nilai-nilai asing atas nilai lokal. Ingin bebas tetapi tak tahu ke mana arah tujuannya. Akhirnya cara potong kompas termudah meraih “sesuatu” adalah ‘narkoba’ sebagaimana terlihat di berbagai strata sosial.

Menelusuri dan menarik hikmah emas Perang Boxer (candu) di Cina beberapa tahun silam retorika bijak yang muncul adalah berapa lama ia stagnansi akibat para pemudanya diracuni candu imperalisme asing. Bagaimana Cina mencapai equilibrium kemudian menggeliat dan kini menjadi “raksasa” dunia. Bukankah narkoba sarana paling ‘murah’ untuk merusak bangsa?

Kedua, sistem pemerintahan cenderung liberal. Titik tolaknya adalah otonomi daerah (otoda) sebagai “penghalusan” federalisasi yang doeloe ditolak banyak kalangan.

Kebebasan pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan pihak asing tanpa “saring” atau kontrol dari pusat. Di satu sisi, sebagai upaya mendewasakan daerah agar tidak selalu mengekor pusat. Di sisi lain justru melemahkan Jakarta selaku pusat kekuasaan.

Ini berdampak panjangnya rantai birokrasi. Produk aturan bertambah. Namun, sering kali tumpang tindih. “Roh” pembangunan yang tak lagi seragam akibat hingar-bingar reformasi. Pada akhirnya otoda menggiring birokrasi seolah-olah tanpa filter, membebani, dan menjebak negara masuk perangkap (aturan) sendiri.

Orang-orang larut oleh candu reformasi dan euphoria demokrasi tanpa peduli bahwa “isme” Barat telah merembes di berbagai dimensi sosial. Nilai lokal dan kearifannya menjadi kabur. Bahkan dianggapnya kuno dan cenderung diganti budaya global yang nge-pop. Lebih nge-trend katanya.

Itulah titik kritis bangsa. Nilai-nilai lama mulai ditinggalkan. Tetapi, nilai baru tak sepenuhnya melembaga. Belum dipahami banyak kalangan. Masih pro dan kontra. Inilah “ruas” persimpangan. Apakah Nusantara semakin terpuruk atau menggeliat bangun seperti Cina dan Rusia yang doeloe tertidur lelap. Tetapi, kini menjadi adidaya.

Semuanya merasa “biasa saja”. Ketika lidah anak bangsa lebih familier rasa Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Salad Thousand Island dibanding rasanya nasi pecel, soto, atau mendoan. Semua seakan membiarkan tatkala anak-anak asyik mengidolakan tokoh imajinasi barat seperti Spiderman, Popeye, Superman, Herry Potter, daripada sosok Gatot Koco, Joko Tingkir, Si Pitung, Joko Umbaran, dan sebagainya.

Sungguh menyedihkan. Ketika tayangan sinetron dan sinema justru “mengajari” anak negeri meminta pertolongan kepada ibu peri, jin gendut, atau kotak ajaib, bukannya melalui tatanan (agama)-Nya.

Liberalisasi pun melanda DPR pusat maupun daerah. Tumpang tindih aturan dan produk hukum menjadi biasa serta dibiarkan saja. Gilirannya menimbulkan kerancuan sistem administrasi pemerintah yang berujung High Cost Economy.

Penetrasi global ada di mana-mana. Tatkala jajanan pasar seperti arem-arem, lumpia, atau mendut yang seharusnya ranah rezeki kaki lima kini tersedia banyak di swalayan, di supermarket, bahkan di hotel megah. Ketika meneropong nun jauh di sana maka rakyatlah sebagai korban dan korban.

Banyak yang terkejut. Tatkala harga jeruk lokal lebih mahal dibanding jeruk impor. Setiap wilayah ingin menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) via berbagai retribusi di jalan. Orang-orang daerah tak peduli daerah tetangganya. Pokok-e PAD di daerahku meningkat. Para eksekutif tebar pesona melalui data dalam angka agar dianggap berhasil oleh publik, “ber-onani” di atas kesuksesan semu.

Tak sedikit Bupati, Gubernur, dan sebagainya berlagak seperti raja-raja kecil. Asyik berbagi “kue” dengan konco dan kerabatnya. Membuat proyek cuma sekedar untuk mengambil fee. Bukannya bagaimana kelanjutan pasarnya. Akibatnya banyak menara gading di daerah cuma dapat dilihat namun tak banyak manfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Di satu pihak, masyarakat tertuntun dalam komuni-komuni (tata cara hidup berkelompok) dengan berbagai justifikasi. Seperti mangan gak mangan ngumpul, dengan “bersatu” kita kuat, punya daya tawar kepada lingkungan sekitarnya. Muncul solidaritas berlebih di setiap kelompok terhadap komunitasnya.

Ini berdampak loyalitas sempit yang melihat permasalahan dari aspek kepentingannya. Arogansi sektoral seakan menjadi kewajiban tatkala setiap entitas ingin “ruang” sendiri-sendiri.

Akhirnya justru kemandegan (jalan di tempat) terasa di sana-sini. Seolah terlihat nafas dinamika tetapi hasilnya ‘nihil’. Sepertinya ada gaduh aktivitas namun ujungnya ‘nol’. Mengapa demikian. Oleh sebab banyak kalangan terjebak pengertian kulit tak bisa melihat substansi. Tidak sedikit golongan terjerat maksud tanpa paham makna.

Ketika bicara supremasi hukum orang tak bisa mengurai ke mana hukum melangkah benar guna meraih substansi tujuannya. Hiruk-pikuk supremacy of law cuma sebagai alat menghujat, saling menjatuhkan, memecah belah kelompok, mencari popularitas, dan seterusnya, di mana muaranya “bohong”.

Persoalannya kapan bangsa ini tiba di tujuan bila aturan hukum tidak dijalankan dengan benar guna meraih tujuan negaranya. Ketika era reformasi yang diniatkan guna memperbaiki bangsa agar tak kian terpuruk justru reformasi mengobrak-abrik dari dalam negeri sendiri.

Lihatlah. Ketika unjuk rasa bukan lagi sebagai penyampaian aspirasi. Tetapi, berubah menjadi profesi, alat bargaining, bahkan sarana unjuk gengsi politisi. Ketika ada sekelompok masyarakat benar-benar ingin menuangkan aspirasinya lingkungan salah persepsi serta aparatnya sudah apriori. Pada gilirannya supremasi hukum mengajari anak-anak negeri ini tidak ingat lagi etika moral dan sosial. Termasuk lupa hormat kepada orang tua serta pimpinannya.

Betapa ironis. Ketika mantan Presiden Soeharto terbaring sakit bahkan hingga wafatnya ada sekelompok calon intelektual bahkan beberapa intelektual terus menerus menghujatnya. O, generasi edan cuma pintar menuntut hak tapi lupa kewajiban. Pandai menghujat namun tak ada solusi. Buta Mata. Terhijab Hati. Hingga tak mampu melihat limpahan bela sungkawa mengalir dari berbagai kalangan serta penjuru dunia pertanda bahwa sosok Soeharto diakui komunitas internasional.

Pertanyaannya: bukankah Soekarno, Bung Hatta, Soeharto, dan sebagainya ialah karya yang dilahirkan bangsa ini. Seperti Nusantara doeloe melahirkan Patih Gajah Mada, Syech Siti Jenar, atau pun Balaputra Dewa?

Terlepas ada kontroversi kebijakan sewaktu memegang tampuk kekuasaan doeloe (siapa orang tak pernah salah). Bukankah yang ia dikerjakan dalam koridor cinta tanah air (nasionalisme)?

Ayo semuanya. Jangan buang energi bangsa ini via topeng dan kedok-kedok yang mengatasnamakan Demokrasi, HAM, atau mengatasnamakan Reformasi. Tetapi, justru itu adalah “pesanan asing” untuk mengobrak-abrik dari dalam negeri sendiri.

Hormati pendahulu yang sudah berkarya bagi bangsa dan toempah darah Indonesia. Jangan menjadi anak durhaka. Jangan mau jalan di tempat. Jangan ingkari sejarah bangsa!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com