Nilai Strategis Kerjasama Indonesia-Rusia bidang Energi Dari Perspektif Kepentingan Nasional

Bagikan artikel ini

Rusia dalam Perspektif Geopolitik di Asia Pasifik

Kerjasama strategis Indonesia-Rusia menyusul ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MOU) oleh kedua negara di bidang energi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada 25 Juni 2015 lalu, kiranya merupakan babakan baru yang cukup menjanjikan ditinjau dari perspektif politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute bertema: Indonesia, Rusia dan G-20 pada Kamis 25 April 2013 lalu, pakar hubungan Internasional Dr Santos Winarso Dwiyogo, menyampaikan pandangan yang cukup menarik.

Menurut Dr Santos, Indonesia harus jeli dalam mencermati dan memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Rusia dan Cina yang bermaksud membuat satu gerakan untuk meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Dalam konteks ini, Indonesia harus menyadari bahwa Rusia memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam G-7 yang hakekatnya merupakan persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat (Uni Eropa).

Analisis Dr Santos terkait prospek Rusia di masa depan, nampaknya cukup beralasan. Apalagi Indonesia dan Rusia punya hubungan sejarah yang cukup panjang. Lebih dari itu, bahkan di era pemerintahan SBY pada 2004-2005, sebenanrya kedua negara sudah menandatangani Kemitraaan Strategis dengan Rusia. Menurut data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, Indonesia sudah memiliki sekitar 14 kemitraan strategis dengan beberapa negara, termasuk Rusia. Namun hingga akhir masa pemerintahan SBY, tidak ada follow up atau tindak lanjutnya.

Maka itu, penandatanganan MOU Indonesia-Rusia terkait bidang energi untuk PLTN 25 Juni 2015 lalu, tak pelak lagi merupakan sebuah langkah yang cukup strategis untuk membuka kembali peluang kerjasama strategis kedua negara secara bilateral, atau bahkan membuka kemungkinan kerjasama dalam lingkup yang lebih luas, seperti dalam Skema BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan).

Selain itu, ada sebuah pertimbangan lain yang sudah seharusnya menjadi dasar para penyusun kebijakan strategis bidang energi dan migas dalam pemerintahan Indonesia, adalah fakta bahwa saat ini Rusia menekankan fokus politik luar negerinya ke kawasan Asia Pasifik, sebagaimana juga yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Cina.

Apalagi dalam kasus Rusia, sejak Vladivostok Consensus semasa pemerintahan Gorbachev, Rusia berupaya untuk membangun kembali kesadaran tradisi Rusia terhadap Asia Pasifik. Selain itu para penyusun kebijakan strategis luar negeri dan Energi-Migas di pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya menyadari bahwa sejak Rusia melakukan transformasi politik luar negerinya semasa Yevgeny Maksimovich Primakov menjadi Perdana Menteri Rusia. Ditegaskan dalam doktrin Primakov (Strategic Triangle) bahwa aliansi strategis yang diperlukan Rusia untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika dan Eropa Barat, maka perlu dibentuk Poros Moskow-Beijing dan New Delhi (Rusia, Cina dan India). Maka inilah yang kelak pada perkembangannya kemudian, menjadi dasar untuk membangun kerjasama strategis lintas kawasan melalui yang kita sekarang kenal dengan SCO, yang kemudian diperluas menjadi BRICS .

 

Skema Kerjasama Strategis Cina-Rusia Melalui SCO dan Strategic Triangle

Mengapa pemerintahan Jokowi-JK perlu memahami terlebih dahulu skema kerjasama strategis Cina-Rusia melalui payung Shanghai Cooperation Organization (SCO)? Karena melalui pemahaman skema kerjasama SCO inilah, Indonesia, bisa memanfaatkan celah kerjasama tersebut dalam kerangka kerjasama strategis Cina-Rusia. Sehingga terbangun suatu aliansi strategis yang saling menguntungkan dan setara baik dengan Cina maupun Rusia. Baik dalam kerangka kerjasama multilateral secara segi tiga maupun secara bilateral antara Indonesia dengan Rusia dan Cina secara sendiri-sendiri.

SCO hakekatnya merupakan blok ekonomi, politik, dan keamanan regional yang tengah beranjak menjadi sebuah kutub baru dunia. Pada 2001, SCO dibentuk oleh Cina, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan.

Mulanya, Organisasi Kerjasama Shanghai didirikan untuk menyelesaikan sengketa perbatasan antara Cina, Rusia dan tiga negara bekas pecahan Uni Soviet di Asia Tengah. Namun perlahan, SCO mulai memperlebar skala kerjasama regionalnya hingga ke sektor ekonomi dan keamanan. Maka,  pada 2001 di Shanghai, para pemimpin Cina, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan mendeklrasikan berdirinya Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO).

Terbentuknya SCO yang berpotensi sebagai sebuah kutub baru dalam percaturan politik internasional sudah diprediksi oleh Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan nasional Amerika era pemerintahan Presiden Jimmy Carter. Dalam bukunya berjudul The Grand Chessboard Brzezinski menulis, “Dibentuknya aliansi yang beranggotakan Cina, Rusia, dan kemungkinan Iran, merupakan skenario yang berpotensi membawa perubahan besar pada taraf berikutnya.” Setelah terbentuknya SCO, diprediksi India, Republik Islam Iran, Pakistan, dan Mongolia kemungkinan bisa diterima sebagai anggota peninjau.

Lepas dari validitas prediksi Brzezinski yang masih perlu dikaji lebih dalam, pada intinya ada sebuah tren global yang tak terbantahkan, bahwa hubungan Rusia dan Cina sejak 2001 semakin erat dan solid. Yang tentunya hal ini akan membawa dampak secara langsung atau tidak langsung bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Memang di masa lalu Rusia dan Cina pernah terlibat dalam pertikaian politik yang cukup serius meski dulu sama-sama berhaluan marxisme. Namun nampaknya Rusia sekarang mulai menyadari betapa pentingnya saat ini untuk menjalin hubungan baik dengan Cina. Sebagaimana saat ini Cina dan India sudah mulai merajut hubungan baik antar kedua negara.

Hal kedua yang perlu dipahami oleh para penyusun kebijakan strategis pemerintahan Jokowi-JK, dalam Dotrin Primakov yang sampai sekarang masih menjadi rujukan para penyusun kebijakan luar negeri Rusia, pemerintahan Vladimir Putin meyakini bahwa melalui persekutuan strategis Rusia, Cina dan India, konservatisme trans atlantik ini akan mampu menggeser dominasi Amerika dan Uni Eropa di masa depan. Itulah sebabnya dalam Doktrij Primakov, pemerintahan Presiden Vladimir Putin memandang pentingnya aliansi strategis atau segitima strategis Rusia, Cina dan India.

Inilah latarbelakang mengapa kemudian Rusia dan Cina menjalin aliansi strategis melalui SCO pada 2001, yang kiranya perlu dipahami secara mendalam oleh para penyusun kebijakan strategis politik luar negeri maupun ekonomi pemerintahan Jokowi-JK. Karena melalui pemahaman terhadap skema SCO ini, Indonesia bisa menyelami terlebih dahulu visi Rusia dalam menggalang kerjasama di Asia Pasifik, dan betapa Rusia memandang penting Asia Pasifik, dan tentunya termasuk Indonesia.

Mengapa? Sejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil merubah kerterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada 1989, kembali jadi negara adidaya. Dalam visi geopolitik Putin yang seharusnya dipahami oleh Presiden Jokowi dan para tim strategis politik luar negerinya, Rusia tidak akan bersedia secara sukarela untuk melepaskan pengaruhnya terhadap beberapa negara eks Soviet di Asia Tengah seperti Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan dan sebagainya.

Rusia juga tidak bersedia untuk melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan pangan, di kawasan Kaukasus seperti Azerbaijan, Armenia, dan Georgia. Itulah sebabnya Rusia tetap memandang penting untuk menjalin kedekatan dengan negara-negara mantan satelitnya, termasuk Cina.

Itulah pula sebabnya mengapa Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui SCO. Rusia memandang SCO sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari Amerika maupun Uni Eropa.

 

Menuju Kerjasama Strategis Indonesia-Rusia Bidang Energi dan Teknologi Nuklir

Langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia dengan membuka sebuah kerjasama  di bidang energi untuk membangun PLTN, memang langkah yang tepat dan strategis, di tengah semakin erat dan solidnya kerjasama strategis Rusia-Cina di segala bidang. Karena dengan keputusan untuk menjalin kerjasama dengan Rusia, maka di masa depan akan tercipta momentum bagi Indonesia untuk membagun segi tiga strategis Indonesia-Rusia-Cina. Dan bidang yang kiranya patut jadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK, adalah di bidang energi, khususnya proyek pembangunan PLTN maupun reaktor nuklir.

Terkait dengan Rosatom sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk menangani kegiatan nuklir Rusia, beberapa waktu lalu Presiden Putin dalam jumpa pers sesudah bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, mengatakan bahwa kedua negara telah membahas prospek keikutsertaan Rosatom untuk membangun reaktor nuklir baru di kota Tianwan maupun di kota-kota lainnya di Cina.

Dan hal ini dimungkinkan karena adanya komitmen antar para pemimpin tingkat tinggi di Rusia untuk menjajaki suatu kerjasama di bidang nuklir, termasuk kemungkinan pembangunan pembangkit tenaga nuklir di Cina maupun di negara-negara lainnya. Barang tentu, melalui komitmen ini, sudah selayaknya Indonesia memandang hal ini sebagai sebuah momentum untuk membangun kerjasama strategis bidang energi dan teknologi nuklir dengan Rusia.

Keunggulan Rusia yang bisa dimanfaatkan Indonesia saat ini sebagai berikut:

  1. Militer.
  2. Peningkatan dan Pengembangan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, khususnya perangkat keras di bidang industri strategis, militer, ruang angkasa, pertambangan, pertanian, dan transportasi.
  3. Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia: Riset dan Pendidikan.
  4. Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista) dan teknologi perangkat keras.
  5. Investasi, khususnya di bidang pertambangan dan pertanian.
  6. Pasar produk Indonesia, dan trade hub untuk negara-negara Kaukasus, Asia Tengah, dan sebagian Eropa Timur.

Kerjasama Indonesia-Rusia bidang energi untuk PLTN, nampaknya harus dipandang dalam kerangka tindak lanjut dari peningkatan dan pengembangan di bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, khususnya perangkat keras bidang industri strategis.

Seperti diutarakan oleh  Mikhail Kuritsyn, Ketua Dewan Kerjasama Perdagangan Indonesia-Rusia (Business Council for Cooperation with Indonesia), kerjasama bidang energi memang kemudian ditindaklanjuti melalui Komisi Ekonomi dan Kerjasama Teknis antara Indonesia dan Rusia, yang melalui mekanisme kelembagaan ini, telah dibahas tentang kerjasama Rosatom dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dalam pembagunan PLTN. Seperti ditegaskan oleh Mikhail Kurisyn:

The overal tone is very positive. There is a famous Russian resultan promoting our technologies in the field of nuclear energy. We have the most under consturction or planned for construction of the reactor, a very good track record in terms of safety, efficacy and cost.”

Hasil positif yang tercapai melalui pertemuan antara para pejabat senior  Rosatom dan BATAN, nampaknya didasarkan pada kenyataan bahwa di era Uni Soviet dulu Indonesia punya tiga proyek penelitian tentang reaktor nuklir. Dan sekarang, Indonesia telah menetapkan untuk mengembangkan lebih lanjut penelitian/riset di bidang pembangkit tenaga nulir. Dan Rusia siap untuk membantu Indonesia memasok bahan-bahan mentah/raw material terkait proyek ini.

Untuk itu, Rusia memang cukup kompeten dan bisa diandalkan, mengingat fakta bahwa saat ini Rusia merupakan satu-satunya negara di dunia yang mempunyai teknologi pembangunan reaktor nuklir.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Mikhail Kuritsyin:

The fact that Russia—the only country in the world that has the technolog or reactors for the icebreaking fleet and, as I understand, is based on this technology have been developed floating nuclear power station of small capacity, which is ideal for a country such as Indonesia.”

Setidaknya sejak awal 2013, Rusia sudah melakukan promosi kerjasama dalam pengembangan teknologi nuklir untuk damai kepada Indonesia.

Menurut Y.N. Busurin, Kepala Departemen Infrastuktur Nuklir Rusia, kegiatan Rusia di bidang nuklir telah berpengalaman selama lebih dari 65 tahun. Kegiatan nuklir Rusia berada di bawah naungan lembaga yang bernama Rosatom, yang merupakan pemain utama di pasar nuklir dunia ini sudah berada di lebih 40 negara dari 5 benua.

“Kami tengah menawarkan Indonesia dan saling berdiskusi dalam mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai dalam jangka panjang. Bentuk kerjasama, proyek dan besarnya investasi tergantung permintaan pemerintah Indonesia nantinya,” ujarnya kepada kepada para wartawan seusai acara Experience Russia in peaceful use of nuclear energy, beberapa waktu yang lalu.

Program Nuklir Indonesia merupakan program Indonesia untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir, baik di bidang non-energi maupun di bidang energi untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah berkembang cukup maju. Sedangkan dalam bidang energi (pembangkitan listrik), hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakannya.

Apalagi, Teknologi Nuklir sudah dicanangkan dalam Rencana Jangka Panjang Menengah (RJPM) pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2006. Bahkan lebih dari itu, berdasarkan jajak pendapat terhadap publik yang dilakukan pada 2012 lalu, sebanyak 59,2% masyarakat Indonesia mendukung pemerintah menggunakan tekonologi nuklir.

 

Indonesia Tertarik pada PLTN Terapung Rusia

Nampaknya Indonesia sangat berminat pada PLTN Terapung Rusia. Mengingat kenyataan Indonesia merupakan negara kepulauan, begitu yang dinyatakan oleh Sergey Kiriyenko, Direktur Utama Rosatom, kepada para wartawan ketika berlangsungnya International Forum Atomexpo VII.

Dan untuk itu, Rusia nampaknya sangat antusias untuk membantu Indonesia melaksanakan pilot project tersebut. Dan bahkan siap untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan terkait teknologi-teknologi canggih di bidang pembangunan reaktor dan stasiun nuklir.

Dalam forum ATOMEXPO, delegasi Indonesia menunjukkan ketertarikan serius terhadap PTLN terapung Rusia dan pembangkit listrik bergerak lainnya. “Rosatom sedang menyelesaikan pembangunan PTLN terapung pertama di galangan kapal Baltiyskiy. Tahun depan PLTN itu akan diserahkan. Jadi, akan ada referensi teknologi untuk itu,” ujar Aleksandr Uvarov.

Pembangkit energi terapung dapat digunakan di daerah-daerah terpencil di pinggir laut atau sungai-sungai besar. Teknologi ini menjadi sebuah daya tarik besar bagi negara-negara kepulauan. Selain itu, PLTN terapung ini merupakan objek pembangkit energi mandiri dengan fasilitas tempat tinggal dan infrastruktur yang lengkap. Pembangkit listrik ini dapat dihubungkan ke infrastruktur-infrastuktur di pinggir pantai atau bahkan dilabuhkan di dekat pusat kebutuhan energi listrik.

PLTN terapung mampu memberikan pasokan energi listrik tidak hanya di titik-titik penduduk dengan akses terbatas saja, tetapi juga pada objek-objek industri skala besar di setiap wilayah perairan, seperti platform kilang minyak lepas pantai. Selain itu, PLTN terapung pun dapat bekerja di titik-titik rawan gempa.

 

Dari Reaktor Riset Menuju PLTN

Hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu unit PLTN sekalipun, termasuk tidak ada kegiatan ekspor dan impor energi listrik di Indonesia. Namun, isu pembuatan PLTN secara aktif telah dikaji oleh Pemerintahan Indonesia sejak 1997. Pada 2006, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mendukung pengembangan energi nuklir di Indonesia.

Energi nuklir menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara berkembang berdasarkan sejumlah alasan yang objektif. Dengan dibangunnya PLTN, negara akan memperoleh sumber energi listrik secara independen, yang dapat memperkuat ketahanan energi negara. Sementara di bidang ekonomi, negara akan mendapatkan dorongan perkembangan yang sangat kuat, seperti tumbuhnya jumlah lapangan kerja di objek-objek pembangunan PLTN dan kemudian di PLTN yang telah berfungsi nantinya.

Dengan adanya PLTN, negara yang bersangkutan akan masuk ke dalam perkumpulan negara-negara dunia dengan teknologi paling mutakhir. Dengan kata lain, hal ini akan memengaruhi status negara tersebut di dunia. Selain itu, PLTN sebagai sebuah objek pembangkit listrik yang bekerja secara stabil dapat membuat negara memperoleh penghasilan melalui ekspor energi listrik ke negara-negara tetangga.

Sumber Bacaan:

Republika Online http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/06/25/nqi5tt-rusia-kerja-sama-pltn-dengan-indonesia

Russia Beyond The Headlines http://indonesia.rbth.com/economics/2015/06/15/indonesia_akan_kembangkan_penggunaan_energi_nuklir_secara_damai_ber_28261.html

http://indonesia.rbth.com/news/2015/06/11/rusia_dan_indonesia_bekerja_sama_bangun_reaktor_nuklir_eksperimental_28223.html

Detikcom http://finance.detik.com/read/2015/06/16/120652/2943564/1034/batan-rusia-hingga-china-ingin-bangun-pltn-di-ri

Badan Intelijen Negara http://www.bin.go.id/wawasan/detil/146/3/16/10/2012/pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga-nuklir-di-indonesia#sthash.Y42FP3PY.dpuf

Penulis : Hendrajit dan Rusman, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com