Nuklir Sebagai Tools of Bargaining Position Korut

Bagikan artikel ini

Triono Akhmad Munib- Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Jember

ebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki strong economic ataupun strong military defense . Idealnya memang memiliki keduanya namun paling tidak memiliki satu diantara keduanya bisa menjadi sebuah alat tawar negara dalam meja perundingan. Dalam hal ini, Korut cenderung dan secara absolut menggunakan its strong military defense-nya yaitu dalam bentuk pengembangan senjatra nuklir sebagai senjata dalam proses tawar menawar.

Ketika Korea Utara sukses melakukan uji coba nuklir pada 8 Oktober 2002, dunia sempat dikejutkan dengan kemampuan negara yang terisolasi dan bahkan tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri ini. Pertunjukan nuklir Korea Utara yang programnya telah menelan keuangan negara habis-habisan muncul sebagai manifestasi dua doktrin yang menuntun tindakan para perwira militer dan menentukan postur politik Korea Utara sejak akhir 1990-an . Dua doktrin ini adalah :

a.Kangsong Taeguk, yang berarti pemikiran mengenai pentingnya membangun negara yang kuat dan sejahtera; dan  b.Congun Chongchi atau keutamaan militer.

Betapa pun kerugian yang dialami Korea Utara ketika secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai negara bersenjata nuklir, ada strategi yang logis dibalik deklarasi Korea Utara sebagai negara berkekuatan senjata nuklir. Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur . Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.

Keberhasilan kekuatan nuklir Korut sebagai penguat daya tawar negara tampak pada kejadian-kejadian sebagai berikut :

  1. Pertemuan di Beijing tanggal 27-29 Agustus 2003 antara China, Korut, Jepang, Korea Selatan (Korsel), AS, dan Rusia telah berhasil menekan Bush untuk memberi jaminan keamanan tertulis dalam bentuk tertentu kepada pihak Korut, dengan syarat Korea Utara juga berpendirian luwes dan bersikap menahan diri.
  2. Pada tahun 2005 Korut berhasil menekan IAEA untuk tidak membekukan rekening sejumlah 25 juta dollar AS yang sempat dibekukan di Macau dan sebagai imbalannya Korea Utara akan mendapatkan bantuan energi dan konsesi diplomatik. Korea Selatan sendiri menjanjikan bantuan awal bahan bakar 50 ribu ton.

Posisi adalah sesuatu yang terlihat jelas. Korea Utara dengan serius menunjukkan hasrat kepemilikan teknologi senjata nuklir. Namun kepentingan di balik itu adalah untuk mencari pengakuan dan kekuatan melalui ancaman dalam perundingan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan Korea Utara akan energi, finansial, dan juga insentif ekonomi.
Pembangunan nuklir Korut ditujukan untuk memperkuat posisi tawar menawar dalam perundingan internasional . Melalui pengembangan program nuklirnya, Korea Utara berupaya untuk menciptakan perimbangan kekuatan dengan Amerika, dan dengan itu, negara tersebut bisa memaksa Amerika untuk duduk di meja perundingan. Korut menggunakan nuklirnya sebagai kartu AS dalam berdiplomasi. Korut tahu betul bagaimana memanfaatkan kemampuan nuklirnya untuk berdiplomasi.

Dengan nuklir Korut bisa dengan mudah menggaet bantuan, mulai beras sampai bahan bakar. Jadi, berbagai sanksi dan resolusi PBB pun tak begitu berdampak bagi mereka. Dengan nuklir pula, negeri yang secara teknis masih berada dalam status perang dengan Korsel itu mampu mengerek daya tawarnya saat bernegosiasi dengan musuh-musuhnya.

Selama tiga tahun terakhir, Korut tercatat dua kali melakukan uji bom nuklir dan sejumlah tes misil . Korut akan terus menguji coba senjata nuklirnya hingga menguasai teknologi untuk menempatkan hulu ledak pada misilnya. Teknologi itu akan menguatkan kekuasaan Kim Jong-un, calon suksesor Kim Jong-il, saat berkuasa nanti.

Obama pun pernah berwacana bahwa akan memberikan perhatian lebih pada informasi intelijen Jepang yang menyatakan adanya kemungkinan Korut meluncurkan rudal jarak jauhnya Taepodong-2 tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan AS. Ini menunjukan bahwa bargaining position Korut tidak bisa dipandang sepele di matas AS.

Sejak dulu memang Korut memang ingin bernegosiasi langsung dengan Negeri Paman Sam, tanpa melalui perantaraan negara atau badan apapun. Mereka belajar dari pengalaman Tiongkok yang menggunakan ancaman nuklir untuk memaksa AS di era Presiden Richard Nixon untuk mengkaji ulang hubungan kedua negara

Dalam hal ini terlihat bahwa sebuah negara yang hanya negara miskin dan tidak memiliki pengaruh dalam sebuah kawasan maupun pada politik internasional dapat memiliki bargaining power yang cukup kuat ketika negara tersebut memiliki sebuah deterens, yang dalam hal ini adalah senjata nuklir tersebut.

Pengembangan senjata nuklir oleh sebuah negara memang merupakan hak dari negara tersebut, namun ketika terbentur dengan norma internasional itu adalah merupakan pilihan apakah akan meneruskan dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara dalam bentuk embargo ekonomi dan pengucilan secara politis. Namun Iran maupun Korea Utara menyadari bahwa mereka akan mempunyai bargaining power yang cukup kuat ketika berhasil mengembangkan senjata nuklir tersebut walaupun dengan mengorbankan kesejahteraan dari warga negaranya seperti yang dialami Korea Utara.

SUMBER: http://trionoakhmadmunib.blogspot.com/2010/12/nuklir-sebagai-tools-of-bargaining.html

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com