“Nyali” Deklarasi Djuanda

Bagikan artikel ini

Oleh Arif Havas Oegroseno (Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman)

Suasana kebatinan para pendiri bangsa sebelum Deklarasi Djuanda dicanangkan pada 13 Desember 1957 adalah kekesalan atas lalu lalangnya kapal perang Belanda di Laut Jawa seperti Karel Doorman dan Drente sebagai bentuk “gunboat diplomacy” sebagai upaya menghalangi kembalinya Papua, waktu itu masih bernama Irian Barat, ke Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda pada 17 Agustus 1945 ternyata tidak berarti merdeka dari “penjajahan” hukum laut internasional ciptaan kolonial yang mengatur bahwa proyeksi zona maritim suatu negara hanya sepanjang 3 mil laut dari garis air rendah.

Pada Oktober 1957, Chairul Saleh, Menteri Negara Urusan Veteran, meminta Prof. Mochtar Kusumaatmadja, anggota Panitia Interdep RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim agar mengubah laut antara pulau Indonesia menjadi perairan pedalaman. Prof. Mochtar meminta waktu Chairul Saleh untuk “bertapa” guna mencari justifikasi hukum untuk mengubah rezim hukum internasional yang ada. Hasilnya, kita sudah mengetahui semua nya. Bangsa Indonesia berhasil menciptakan hukum internasional baru yang menciptakan suatu rezim hukum negara kepulauan melalui perjoangan tanpa memuntahkan satu butir peluru pun. Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang mampu mengubah luas wilayahnya secara masif tanpa ekspedisi militer. Yang sering luput dari berbagai pidato para pejabat atau analisa para akademisi tentang Deklarasi Djuanda adalah fakta bahwa keinginan kuat Indonesia mengubah perairan di antara pulau dari rezim laut lepas menjadi perairan kepulauan sebenarnya tidak bersumber dari sikap ingin menjadi pemimpin dunia dalam hukum laut internasional, tetapi lebih kepada “egoisme” kepentingan nasional.

“Egoisme” ini lah yang pada akhirnya menjadi pemicu keberanian Indonesia untuk “melawan” dunia dengan meproklamasikan Deklarasi Djuanda dan memperjuangkannya bersama “coalition of the willing” dalam forum perundingan multilateral hukum laut di Markas Besar PBB di Jenewa selama lebih dari satu dekade. “Nyali” Indonesia memang sangat besar. Dari sejumlah “declassified” dokumen komunikasi rahasia antara anggota DK PBB dan penjajah Eropa di Asia seperti Portugal dan Belanda, terlihat adanya penolakan yang sangat keras terhadap Deklarasi Djuanda. Indonesia adalah negara miskin yang baru merdeka, yang hanya memiliki seorang ahli hukum laut saja, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, tetapi berani mengguncang kemapanan kekuatan hukum laut warisan kolonialisme.

Namun demikian, keberanian tanpa ilmu adalah kebodohan. Kekuatan argumentasi Prof. Mochtar dalam menyusun konsep negara kepulauan adalah pada kemampuan membaca kecenderungan perkembangan hukum laut internasional yang diwarnai dengan penolakan lebar laut 3 mil laut, dan keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Inggris-Norwegia (1951). Dalam kasus ini, Mahkamah memperbolehkan Norwegia menarik garis pangkal lurus dari titik-titik terluar pulau-pulau nya yang ternyata bergerigi seperti mata gergaji. Keputusan Mahkamah dalam kasus ini sebenarnya hanya mengikat kepada Inggris dan Norwegia, dan tidak secara otomatis menjadi prinsip umum hukum internasional. Tetapi Prof. Mochtar berani mengambil keputusan untuk menerapkannya sebagai dasar argumentasi Indonesia. Keberanian dan kekuatan ilmu pengetahuan Indonesia yang diwujudkan dalam Deklarasi Djuanda ternyata juga membuat Indonesia sebagai salah satu pemimpin dunia dalam hukum laut internasional. Tidak ada satu pun ahli hukum laut internasional yang tidak menoleh ke Indonesia pada saat membicarakan prinsip negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.

Tantangan kelautan

Kini, apakah “nyali” dan ilmu Indonesia dalam masalah kelautan dunia masih ada? Perkembangan dunia dan masalah kelautan tentunya berbeda antara tahun 1957 dengan 2017, meski pun ancaman tradisional yang berasal dari negara masih tetap ada. Bahkan penolakan terhadap suatu keputusan arbitrasi internasional yang sah sesuai hukum internasional pun masih ada dan justru dilakukan oleh negara yang mengklaim sebagai negara yang bangkit secara damai. Sulit dibayangkan apabila kebangkitan secara damai diwarnai dengan penolakan keras atas prinsip hukum dalam instrumen hukum yang diterima dirinya.

Dalam menghadapi negara yang bersikap seperti ini, “nyali” Deklarasi Djuanda sangat diperlukan. Pendekatan yang diambil oleh Indonesia pada tahun 1957, yaitu mengutamakan kepentingan nasional dengan keberanian dan kecerdasan harus ditunjukkan. Indonesia harus menolak semua posisi dan klaim negara lain yang tidak memiliki dasar hukum internasional, seperti klaim “traditional fishing zone”. Seperti halnya keberanian Prof. Mochtar menjadikan keputusan Mahkaham kasus Inggris-Norwegia (1951) sebagai rujukan dasar Deklarasi Djuanda, Indonesia juga tidak perlu takut dalam menggunakan keputusan peradilan lainnya seperti arbitrasi yang memberikan kepastian proyeksi zona maritim pulau-pulau kecil sebagai rujukan dalam perundingan batas maritim. Ancaman lain yang telah dihadapi dengan keberanian adalah ketegasan Indonesia dalam menghadapi kegiatan pencurian ikan atau “illegal fishing” di perairan Indonesia, atau pun pencurian ikan di wilayah negara lain tetapi kapal pencuri nya memasuki kawasan laut yang berada dalam kedaulatan atau yurisdiksi Indonesia, seperti kasus MV Viking atau Hua Li 8.

Keberanian ini telah dilanjutkan dengan upaya penyusunan suatu insrumen tentang kejahatan dalam industri perikanan melalui negosiasi konvensi pada tingkat regional sejak 2016 serta kerjasama dengan Interpol dan UNODC di Wina dalam Gugus Tugas Kejahatan Perikanan yang diluncurkan Interpol. Seperti halnya upaya membuat konsep negara kepulauan menjadi prinsip hukum negara kepulauan, teater “perang” melawan ilegal fishing tidak hanya di laut, tetapi justru di meja perundingan. Karena dari meja perundingan akan lahir suatu norma hukum baru yang akan menjadi rujukan perilaku masyarakat internasional dalam masalah perikanan tangkap dan kriminalitas. Perjuangan di meja perundingan dijamin akan lebih sulit daripada penangkapan kapal pencuri ikan, tetapi bukan kah Deklarasi Djuanda juga perjuangan yang sulit dan lama? “Nyali” Deklarasi Djuanda juga diperlukan dalam menghadapi tantangan masalah kelautan yang baru seperti pencemaran di laut oleh ulah manusia seperti sampah plastik di laut yang berasal dari sungai dan darat. Terdapat ironi di mana beberapa kota pemenang Adipura ternyata juga menyumbang sampah plastik di laut.

Bagi Indonesia masalah ini tidak sederhana karena industri nasional, baik plastik atau pun yang lainnya, tampaknya masih enggan ikut dalam pencarian solusi, pemerintah daerah tidak memiliki anggaran pengelolaan sampah yang memadai, dan perairan Indonesia memiliki perlintasan arus yang datang membawa sampah. “Penganugerahan” sungai Citarum sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia karena limbah industri, perumahan dan sampah adalah suatu kondisi memprihatinkan yang memerlukan keberanian dan kecerdasan dalam mengembalikan Citarum menjadi sungai yang bersih. “Nyali” Deklarasi Djuanda juga harus kembali ditunjukkan dalam diplomasi lingkungan hidup yang hingga kini masih didominasi oleh masalah darat dan hutan, sementara itu 70 persen planet bumi adalah lautan. Dalam sidang COP-23 di Bonn yang lalu terdapat perkembangan baru yang menggembirakan dimana semua negara-negara pulau di dunia, termasuk Indonesia, menginginkan adanya elemen kelautan dalam persidangan perubahan iklim di masa mendatang. Negara-negara ini mengharapkan dalam tiga tahun mendatang, Paris Agreement yang hanya memiliki satu kata “ocean” dapat direvisi guna mencerminkan pentingnya laut dalam perubahan iklim.

Indonesia telah mengambil inisiatif dengan menyelenggarakan pertemuan negara-negara kepulauan dan negara pulau di Jakarta dengan tujuan membentuk Archipelagic and Island States Forum. Ini adalah langkah yang pertama kali dilakukan Indonesia sejak prinsip negara kepulauan dilahirkan pada 1982. Berbagai langkah ini memang telah dimuat dalam Kebijakan Kelautan Indonesia, suatu pedoman pembangunan kelautan dari berbagai aspek, yang untuk pertama kalinya diadopsi dan dibuat Indonesia. Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki Kebijakan Kelautan, dan yang pertama di Asia Tenggara.

Apakah berbagai langkah baru ini cukup? Jelas tidak. Semangat Deklarasi Djuanda masih sangat relevan untuk terus dikobarkan karena selain tantangan masalah kelautan Indonesia semakin banyak, generasi milenial tampaknya juga harus diberi penyadaran bahwa Indonesia bisa menjadi negara kepulaun terbesar di dunia setelah perjuangan diplomasi puluhan tahun dan tidak turun dari langit.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com