Omar Mateen: Produk Wahabi dan Kebijakan Luar Negeri AS

Bagikan artikel ini
Mateen lahir di AS pada tahun 1986, setelah orangtuanya berimigrasi dari Afghanistan. Ayahnya Siddique Mateen adalah tokoh terkemuka di dalam kancah politik Afghanistan dan bahjkan memiliki program televisi sendiri. Siddique telah bertemu dengan anggota Kongres AS untuk membahas kebijakan Afghanistan. Ia melobi Kongres, mengatakan bahwa Pakistan arus bertanggung jawab atas terorisme yang terjadi di Afghanistan. Ia bahkan mengadakan pertemuan dengan Departemen Luar Negeri AS pada bulan April tahun ini. Dalam salah satu video di Youtube, ia berkata akan ikut dalam pemilihan presiden di Afghanistan di waktu mendatang.
Siddique memilih untuk tinggal di Afghanistan karena ia dan banyak orang dari sayap kanan yang fanatik di Afghanistan memiliki kerjasama yang erat dengan AS dan Arab Saudi.
Sebuah Produk dari Brzeziski
Pada tahun 1978, rezim yang didukung AS di Afghanistan (dipimpin oleh Daoud Khan) memulai tindakan keras pada aktivis kiri. Namun Saur Revolution kemudian menjadi titik balik berakhirnya rezim monarki yang diarsiteki Inggris di Afghanistan, dan dimulailah republik yang demokratis.
Kelompok Leninis Marxis yang seide dengan Uni Sovyet membentuk Partai Rakyat Demokratik, dan terpilih sebagai partai yang berkuasa secara de facto. Pemerintahan ini memiliki basis besar di perkotaan di kalangan intelektual, mahasiswa, aktivis serikat buruh, namun tidak mendapat dukungan dari para petani di pedesaan. Jika rezim monarki di Afghanistan (yang telah jatuh) sangat bergantung pada AS dan Inggris, maka penguasa baru ini berpaling ke Uni Sovyet.
Dalam sebuah wawancara, Zbigneiw Brzezinski yang menjabat penasihat atas Presiden Jimmy Carter dan Ronald Reagan menyebut bahwa peristiwa yang bermula tahun 1978 tersebut sebagai sebuah ‘perangkap Afghanistan’. AS telah mengatur agenda. Uni Sovyet digiring agar masuk ke Afghanistan, negara akan menjadi ‘Vietnam-nya’ Uni Sovyet.
Siddique adalah bagaian dari upaya blok-AS untuk melemahkan partai Rakyat Demokratik. Mereka bekerjasama dengan Osama Bin Laden, pewaris dari perusahaan konstruksi yang kaya raya di Arab Saudi. Lalu, dilakukan mobilisasi tentara yang disebut ‘mujahidin’ untuk melawan Partai Rakyat Demokratik.
Rakyat Afghanistan di pedesaan memiliki karakteristik yang sangat religius. Mereka memusuhi sekularisme dan pemerintahan yang baru. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh AS. Rakyat yang lugu ini dilatih dan dipersenjatai oleh AS, dan diajarkan doktrin agama ala Saudi. Mereka lalu menjadi penganut Wahabisme, yang memiliki ciri khas tekstual, represif, dan menyerukan pembantaian kepada orang-orang kafir. Dengan senjata dari CIA, uang berlimpah dari Saudi, juga heroin, akhirnya berujung pada teror kepada Partai Rakyat Demokratik.
Relawan Partai Rakyat Demokratik digantung oleh para mujahidin karena mereka mengajarkan membaca kepada para perempuan. Mujahidin juga menuangkan cairan asam di wajah para perempuan yang menolak memakai burqa.
Saat itu, para pemimpin AS mengaku tidak keberatan atas tindakan kriminal yang dilakukan para mujahidin. Namun ironisnya, kini para penerus mujahidin ini disebut sebagai ‘Islamic Terrorism’ dan ‘Islamic Extremism’. Dulu, Presiden AS Ronald Reagan bahkan mengundang anggota mujahidin ke Gedung Putih sebagai tamu kehormatan. Sementara Jimmy Carter secara terbuka berbicara tentang pengiriman pasukan AS ke Afghanistan untuk membantu mujahidin di Afghanistan.
Siddique Mateen, ayah dari pembunuh massal di Orlando, yang secara terbuka menyatakan bahwa dirinya beriringan dengan kekuatan ekstremis Wahabi, toh diizinkan untuk berimigrasi ke Amerika Serikat. Ia tinggal di New York dan secara terbuka mendukung pemerintahan Taliban yang berkuasa di Afghanistan setelah Partai Rakyat Demokratik kalah pada tahun 1992. Sebagai sosok terkemuka di Afghanistan, ia memiliki program televisi untuk mengomentari politik Afghanistan. Tampaknya ia membenci Pakistan, yang kerap ia tunjukkan dalam siarannya.
Sementara Omar Mateen yang nampaknya memiliki penyakit mental (mentally ill), juga menganut ideologi yang sama dengan ayahnya. Menurut Siddique, Omar sangat membenci homoseksual. New York sendiri sendiri dikenal sebagai kota yang toleran terhadap para lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Di Arab Saudi, homoseksual dihukum dengan hukum pancung atau dalam beberapa kasus, mereka dicambuk hingga tewas. Mujahidin di Afghanistan dan Taliban juga memberlakukan kebijakan serupa. Di negara sekutu AS lainnya seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, yang juga menyiksa kaum LGBT, namun uniknya, organisasi-oraganisasi yang biasanya sangat vokal membela LGBT tidak banyak bereaksi. Malahan, mereka mengkoordinasikan agar propaganda yang mereka lakukan selaras dengan kebijakan luar negeri AS.
Ketika Siddique telah sedikit melunak, namun tidak demikian dengan Omar. Ia menyimpan kekaguman besar terhadap kelompok Wahabi ekstrem yang saat ini beroperasi di Irak dan Suriah. Dan sebelum melakukan pembunuhan massal di Orlando, Omar disebut-sebut telah menyatakan janji setia kepada kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Sama seperti kelompok mujahidin dan Taliban, ISIS pun merupakan produk dari kebijakan luar negeri AS. ISIS adalah kelompok yang memiliki ideologi Wahabi esktrem yang anggotanya banyak berasal dari FSA, Jabhat Al Nusra, dan kelompok-kelompok ekstremis lainnya yang bekerja untuk menggulingkan pemerintah Suriah. AS, Arab Saudi, Yordania, dan Turki, telah melatih dan mendanai seluruh kelompok terroris di Suriah, dengan harapan agar Presiden Bashar Al Assad jatuh.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com