Pasar Bebas Bukan Masalah Keimanan

Bagikan artikel ini
Dina Y. Sulaeman, mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti di Global Future Institute (GFI)
Di grup WA/FB berseliweran tulisan yang tesis intinya “melawan pasar bebas dengan keimanan dan menjauhi kemalasan”. Tadinya mau diam saja, tapi lama-lama yang ga tahan juga. Maaf kalau ada teman-teman yang tersinggung dengan tulisan ini. Tapi saya merasa perlu menyampaikan pendapat saya, kebetulan disertasi saya ya seputar masalah ini juga.
Begini, kalau mau bicara globalisasi, itu bahasan ekonomi-politik, kok malah kita diceramahi soal keimanan, menjauhi rasa malas, dll? Di pasar di daerah saya, jam 2 dini hari para pedagangnya sudah jualan (baca: 2 dini hari!_Penulis), baik yang jual maupun yang beli, apa pantas disebut pemalas? Mereka bekerja keras mencari nafkah, tapi karena modal yang kecil, barang yangg dijualbelikan impor (misal, bawang putih, cabe, bahkan garam, impor), keuntungan terbesar diraih importir, bukan penjual di pasar, bukan pula konsumen. Tetangga saya ketika cabe melonjak tinggi, ya ga beli cabe. Apa dia malas, sampai ga mampu beli cabe? No, dia kerja jadi guru honorer di SMA dg honor 250 ribu sebulan (saya ga salah ketik_Penulis), suaminya satpam di bank, tapi sistem outsourcing, sewaktu-waktu bisa dipecat, bergadang melulu jagain bank, dg gaji 1 jutaan. Malas? Tidak beriman?
Kalau kita liat kondisi globalisasi dg kacamata ekonomi-politik, kita akan lihat bahwa membanjirnya barang impor adalah masalah politik. Mengapa ketika petani surplus bawang, garam, atau beras, keran impor dibuka? Mentan bilang, beras cukup, tapi Mendag buka impor (ini terjadi bukan cuma jaman Jokowi, zaman SBY juga ya begini ini yang terjadi). Ini politik atau masalah keimanan?
Mengapa subsidi pertanian diberikannya ke perusahaan pupuk dan pestisida (alasan: supaya kelak harga jual ke petani bisa lebih rendah_Penulis)? Mengapa dana itu tidak digunakan untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan (yang bebas pestisida dan pupuk kimia, dan memproduksi benih sendiri, jadi ga bergantung produksi pabrik lagi), memberikan lahan yang lebih luas ke petani (rata-rata petani kita punya 0,3 ha lahan), dan memproteksi harga (sehingga panen mereka terjaga harganya, ga kayak sekarang, diserahkan ke mekanisme pasar, harga di pasar melonjak, harga di petani tetap rendah; apalagi kalo harga di pasar turun karena banjir produk impor, petani kita lebih rugi lagi). Ini masalah malas atau politik? Apa mau bilang petani kita malas dan tidak beriman?
Apa Anda pikir petani-petani di AS, Eropa, dan China itu bisa produksi besar-besaran dan membanjiri pasar pertanian dunia dengan produk mereka, dilakukan tanpa subsidi dan proteksi pemerintah? AS itu kasih subsidi ilegal kepada petani 9,3 milyar USD dan Uni Eropa 4,2 milyar USD pertahun. Kenapa kok disebut illegal? Karena menurut aturan WTO, ga boleh. Tapi mana sanggup negara miskin/berkembang mengajukan tuntutan (karena prosesnya sangat mahal). Duit negara berkembang/miskin yang minim pun tak mungkin mampu menyaingi besarnya subsidi yang digelontorkan AS Dan UE. [Kalo China, saya belum pelajari, tapi jelas ada proteksi].
Negara-negara besar juga sangat ketat mengawasi negara berkembang, jangan sampai ada hal-hal yang merugikan perusahaan mereka. Misal, Indonesia pada 2013 dituntut AS di WTO karena mewajibkan lisensi impor daging dari Kementan (jadi musti izin dulu ke Kementan kalau mau impor). Kebijakan ini sepertinya merugikan importir, dan AS pun menuntut ke WTO.
Globalisasi yang tengah terjadi saat ini tidak adil. Ini yang ngomong bukan saya, tapi ekonom-ekonom liberal yang pernah dapat Nobel, seperti Stiglitz dan Krugman (dan Sach). Mereka mengakui bahwa terjadi ketimpangan besar dalam perekonomian dunia, negara kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Stiglitz pernah kasih contoh bahwa dalam globalisasi (=pasar bebas) hari ini, negara kecil ibarat kapal kecil yang dipaksa berlayar di lautan buas tanpa pelampung. Sudah pasti yang bisa survive di lautan buas adalah kapal-kapal besar dengan fasilitas lengkap. Indonesia memang besar wilayah dan penduduknya, tapi kemampuan ekonominya kecil, kalau pakai data Bank Dunia, hampir 50% rakyat kita miskin, tapi kalau pakai standar BPS “hanya” 30 juta-an yang miskin.
Maaf saja, ini bukan masalah keimanan atau kemalasan. Ini masalah ekonomi-politik, sejauh mana pemerintah berani berkata tidak pada tekanan importir, korporasi, free-trade agreement yang benar-benar “free” tanpa proteksi, WTO, dll. Sejauh mana mereka komitmen memberdayakan industri dan pertanian dalam negeri, supaya secara bertahap kita bisa lepas impor. Dan yang pasti, mereka-mereka yang dapat keuntungan dari globalisasi/pasar bebas akan terus mendukung sistem yang tidak adil ini, dengan berbagai narasi, misalnya “Tidak mungkin kita hidup tanpa impor.. memangnya kita mau terisolasi..? Mau dikucilkan dan diembargo? Sudahlah, kita perkuat keimanan saja, kita tingkatkan skill, kita produksi barang yang bagus sehingga mampu bersaing di pasar bebas!” Halo.. “kita”? Elu aja kali…
“Kita” ini siapa? Tentu yang bisa ‘bersaing di pasar bebas’ adalah yang punya modal, skill, koneksi. Ada sih segelintir orang yang konon modal dengkul tapi sukses di pasar internasional. Tapi kita bicara negara, rakyat yang 250 juta ini. Gimana mau meningkatkan skill ketika pendidikan mahal, atau sistem pendidikan yang lulusannya didesain jadi pekerja, bukan inventor, atau enterpreneur, misalnya. Gimana mau tingkatkan produksi pertanian ketika harga pupuk, benih, dan pestisida fluktuatif, lalu ketika panen, harga anjlok (kan ini konsekuensi pasar bebas)? Jangan salahkan petani yang kemudian berhenti bertani dan jadi buruh pabrik, dan seterusnya. Ini semua perlu sistem, struktur, pemerintah. Jadi bukan sekedar “kita tingkatkan keimanan dan skill masing-masing”.
Seperti dikatakan Krugman (ekonom liberal pemenang Nobel), salah satu jalan memutus lingkaran setan seperti ini adalah memperbesar pemungutan pajak terhadap orang-orang kaya dan hasilnya dipakai untuk memberi pendidikan dan kesehatan yang layak bagi rakyat jelata (Krugman, 2007: 595). Kalau mereka sehat dan pinter, insyaAllah kan skillnya meningkat. Tapi maaf, kalau ini dilakukan, akan banyak yang protes (dengan menggunakan berbagai model narasi) karena keuntungan mereka akan berkurang. Artinya, ini balik lagi ke keputusan politik, kepada siapa pemerintah berpihak.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com