Pemerintah dan Globalisasi: Take It or Die – bagian 2

Bagikan artikel ini

Yustiani (Liem Siok Lan)

Apa Indonesia Mampu Menjadi Pemenang (VICTOR) dalam Globalisasi?

Globalisasi di Indonesia sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri.

Globalisasi di Indonesia sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam, disusul dengan jaman colonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, the, kelapa sawit, coklat, gula dan lain-lain komoditi yang ada di bumi Nusantara. Makanya masih bisa kita lihat  berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan Negara).

Dengan keterpurukan Indonesia saat ini serta persoalan yang multidimensi tanpa penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasilanya memiliki kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu contoh nyata bagaimana persoalan Aceh bisa diselesaikan dengan damai dengan suatu model kompromistis terbaik dalam kerangka globalisasi.

Provinsi NAD “defacto” merdeka secara ekonomi namun secara politik tetap mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan Negara. Kalau kita cermati isi perjanjian Helsinki provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri, artinya boleh mencetak mata uang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta transaksi keuangan atau pinjam (loan) dengan negara lain secara mandiri, boleh mendirikan partai lokal, berhak at asset sebesar 70%, sementara 30% adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, kompromi ini bisa dilihat  sebagai model yang efisien. Bagi hasil asset 30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera Indonesia, sehinggan provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus mengeluarkan ongkos mendirikan kedutaan besar atau konsulat disetiap negara yang membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka 30% adalah biaya pinjam bendera. Demikianlah kacamata dari glibalisasi yang disandarkan pada ekonom. Sebagai model mungkin bisa menjelaskan aplikasi dari teori yang anda kemukakan diatas.

Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi dalam wawancara dengan saya, mengatakan bahwa kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi pengungsi dan akan menjadi beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan maka suku bangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak melakukan kawin campur antar suku tanpa ada satu masalah karena mereka percaya dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga kawin antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. Maka secara geo politik tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya.

Maka, solusi kompromistis seperti provinsi NAD akan memberikan inspirasi kepada daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apabila tetap tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan proses otonomi daerah yang secara konvergen akan konsisten menuju suatu bingkai baru “Smart Indonesian Incorporated”. Intinya liberalisasi politik dan ekonomi untuk Indonesia perlu dirumuskan berbasis kerakyatan, sebagai akumulasi capital juga didistribusikan untuk rakyat.

Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi mencakup proses dikte –mendikte antar negara. Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling “mengintervensi” Amerika sendiri saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh lebih murah. Di kita sendiri, bukankah outlet factory disejumlah kota tak terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri setempat.

Soal “dikte-mendikte” di tengah global, itu tergantung kemauan kita sebagai bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang “suka-suka”, “maunya sendiri”. Kita ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai di dikte seperti yang terjadi dewasa ini, karena Indonesia kaya raya. Sumber daya alam dan mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi unutk kepentingan rakyat banyak. Bukan konsesi tambang diberikan pada si A yang tentu saja membuat si A dan kroninya kaya raya, dengan bermodalkan lisensi melalui pasar modal mereka bisa mengeruk uang dalam jumlah yang besar. Sementara pada saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah sibuk mondar mandir mencari investasi untuk membangun rumah sakit, pasar, terminal, air bersih, dan lain-lain.

Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian tangguh, tapi nytatanya Indonesia masih didikte, itu berarti yang salah adalah kita sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang asset-aset yang dimiliki, seperti yang dikatakan oleh Hernando de Soto. Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformative  untuk mengubah asset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakan lokomotif perekonomian. Disinilah pentingnya kesadaran publik bahwa dalam diri kita sebagai bangsa bawha dalam diri kita sebagai bangsa ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan untuk segera mengejar ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.

Tentang kemandirian bangsa dan nasionalsime, terdapat ganjalan besarnya utang luar negeri kita, yang hingga kini telah mencapai US$150milyar, merupakan instrument untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat. Utang luar negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa juga merupakan bentuk penghisapan. Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan IMF yang berarti segala-galanya ditentukan oleh IMF. Padahal kenyataan membuktikan bahwa IMF sudah diusir hampir disemua negara, terutama Amerika Latin, mengapa Indonesia masih bergantung kepada IMF? Ini kebodohan Indonesia sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana kedepan kita bersikap. Indonesia harus berani mengubah model ekonominya yang harus dilandasi dengan perubahan system kenegaraan yang melandasinya.

Dengan pemahaman tersebut maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi nasionalisme karena bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan dibidang ekonomi, politik, social cultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform Indonesia Incorporated berdasar kepada “people cybernomics” (sibernomik kerakyatan = ekonomi digital kerakyatan). Platform ini yang menjadi pengikat persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Pelopor rahmatanlil alamin.

(*) Justiani (Liem Siok Lan). Direktur Asia Pasifik SMarT Development and Financing. Direktur EDinar University. Representative WITO (World Islamic Trad Organization). Alamat: 1615 Place Therese, Brossard, Quebec J4W 3G2 Canada. Email: liemsioklan@yahoo.com HP: 0857 1922 3818.

(*) Pewawancara buku Mengutamakan Rakyat (wawancara Mayjen TNI Saurip Kadi), Menembus Batas (Wawancara Tokoh Dunia), Rakyat Berdaulat (Wawancara Adi Sasono), Alexandra dan Ali Topan: Ku Selalu Ada (Novel karya bersama Teguh Esha).

(*) Ketua Dewan Pakar DESA MERAK (Deddy Saupir Mengutamakan RAKYAT), salah satu Pendiri NEGERI MERAK.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com