Pentingnya Minimum Essential Force (MEF) sebagai Strategi Kebijakan Pertahanan Indonesia

Bagikan artikel ini

Rohman Wibowo, Lulusan Hubungan Internasional Universitas Nasional

Di bulan Januari lalu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengumumkan 11 program prioritas TNI. Ada yang menarik dan juga menjadi perhatian khusus bagi praktisi studi keamanan-pertahanan, ketika salah satu programnya menempatkan apa yang dinamakan Minimum Essential Force (MEF). Secara hati-hati, kita akan melihat bagaimana MEF digunakan untuk memaksimalkan kemampuan militer Indonesia dalam upaya memerangi ancaman terhadap NKRI. Sebagai kelanjutannya, kita juga akan memprediksi dampak terdekat dari implementasi MEF terhadap hubungan diplomatis Indonesia dan negara tetangga yang tidak lain merupakan isu kekal dalam hubungan internasional, yaitu dilema keamanan (Security Dilemma).

Perhitungan tentang kebutuhan-kebutuhan pertahanan-keamanan negara sekurang-kurangnya dapat ditelaah dari dua sudut penglihatan. Pertama, dilihat secara tradisional-klasik yang berkenaan dengan pemeliharaan keutuhan wilayah. Dalam konsep pertahanan-keamanan ini terkandung unsur-unsur seperti seberapa perlu tingkat kesiap-siagaan bangsa, terlebih sejauh mana angkatan bersenjatanya mampu menangkal kehendak lawan atau musuh menguasai sebagian dari wilayah kedaulatan.

Dalam konsep pertahanan-keamanan seperti ini, diperhitungkan faktor-faktor seperti penyebaran penduduk dihubungkan dengan struktur geografi negara, mudah atau sulitnya komunikasi antar daerah di dalam negara yang bersangkutan, serta faktor-faktor seperti terpencar atau terpusatnya sumber alam, baik hayati, maupun mineral, yang dapat menunjang ketahanan nasional. Dalam pengertian tradisional-klasik seperti ini, ungkapan yang kerapkali dikumandangkan pemimpin politik atau perancang militer adalah “jangan sampai sejengkal tanah air kita bisa dijamah oleh musuh.

Kedua, penglihatan secara fungsional-kualitatif. Pertahanan keamanan negara terutama ditelaah dari sekalian unsur, terlebih teknologik fungsional, yang sepanjang awal abad ke-21 ini telah makin cepat dan luas hadir sebagai faktor penentu kemampuan pertahanan-keamanan. Faktor-faktor fungsional kualitatif itu misalnya tingkat persenjataan militer yang mampu dimiliki oleh suatu bangsa, sehingga kemampuan memiliki itu sendiri sudah merupakan faktor penghitungan sebelum sempat digunakan dalam suatu peperangan terbuka. Sebaliknya, dengan memiliki suatu sistem pertahanan yang cukup canggih dari segi teknologi, maka bangsa yang sama dapat merasa aman terhadap seperangkat jenis persenjataan militer tertentu, sampai ada suatu terobosan baru dalam siklus “persenjataan ofensif” dan “persenjataan defensive”.

Konsep pertahanan-keamanan pertama dan kedua sesunguhnya erat berhubungan dan tidak saling menyisihkan. Sebab konsep pertahanan memang berakar dari kuatnya pengaruh konsep negara-negara (nation-state) yang lahir dan mekar selama abad ke-19 dan meluas dengan pertumbuhan negara-negara baru pada tahun 1940-1970-an. Pertahanan terutama dikaitkan dengan masalah pemeliharaan persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah.

Sedangkan konsep keamanan (security) bagi suatu negara, pengertian ini sudah mencakup hal-hal yang lebih luas lagi dan lebih rumit ketimbang sekedar pemeliharaan keutuhan nasional. Ia bermakna perkiraan dan perhitungan ke muka tentang kemampuan diri bertahan hidup dibandingkan dengan kemampuan diri negara-bangsa lain dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Adapun dalam konteks Indonesia, satu hal yang perlu diingat ialah Indonesia sebagai negara yang berada di titik silang geopolitik dunia (Diapit dua samudera dan dua benua). Terlebih predikat sebagai negera kepulauan terbesar, Indonesia kerap menghadapi ancaman yang tak terhitung jumlahnya pada lingkup kedaulatan negara.

Apa yang Mengancam Indonesia?

Indonesia memang bukan negara dengan kemampuan militer yang diakui level internasional jika diadu dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Namun demikian, kemampuan militer yang dapat diandalkan wajib dimiliki sebuah negara. Kemampuan militer tersebut setidaknya dapat secara efektif beroperasi disaat ancaman mulai mendekat.

Adapun ancaman terhadap kedaulatan Indonesia dikategorikan menjadi dua: ancaman aktual dan ancaman potensial. Konteks ancaman aktual meliputi ancaman yang memerlukan penanganan mendesak, mengingat ancaman tersebut telah, sedang, dan akan terjadi setiap saat, yang tidak dapat diprediksi secara pasti karena dimensi waktu yang bergerak cepat serta dapat merambah dari lokal, nasional, regional, dan global.

Kategori yang termasuk dalam ancaman aktual antara lain terorisme, gerakan separatisme, konflik perbatasan, bencana alam, serangkaian aktivitas illegal( kebanyakan terjadi pada daerah terpencil dan perbatasan yang kurang pengawasan), konflik horizontal, kejahatan siberrmetik, dan ancaman lainnya yang terbungkus dalam kejahatan perang asimetris. Di sisi lain, yang dikatakan ancaman potensial merupakan ancaman yang akan terjadi dan waktunya dapat diprediksi meskipun eskalasi waktu dan potensi ancaman cukup besar. Ancaman potensial ini seputar pemanasan global, pencemaran lingkungan, penyebaran penyakit pandemik, krisis finansial, agresi militer, dan kelangkaan air bersih dan pangan. (Baca: Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan RI tahun 2012 Tentang Kebijakan Penyelarasan MEF Komponen Utama)

Di antara rangkaian ancaman aktual dan potensial tersebut, perlu digarisbawahi dua isu yang tingkat ancamannya dinilai paling mengkhawartikan keutuhan kedaulatan Indonesia, yaitu konflik perbatasan dan kejahatan perang asimetris. Bagaimana tidak? Indonesia berbatasan darat dan laut dengan sepuluh negara semisal: Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Thailand Kepulauan Palau, Filipina, Vietnam, Timor-Timur, Australia dan India. Ambil contoh di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Timur dan Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Di kedua wilayah tersebut sering terjadi penggeseran patok perbatasan.

Tidak hanya berhenti di konflik perbatasan, kejahatan perang asimetris pun menjadi ancaman yang serius dan nyata bagi kedaulatan NKRI. Kita lihat saja, agresifitas dari kebijakan One Belt One Road yang digagas Cina. Suka tidak suka, kebijakan Den XiaoPing yang ingin membangun jalur sutra maritim baru tentu saja akan menempatkan keistimewaan geografis Indonesia untuk memenuhi kepentingan negaranya, yaitu become a super power state by control the sea lanes of trade. Maka dari itu tidak berlebihan ketika diperlukannya strategi pertahanan nasional sebagai langkah mempertahankan keutuhan nusantara.

Minimum Essential Force (MEF)

Minimum Essential Force atau MEF pada dasarnmya merupakan sebuah gebrakan pemerintah pada subjek strategi pertahanan nasional. Ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, MEF merupakan amanat pembangunan nasional di bidang pertahanan keamanan. Implementasi MEF dibagi ke dalam tiga Rencana Strategis atau Renstra, yaitu Renstra 1: 2010-2014, Renstra 2: 2015-2019, dan Renstra 3: 2020-2024.

Sasaran utama MEF ialah membangun komponen utama TNI sampai mencapai kekuatan pokok minimum sebagai postur pertahanan yang ideal dan disegani baik pada level regional maupun internasional. Penekanan diberikan pada kata minimum yang merujuk pada fakta bahwa MEF tidak diarahkan kepada konsep perlombaan senjata maupun sebagai strategi pembangunan kekuatan untuk memenangkan perang secara total, melainkan sebagai satu bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal.

Itu sebabnya implementasi MEF dilaksanakan melalui empat strategi: rematerialisasi, revitalisasi, relokasi, dan pengadaan.

Rematerialisasi menekankan pemenuhan tabel organisasi dan peralatan atau daftar susunan personil dan peralatan sampai 100%; Revitalisasi merupakan peningkatan strata satuan/penebalan satuan yang disesuaikan dengan perkembangan ancaman di wilayah penempatan; Relokasi merujuk pada pengalihan satuan/personil/dari satu wilayah ke wilayah lain yang memiliki potensi tinggi terjadinya berbagai ancaman aktual; Pengadaan berarti pembangunan satuan baru personil dan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista). (Baca: Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan RI tahun 2012 Tentang Kebijakan Penyelarasan MEF Komponen Utama).

Ekspektasi utama implementasi MEF ialah untuk Indonesia memiliki sebuah kekuatan pertahanan yang dapat diandalkan dan tidak bergantung pada asistensi luar negeri. Untuk itu, MEF difokuskan pada pembangunan Alutsista TNI dengan memperhatikan jenis dan produk Alutsista yang dibutuhkan, anggaran pembelian Alutsista, dan durasi pengadaan Alutsista yang diperlukan. Dalam hal ini, kita mempunyai industrinya sendiri melalui PT. PINDAD sebagai tempat produksi senjata, amunisi dan kendaraan, lalu PT. PAL menangani pembuatan kapal, dan PT. Dirgantara Indonesia untuk pesawat terbang.

Lalu mengapa MEF? Ancaman aktual dan potensial terhadap Indonesia yang dibahas tadi menuntut solusi berbasis militer. Tanpa campur tangan TNI, ancaman-ancaman semisal konflik perbatasan, agresifitas negara-negara lain yang bersinggungan dengan kedaulatan Indonesia, bahkan illegal fishing akan sulit diselesaikan.

Berangkat dari kesadaran akan kebutuhan peningkatan kualitas TNI, tiba waktunya bagi Indonesia untuk merevitalisasi Alutsista TNI yang sudah usang. Indonesia memiliki laut dalam negeri atau inland seas seluas 93.000 km persegi termasuk selat, teluk, dan laut ditambah dengan area laut luar termasuk laut teritorial dan Zona Eknonomi Eksklusif /ZEE mencapai total lima juta km persegi. (www. cia.gov)

Selanjutnya, MEF juga sebagai inisiatif strategi pertahanan nasional meliputi peningkatan kemampuan militer dengan luas. Tidak hanya berfokus pada pembangunan Alutsista, MEF juga memperbaiki kualitas personil TNI. Kesejahteraan dan keselamatan setiap personil TNI bersifat imperatif untuk mencapai kekuatan minimum yang dicita-citakan MEF. Oleh karenanya, sejumlah besar dana MEF seyogyanya dialokasikan juga untuk pemenuhan rumah dinas dan kesejahteraan personil TNI dan pengadaan latihan bersama TNI AD, AL, dan AU.

Penulis beragumen bahwa MEF merupakan sebuah terobosan dalam strategi pertahanan Indonesia. Hal ini dikarenakan besarnya determinasi inisiatif tersebut untuk mengamankan Indonesia tanpa harus menjadi kekuatan militer yang agresif dan memposisikan negara tetangga Indonesia pada dilema keamanan; terlebih lagi, misi ini dijalankan dengan sumber daya yang terbatas. Sudah waktunya di era kepemipinan panglima baru ini, Indonesia dapat lebih baik dalam menjalankan kebijakan MEF.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com