Ambisi Perang Dagang Trump di Persimpangan Jalan

Bagikan artikel ini

Artikel singkat ini sedikit akan mengurai agenda besar di balik perang dagang yang lancarkan oleh president Amerika Serikat Donald Trump. Namun, yang patut menjadi sorotan adalah bagaimana kebijakan perang dagang tersebut sengaja sengaja diambil Trump hanya untuk melawan (dominasi ekonomi) China dan bukan UE atau mitra dagang lainnya.

Alih-alih untuk mengurangi ekspor China ke AS, tujuannya tidak lain adalah membongkar kredo ekonomi China agar beralih mengikuti reformasi liberal pasar bebas ala Washington yang selama ini memang tidak sejalan dengan watak dasar China. Dalam arti, ini adalah versi baru dari Perang Opium Anglo-Amerika tahun 1840-an dengan menggunakan cara lain untuk mempengaruhi China. Visi China tentang kedaulatan ekonominya adalah bertentangan dengan Washington. Karena itulah, Xi Jinping tidak akan mudah dijebak apalagi dibajak. Sebaliknya ancaman eskalasi terbaru Trump berisiko menjadi goncangan dahsat terhadap sistem keuangan global yang genting.

Pada dasarnya ada dua visi kontradiktif mengenai ekonomi masa depan China dan inilah yang dirisaukan oleh Washington selama ini. Visi pertama adalah memaksa China membuka kran ekonominya sesuai dengan selera Barat, terutama oleh perusahaan multinasional AS. Visi kedua adalah salah satu yang diberlakukan selama masa pemerintahan pertama Xi Jinping yang bertujuan untuk mentransformasikan ekonomi besar China kepada negara-negera teknologi terkemuka di dunia selama tujuh tahun mendatang. Semua ini harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari visi di balik Inisiatif Belt Road-nya Xi Jinping.

Menyongsong China 2030

Bagaimanapun juga, Washington bertekad memaksa China untuk mematuhi dokumen yang dibuatnya pada 2013 silam bersama dengan Bank Dunia yang pada saat itu dikepalai oleh Robert Zoellick. Dokumen yang bertajuk China 2030 menyerukan agar China segera melakukan reformasi pasar secara radikal. Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut,

“Sangat penting bahwa China … mengembangkan sistem berbasis pasar dengan dasar yang kuat … sementara sektor swasta yang kuat memainkan peran yang lebih penting dalam mendorong pertumbuhan.”

Laporan tersebut, yang ditandatangani oleh Kementerian Keuangan China dan Dewan Negara, selanjutnya menyatakan bahwa “Strategi China ke arah dunia perlu diatur oleh beberapa prinsip utama: pasar terbuka, keadilan dan kesetaraan, kerjasama yang saling menguntungkan, inklusivitas global dan pembangunan berkelanjutan.”

Mengacu pada strategi Washington untuk menerapkan tarif impor terhadap miliaran produk China, Michael Pillsbury, mantan penasihat Trump yang berhaluan neo-konservatif dan ahli tentang China mengatakan kepada South China Morning Post, bahwa “Pertandingan akan selesai jikalau China melakukan reformasi ekonominya sebagaimana yang diinginkan Washington. Masalahnya adalah Beijing belum tentu akan mengikuti peta jalan ekonomi yang dirancang oleh negara Paman Sam tersebut.

China 2030 versus Made in China: 2025

Yang patut dicatat adalah bahwa laporan itu dirilis pada awal masa kepresidenan Xi Jinping dan dapat dikatakan sebagai produk dari China sebelumnya. Segera setelah dilantik menjadi presiden, Xi meluncurkan apa yang sekarang disebut Belt Road Initiative, sebuah proyek infrastruktur industri multi-triliun yang ambisius untuk kebutuhan rel berkecepatan tinggi dan pelabuhan air dalam yang akan menciptakan ruang ekonomi terpadu di seluruh Eurasia termasuk Rusia, Asia Selatan, Timur Tengah dan bagian Afrika timur. Dua tahun setelah Xi Jinping meluncurkan apa ya ia sebut Jalan Sutra Ekonomi (Economic Silk Road), pemerintahnya mengeluarkan dokumen strategi ekonomi nasional yang sangat berbeda dengan dokumen Bank Dunia. Dokumen ini berjudul Made in China 2025.

Dokumen itu menyerukan agar China muncul dari tahap awal sebagai negara teknologi perakitan dalam upayanya untuk bersaing dengan Apple atau GM, agar bisa mandiri dalam hal teknologi. Keberhasilan dramatis perusahaan telepon seluler China Huawei untuk menyaingi Apple atau Samsung adalah contohnya. China 2025 adalah strategi untuk mendukung pembangunan, seperti yang dilakukan di Jerman setelah 1871 dengan “Made in Germany.” Dalam waktu tiga puluh tahun manufaktur Jerman beralih dari posisi berkualitas rendah ke salah satu standar kualitas tertinggi. Orang-orang China sangat menyadari model ini.

Sanksi terhadap China sedang dibuat oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Laporan pertama USTR, sekitar 200 halaman, secara eksplisit menyebut adanya praktik perdagangan China yang tidak adil, menuduhnya mengabaikan hak kekayaan intelektual, melakukan diskriminasi terhadap perusahaan asing, dan penggunaan kebijakan industri preferensial untuk mendorong perusahaan China secara tidak adil. Laporan USTR itu dengan nama mengutip Made in China 2025 sebagai strategi ofensif terhadap kebijakan tarif Trump.

China 2025 adalah cetak biru saat ini untuk mengubah China menjadi negara ekonomi terkemuka berteknologi tinggi, mengekspor teknologi rel berkecepatan tinggi, pesawat terbang, kendaraan listrik, robotik, teknologi AI, dan teknologi terdepan lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Ini adalah cara-cara tertentu sebagaimana dilakukan pada model Korea Selatan 1950-1980 di mana negara bergerak secara bertahap dari industri padat karya dan meningkatkan nilai tambah ke industri teknologi tinggi dengan arahan negara yang dibutuhkan.

China, yang sudah menghadapi awal-awal ketidakseimbangan demografi sadar betul bahwa ia harus menentukan pilihan. Menjadi negara yang mengembangkan sebuah model basis industri baru atau menghadapi stagnasi ekonomi karena kehilangan daya saing. Sekali lagi, ini adalah tentang upaya China untuk terlepas dari ketergantungan pada teknologi dan investasi asing agar bisa mandiri di sektor-sektor utama. Sebagian besar China 2025 didasarkan pada studi cermat China terhadap “Industri 4.0” Jerman yang berusaha untuk meningkatkan industri Jerman di era digital. Sementara China 2025 berusaha mencapai “swasembada” melalui substitusi teknologi, menjadi “negara adidaya manufaktur” secara global dalam industri teknologi tinggi.

Dengan demikian, sulit untuk disimpulkan perang dagang yang digelorakan Trump akan berakhir dengan kemenangan Trump atas China. Justru malah berpotensi menjadi senjata makan tuan. Lihat misalnya, bagaimana reaksi pasar saham AS yang membengkak yang berisiko memunculkan gelembung spekulatif terbesar dalam sejarah pasar saham AS, sesuatu yang akan memicu krisis keuangan jauh lebih buruk daripada tahun 2008. Ibarat pepatah lama, orang-orang yang tinggal di kaca rumah seharusnya tidak melempar batu.

Saat ini, kita melihat potensi pembelahan yang meningkat antara negara-negara seperti Cina, Rusia, Iran dan beberapa negara Eropa seperti Hongaria atau Austria yang menyadari bahwa agenda globalisasi pimpinan AS merupakan bencana bagi masa depan mereka. Penyimpangan ini akan menggoyang geopolitik dunia dan akan menentukan apakah dunia akan mengalami depresi baru atau mengembangkan sebuah model untuk pertumbuhan dan ekspansi yang berpusat pada terjalinnya infrastruktur kerjasama Eurasia antara China dan Rusia.

Dokumen kebijakan strategis Pentagon terbaru, Strategi Pertahanan Nasional 2018, secara jelas menyebut China dan Rusia sebagai ancaman utama terhadap “keamanan nasional” AS, dan menuduh China sebagai “ekonomi predator”. Jika Trump terus memaksa China untuk mengikuti pola ekonomi sebagaimana yang diinginkan AS, tentu China akan konsisten meski harus merasakan kepahitan ekonomi demi mempertahankan model ekonominya, seperti yang terjabarkan dalam “kredo ekonomi China” di Made in China 2025.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Intitute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com