Perang Hibrida, Perang Kelanjutan Proxy War yang Patut Diwaspadai 

Bagikan artikel ini
Sekalipun Piagam PBB menegaskan bahwa semua negara berkomitmen untuk saling menghormati kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing, namun fakta yang terjadi adalah tetap berlangsungnya perang konvensional non konvensional. Kenyataan ini membuat bangsa Indonesia perlu melakukan kewaspadaan yang tinggi terhadap sistem pertahanannya.
Hal tersebut mencuat dalam acara Diskusi Panel Serial (DPS) bertajuk Pertahanan Non Militer, yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (2/9/2017).
Narasumber diskusi yang diprakarsai Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia (FKPPI ) tersebut antara lain, Sesjen Wantanas Letjen TNI Nugroho Widyotomo yang diwakili oleh Mayor Jenderal Toto Siswanto, Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Wijoyo, Ketua Umum PPAD Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.
Terlebih banyak contoh nyata dari beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah yang hancur karena perang tersebut. Atau contoh negara yang hancur sekalipun tidak satupun peluru meletus. 
Karena itu menurut Letjen TNI Nugroho Widyotomo yang disampaikan Mayjen TNI Toto Siswanto, Indonesia kini wajib mewaspadai tiga jenis perang yang ada di dunia. Perang militer, perang nonmiliter, dan perang hibrida.
Dari ketiga perang tersebut, perang militer skalanya semakin mengecil, sementara itu perang nonmiliter semakin berkembang, dan perang hibrida paling mengemuka.
“Perang hibrida adalah dua sumber daya peperangan yang relatif berbeda dipadukan sedemikian rupa menjadi satu jenis peperangan baru yang dimiliki keunggulan luar biasa. Keunggulan luar biasa’ ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang memiliki superioritas terhadap lawannya. Dan ternyata Indonesia, ternyata dalam kancah perang ini,” kata Toto.
Untuk menghadapi hal tersebut, maka perlu diupayakan strategi penguatan Ketahanan Nasional yang meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa. Dan hal tersebut membutuhkan upaya besar yang pasti melibat seluruh komponen bangsa, lanjut Toto.
Sementara itu, Kiki Syahnakri mengatakan, dalam perang generasi keempat, Indonesia ternyata belum mampu mengantisipasinya dengan baik. Sebagai akibatnya Timor-Timur misalnya, lepas dari Indonesia karena kalah dalam perang informasi.
Untuk itu maka Indonesia memerlukan Ketahanan Nasional yang tangguh. Ketahanan Nasional yang didasarkan pada Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa.
“Pada saat ini, tujuan perang telah bergeser dari penguasaan teritori menjadi menjadi penguasaan sumberdaya atau dengan kata lain bertujuan ekonomi. Metode perang  dilakukan dengan dengan dua cara yaitu pembusukan politik dan pembajakan negara. Jika hal tersebut tidak diantisipasi, dikawatirkan negara dapat takluk dikuasai asing seperti runtuhnya Uni Soviet,” kata Kiki Syahnakri.
Sementara itu Agus Wijoyo dalam pembahasannya mengenai masalah Pertahanan Nonmiliter Indonesia terutama dari sisi geopolitik dalam percaturan dunia yang terus berubah, mengatakan jika Indonesia jangan mengharap hubungan antar negara yang ada baik tanpa pamrih. Diperlukan kewaspadaan dalam setiap hubungan antar negara. Terlebih pada saat ini Gatra ideologi dan politik menunjukkan penurunan pada tingkat  “kurang tangguh” dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Dengan posisinya yang strategis, Indonesia perlu meneguhkan kembali konsensus dasar Kebangsaan sebagai pondasi kehidupan kebangsaan meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia”, kata Agus Wijoyo.**
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com