Perang Mata Uang (2)

Bagikan artikel ini

Tulisan ini lanjutan artikel “Memotret Motif Lain Perang Ukraina”. Ya. Judul sengaja dibikin berbeda agar terlihat lebih sexy saja. Selamat membaca!

Dinamika politik global mengajarkan, bila mencermati hegemoni  —kekuasaan tertinggi— sebuah bangsa atas bangsa-bangsa lain, atau menilai kadar pengaruh kekuasaan suatu negara terhadap negara lain, lihatlah dari beberapa aspek. Namun terkait judul tulisan ini, saya ingin melihat dari aspek currency (mata uang), baik peredaran, transaksi, atau penggunaan, dan lain-lain. Itulah kelaziman yang sering terjadi, meski hal ini hanya bersifat asumsi tetapi sepertinya hampir semacam teori. Sudah barang tentu, konsekuensi logis atas peraihan hegemoni dimaksud akan berimplikasi timbulnya currency war (perang mata uang) oleh para adidaya.

Sejarah currency war memang relatif panjang dan uniqnya, terjadi diam-diam. Mungkin boleh disebut ‘perang senyap’. Maksudnya, kendati pertempuran tak tergelar secara terbuka dan transparan sebagaimana layaknya perang konvensional (militer), namun diyakini bahwa perang tersebut berlangsung secara sistematis lagi terstruktur.

Saya melihat ada dua indikasi (tanda) untuk membuktikan bahwa perang mata uang itu terjadi secara massif di muka bumi. Indikasi pertama adalah Kesepakatan Bretton Woods; sedangkan tanda atau indikasi kedua, akan ditelusuri melalui alasan dari invasi militer koalisi pimpinan AS sewaktu mereka menyerbu Saddam Hussein di Irak.

Sekilas Bretton Woods

Rujukan awal perang mata uang dalam catatan ini, adalah Bretton Woods Agreementyang diprakarsai oleh Paman Sam pasca PD II. Meski pendiriannya, tidak disuratkan secara terang benderang. Politik praktis itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Maka inilah potret superpower berupaya (mendominasi) atas penggunaan mata uang tertentu (dolar AS) di muka bumi.

Tahun 1944, Paman Sam, sang pemenang Perang Dunia, menggelar Perjanjian Bretton Woods guna menggagas sistem keuangan internasional. Acara tersebut dihadiri 44 negara Barat dimana inti kesepakatannya, “bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi internasional, melainkan dengan dolar yang di-back up atau dijamin emas”. Dan AS menjamin setiap kertas dolar di-back up oleh emas di bank dalam jumlah tertentu.

Mungkin timbul pertanyaan, kenapa para adidaya lainnya semacam Inggris, Prancis, Jerman, dll begitu “patuh” serta menerima perjanjian tersebut? Betapa para adidaya saat itu dalam kondisi lemah akibat PD I dan PD II. Selain itu, bank AS tercitra dan dicitrakan (propaganda) memiliki cadangan emas terbanyak di dunia. Negara-negara lain diminta mempercayai mata uang dolar, sebab bank-bank AS menyimpan dua pertiga emas dunia.

Akan tetapi dalam perjalanan Bretton Woods, Paman Sam pun menyerah. Artinya ia tak mampu menjamin setiap dolar yang dicetak dengan emas karena permintaan terus meningkat. Berbagai isue pun menyeruak di permukaan, bahwa kondisi itu memang diciptakan serta dianggap sebagai tahapan grand stategy dari para elit penggagas Bretton Woods.

Logikanya jumlah emas itu terbatas, sedang kebutuhan dolar — dari waktu ke waktu— niscaya akan meningkat dan meningkat. Sementara dolar terus dicetak serta disebar semau si pemilik percetakan (The Fed) dan sudah barang tentu, emas jaminan di belakang dolar tidak lagi sebanding sesuai harapan Perjanjian Bretton Woods.

Tahun 1971 lebih mengejutkan lagi, karena secara sepihak AS keluar dari kesepakatan tersebut serta menyatakan bahwa ia tidak lagi terikat pada Bretton Woods. Maknanya dolar tidak ada lagi di back-up oleh emas. Dunia terhenyak seketika. Inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan di awal pendiriannya dulu. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kentang telah jadi perkedel. Dunia terlambat menyikapi. Dolar terlanjur mengglobal serta menjadi idola di berbagai penjuru dunia. Ia menjadi alat tukar (transaksi) internasional. Logika awam pun menyeru, bahwa sejak dekade 1971-an, sebenarnya publik global telah jatuh dalam penjajahan bank AS yang secara leluasa mencetak dolar.

Sementara di AS sendiri, satu-satunya lembaga pencetak dolar ialah The Fed (Federal Reserve Bank of New York). Tetapi sungguh ironis, awalnya bank ini bukan bagian atau milik pemerintah AS, sebab ternyata ia murni swasta bahkan dimiliki bukan oleh warga negara Paman Sam sendiri, melainkan kepunyaan konglomerat Yahudi-Zionis dari klan Rothschild cs, antara lain Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam, Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, dan Kuhn & Loeb Bank of New York. Inilah yang sampai kini terus berlangsung.

Alasan Militer Barat Menginvasi (Saddam Husein) Irak

Ingatkah dalih invasi militer Barat ke Irak dekade 2003 kemarin? Jawabannya: “Saddam Husein menyimpan senjata pemusnah massal”. Ya, inilah stigma yang ditebar oleh Barat sebagai ‘pintu masuk’ menduduki Irak. Itu pula, sejatinya pola-pola kolonialisme (berulang) guna mengintervensi negara berdaulat lainnya, kendati modus dan kemasan berbeda, tetapi hakiki polanya sama. Tak berbeda. Afghanistan misalnya, akhirnya menjadi porak-poranda karena stigma teroris atau Al Qaeda; Timor Timor lepas dari NKRI pun akibat isue HAM yang digebyarkan asing dan anteknya, atau Mali diserbu NATO karena stigma Islam Radikal, atau Nigeria diserbu militer asing hanya sebab isue Boko Haram, dan lain-lain.

Tak boleh dipungkiri siapapun. Isue yang teranyar kini adalah Islamic State of Irak and Suriah (ISIS). Lihat saja, negeri mana yang terjangkit virus ISIS,  kemungkinan bakal menjadi ‘ladang garapan’ atau target baru dari negara atau kaum kolonialisme global terutama bagi negara/wilayah yang memiliki deposit besar atas minyak, emas dan gas alam. Retorika pun muncul, jika Nigeria cuma penghasil enceng gondok, akankah ada Boko Haram disana? Atau seandainya Mali hanya penghasil ketela rambat, adalah Islam radikal tumbuh subur di negeri kecil, Afrika? Kenapa ISIS tak tumbuh di Singapore, atau di Malaysia? Let them think let them decide.

Dalam benak saya, entah Boko Haram, entah itu ISIS, dll itu hanya stigma ciptaan pengganti isue teroris dan al Qaeda yang dalam skenario War on Terror (WoT) sudah dianggap tutup buku karena sang jagoan, Osama bin Laden telah “mati” di Pakistan. WoT dinilai gagal terutama tatkala menginvasi Afghanistan dan Irak, bahkan WoT justru dianggap biang krisis global yang diawali krisis ekonomi kelompok negara yang terlibat dalam perang di Irak dan di Afghanistan (lebih 10-an tahun). Agaknya sharing saham (NATO dan ISAF) pada perang di kedua negara Arab tadi, tidak memperoleh hasil yang signifikan, maka kebangkrutan pun menganga di depan mata. Inilah petualangan perang terlama dalam sejarah militer Amerika, selain dianggap perang yang menyedot pundi-pundi emasnya.

Kita kembali ke Irak sewaktu zamannya Saddam Hussein untuk melanjutkan bahasan soal perang mata uang. Setidak-tidaknya, munculnya euro sebagai mata uang baru membawa perubahan signifikan bagi peta politik global. Secara currency, setelah muncul euro, dolar AS bukan lagi mata uang terkuat lagi di dunia. Euro dikhawatirkan menggantikan posisi dolar sebagai alat transaksi antar negara. Pamam Sam sangat panik atas fenomena euro yang semakin populer dan meroket melebihi kadar dolar. Artinya, jika kelak posisi dolar diganti oleh euro, niscaya akan terjadi krisis yang super parah di AS. Betapa supply dolar lebih banyak dibanding demand-nya, otomatis nilainya pasti jatuh, bahkan bisa-bisa akan muncul ‘tsunami dolar’ dimana ia bakal pulang kembali ke negeri asalnya menjadi kertas-kertas tak berharga. Inilah yang ditakutkan para elit Paman Sam.

Saddam membaca peluang ini dalam manuvernya melawan Paman Sam. Cadangan devisa Iraq yang berupa dolar diganti euro. Dari penukaran mata uang ini, Iraq menangguk untung ratusan juta dolar saat nilai euro naik. Kemudian Iraq mengumumkan hanya menerima mata uang euro bila ada negara yang hendak membeli minyak bumi di negaranya. Langkah-langkah Saddam benar-benar memukul telak posisi AS di dunia internasional. George Bush dkk panik bukan kepalang.

Sudah barang tentu, apabila manuver politik Saddam tak segera dihentikan bakal menjadi blunder serta membahayakan ekonomi AS di kemudian hari. Ya, langkah Saddam diyakini bisa menimbulkan ‘gelombang (imitasi/meniru) menolak dolar’, yaitu dorongan terhadap masyarakat dunia untuk mengikuti langkah pemerintahan Iraq demi keuntungan masing-masing negara. Terutama kelompok negara penghasil minyak yang bertolak belakang secara ideologis dengan AS, seperti Iran, atau Venezuela, Bolivia, Rusia, dll.

Akhirnya Bush mengambil langkah penyelamatan ekonomi dengan menjalankan skenario penyerbuan terhadap Saddam Husein melalui (pintu) isue ‘senjata pemusnah massal’. Langkah ini sempat menimbulkan kontroversi di internal negeri apalagi di eksernal, karena memang merugikan AS baik dari sisi ekonomi maupun citra politik di panggung global. Bush harus menginvasi Iraq. Di benak Bush, buntung kaki lebih baik daripada mati. Apa boleh buat. Melalui doktrin preemtive strike —yang juga masih kontroversi— karena hanya berbasis asumsi, Iraq pun dikeroyok habis-habisan secara militer meski hingga sekarang tak terbukti adanya senjata pemusnah massal.

Akhirnya dapat dipahami bersama-sama, bahwa invasi militer koalisi pimpinan AS ke Bumi 1001 Malam, selain motifnya pencaplokan sumberdaya alam (minyak), juga dalam rangka menghentikan gerak laju euro di panggung global. Itulah indikasi kedua adanya currency war di muka bumi sebagaimana disebut pada prolog artikel ini.

Sebenarnya masih banyak tanda-tanda lain tentang keberadaan currency war yang berlangsung sistematis dan massif di dunia. Invasi militer AS dan NATO ke Libya misalnya, bahwa  Resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone yang mandatnya diberikan kepada AS dan NATO untuk menyerbu Libya dengan dalih “pelanggaran HAM”, tersiratnya jelas untuk menghadang program Moamar Gaddafi yang hendak menerbitkan mata uang emas (dinar), dan sudah tentu jika rencana Gaddafi terealisir maka bakal meng-KO dolar!

Bersambung ke (3)

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com