Pergeseran Paradigma Kolonialisme

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Zaman berubah. Bila pola invasi tempo doeloe diartikan dengan pendaratan militer terhadap sebuah negara yang menjadi target dari kolonialisme, membuat takluk, merampas tanah, lalu mengeksploitasi sumber daya, dan lain-lain dimana ujungnya ialah —merampas secara fisik— perbudakan bangsa atas bangsa lain; sedang zaman now — invasi di atas sudah dianggap masa lalu meski wajah militer tetap disiap-siagakan untuk situasi kontinjensi.

Nah, invasi kini berpola investasi (asing). Berwajah ekonomi. Tanpa letusan peluru serta tak ada bau mesiu, negara target dapat ditaklukkan oleh negara lain berkedok investasi. Dan kelak ujungnya pasti perbudakan —merampas kehidupan— kendati secara senyap lagi tersamar. Lalu, pintunya apa? Utang. “Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak bangsa. Pertama dengan pedang (militer), kedua melalui utang” (John Adams, 1735-1825). Inilah pola biadab yang dimainkan dengan tata cara (seolah-olah) beradab.

Maka jangan heran, jika gelombang investasi (asing) tiba-tiba berubah menjadi invasi. Itu bukan sulapan, sebab ujungnya adalah perbudakan. Ada drama Absentee of Lord di Bumi Pertiwi. Tuan tanah yang tak berpijak di tanah airnya sendiri. Rakyat menjadi tamu di negeri sendiri, menyaksikan penjarahan-penjarahan berbagai sumber daya oleh asing justru atas nama sistem dan konstitusi negaranya. Edan.

Maka apapun simbolnya, esensinya ialah tikus mati di lumbung padi!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com