Pesta Kabaret di Gaza

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto-Peminat Masalah Internasional

Masih ingatkah pada Perang Gaza awal 2009-an doleoe? Saya pernah mencoba “memotret” melalui sebuah prosa, oleh sebab begitu banyak fenomena, keganjilan, dan seolah-olah tak logika dalam perang tersebut. Namun agaknya, prosa itu hilang entah dimana aku lupa menyimpannya. Iseng-iseng kutengok kembali catatan lama, alhamdulillah, sore ini kutemukan ia di pojok opini lama berjudul: Pesta Kabaret di Gaza. Tidak saya tambahi atau kurangi, sama seperti aslinya. Inilah ceritanya.

Ya, bermula dari Kabaret. Yakni budaya dalam dinasti Amerika Serikat (AS). Tatkala Presidennya hendak turun takhta, menjadi kewajiban untuk ia menyuguhkan suatu atraksi (pesta) kepada bangsa-bangsa di dunia tentang keperkasaan dan hegemoni negaranya. Begitulah tradisinya. Sejak kapan hal itu berlangsung tidak ada catatan pasti lagi nyata.

Kabaret adalah persembahan Presiden siapa saja. Kecuali terkena impeachment atau sebab lainnya. Misalnya terbunuh di masa jabatan seperti James Garfield, Jeff Kennedy, William Mc Kinley. Atau wafat karena sakit, contohnya William Harrison, Franklin Roosevelt, Warren Harding dst.

Atraksi Kabaret biasanya berupa show of force militer ke negara lain dengan berbagai motif, modus atau alasan yang dicari-cari. Tak bisa dipungkiri. Richard Nixon menampilkan invasi militer ke Vietnam meski ternyata kalah perang; Ronald Reagan mengirimkan marinirnya ke Lebanon – kemudian Grenada di Karabia pun diserang; Jimmy Carter melalui operasi Eagle Claw yakni pembebasan sandera di Teheran, namun gagal karena Delta Force jatuh dihempas badai bersama helikopternya di gurun gersang; Bush senior menyuguhkan superior kedigdayaan ketika “mengusir” Saddam Hussein yang ingin merebut Kuwait secara sewenang-wenang. Lalu, gerangan apa suguhan Bush Jr di ujung kekuasaannya?

Ketika medan perang di Iraq telah menjadi “neraka” bagi tentaranya, manakala Afghanistan masih sulit diprediksi bagi kemenangan para serdadu AS dan sekutunya, maka pilihan Kabaretnya jatuh di Gaza  via anak emas sekaligus tuan gurunya yakni Israel Raya. Sejatinya, tangis dan duka-lara rakyat Gaza adalah akhir persembahan Bush kepada dunia sebelum ia turun takhta.

27 Desember 2008 adalah awal Gaza porak-poranda. Ketika operasi militer digelar Israel disana, Palestina yang memang sengsara dihajar konflik internal tak kunjung reda dan blokade ekonomi 18 bulan sebelumnya, maka operasi Cast Lead Zionis membuatnya semakin merana.

Berbekal doktrin Rabbi Yahudi, Mordachi Elyaho mengizinkan militer membunuh perempuan dan anak-anak. Maka laksana iblis pencabut nyawa, tentara Zionis membabi-buta. Bahwa menghancurkan orang-orang Palestina yang sudah bersalah adalah tindakan syah! Demikian dogma sang Rabbi di dada para serdadunya.

Mahmoed Abbas, sang Presiden hampir “tidak pernah” bicara. Entah kenapa. Rakyat dan penduduk yang tidak mengerti apa-apa, menjadi tumbal politik negara. Kebiadaban merupakan hak dalam perang bagi Zionis via tentaranya. Hamas dengan brigade yang awal kelahirannya cuma organisasi sosial, tunggang-langgang lari ke negara tetangga.

Israel memang bandel luar biasa. Resolusi DK-PBB 1860 (resolusi ini yang ke-69) tidak digubris, apalagi cuma seruan koalisi negara serta negeri tetangga, mungkin dianggapnya ocehan nenek ceriwis. Tidak perduli, biarpun Bolivia dan Venezuela (14/1) memutus hubungan diplomasi. Kemudian Qatar, disusul Mauritania (16/1) dan esok siapa lagi.

Tatkala terdapat “tentara lain” menghadang, mematahkan bahkan menyerang masuk ke dalam teritorial Israel Raya. Tokoh (Hamas) berteriak-teriak dari kejauhan saja. Fatah sembunyi entah kemana.Tak banyak orang paham tentang itu, tetapi tidak sedikit yang tahu. Dunia terpana seakan tak percaya, melihat fakta-fakta.

Wilayah yang ditarget Zionis seminggu selesai ternyata tidak sesuai rencana. Sudah tiga pekan diterkam Gaza terus meronta. Mentang-mentang secuil dalam peta, dikira Bush mudah merayakan pesta pora perpisahannya. Peperangan ini membawa ragam cerita.

Muncul suatu fenomena. Tiba hari ke-10 (7/1) di tengah-tengah Cast Lead  berjaya, atas dogma Rabbi tentara Zionis yang membombardir Gaza. Tiba-tiba ada beberapa kota Israel gantian diserbu roket-roket entah darimana. Mesir, Suriah dan Lebanon pun dituduhnya. Bermingu sudah berhari-hari lamanya. Betapa ribuan pasukan tewas bersimbah darah. Banyak tentara gila. Asrama, gudang logistik, pusat komando, infrastruktur (lapangan terbang), pabrik dan ratusan peralatan militer terutama tank (helikopter, steel dst) babak-belur diterjang oleh peluru siapa punya. Tiga kapal perang karam. Tiga jenderal Israel luka-luka (14/1) menjadi saksi kehancuran teknologi (perang) –“tuhan”– yang dipujanya setengah mati.

Dunia bertanya-tanya: mampukah senjata tempur Hamas menembak kapal perang hingga tumbang ke dasar lautan; beranikah brigade Al-Qassam masuk ke wilayah (maximum security), lalu menghajar tiga jenderal yang dijaga seribu pasukan?

Tak malu. Kedua faksi (Hamas dan Fatah) mengklaim kemenangan bukan hasil karyanya. Itulah Palestina. Uniq tetapi nyata.

Zionis kegerahan. Gencatan senjata sepihak oleh Israel dinyatakan (17/1). Target kemenangan diklaim atas nyawa ribuan anak-anak dan perempuan. Memilukan sekaligus memalukan.

Terdapat beberapa fakta dan data tidak nyambung (sinkron) terkuak disana. Israel mengaku menang tetapi mengapa mengawali gencatan senjata. Meminta bantuan kepada “sobat-sobat” berdalih mengawasi supply senjata ke Hamas. Ada rasa gentar serta was-was. Trio Uni Eropa (Inggris, Perancis dan Jerman) janji bersiap mengirimkan kapal perang di perairan Mediterania.

Awalnya Hamas menolak gencatan tapi akhirnya mengumumkan hal yang sama (19/1). Namun luncuran roket dan rentetan senjata terus menggema. Gencatan senjata tidak punya makna apa-apa. Mereka lupa siapa yang gencatan, siapa pula angkat senjata.

Pekik marah serta kecewa menggelegar dimana-mana. Menggema hampir seantero dunia. Liga bangsa-bangsa dan setiap negeri serta warganya mengutuk agresi di Gaza. Konferensi antar negara digelar. Solidaritas menjalar. Demonstrasi empati Gaza menembus budaya, warna kulit, bahkan antar benua. Tak pernah diduga. Serentak umat muslim bangkit di jagad raya.

Semestinya. Tarian di Gaza berakhir jauh sebelum inagurasi Presiden Obama. Begitulah tradisi-tradisi sebelumnya: kalah – menang, segera tinggalkan medan laga! Tapi atraksi kali ini ternyata berbeda. Bahkan pasca Presiden terpilih berkalung bunga (20/1), pesta Kabaret tidak usai juga. Menyisakan ribuan mayat, reruntuhan bangunan dan korban luka-luka.

Gaza membuka propaganda AS dan sekutu yang berstandar ganda. Misalnya, alasan ada pembuatan senjata pemusnah massal lalu Iraq didudukinya. Sementara Israel memakai bom fosfor putih membantai rakyat Gaza. Ia diam saja. Musang berbulu ayam – AS ibarat maling teriak maling. Dunia mengecam keras dan mengutuknya!

Kabaret Gaza yang mulanya sekedar pengiring George W Bush turun singgasana, justru mengubah segalanya. Apa yang diusahakan Israel bertahun-tahun hancur lebur. Para petinggi negeri Zionis kelelahan “digempur”. Banyak kontroversi – juga kontradiksi, baik itu dari dalam apalagi luar negeri.

Ada usulan Israel dicoret dari peta dunia. Begitulah nasib mengulang sejarah masa lalu, dikejar Nazi kesana-kemari. Holocaust buatannya (propaganda) guna meraih simpati, bakal menghantam diri Yahudi.

Demikian pesta Kabaret di jalur Gaza, kami akhiri tulisan ini sampai disini saja. Terimakasih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com