Prabowo-Hatta Jungkir-Balikkan Logika Skenario Revolusi Oranye Ukraina

Bagikan artikel ini

Jika menelisik kembali konstalasi politik Ukraina terkait pemilu presiden pada 2004 dan 2014 lalu, nampaknya ada satu skenario dan modus operandi yang secara konsisten dimainkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menjegal seorang calon presiden yang menang pemilu, namun dipandang oleh kutub barat tersebut sebagai sosok pemimpin yang cukup berbahaya bagi kepentingan strategis ekonomi mereka di Ukraina.

Salah satu bukti nyata adalah ketika AS dan Uni Eropa berupaya menggulingkan pemenang pemilu 2004 Presiden Yanukovich yang dipandang pro Rusia. Ketika itu, Yanukovich yang dijagokan Rusia berhadapan dengan Viktor Yuschenko yang dijagokan oleh AS dan Uni Eropa. Akan tetapi hasil Pilpres sama sekali tidak memuaskan AS dan Uni Eropa. Setelah melalui Pilpres putaran kedua, Komisi Pemilihan Umum Ukrania, mengumumkan bahwa Yanukovich unggul  49,58% dan Yuschenko 46,57%.

Di sinilah modus operandi AS-Uni Eropa mulai dimainkan, dengan memobilisasi aksi massa yang didukung dan dirancang oleh kelompok-kelompok oposisi untuk memprotes hasil pemilu yang memenangkan Yanukovich.

Pihak Yuschenko menuding KPU Ukraina berbuat curang, intimidasi dan melakukan politik uang untuk memenangkan Yanukovich. Akhirnya massa turun ke jalan2 utama di kiev. Ukraina lumpuh perekonomiannya Tentara ukraina turun untuk stabilkan keamanan. Namun internasional menuding Russia berada di balik Presiden Kuchma dan Yanukovich.

Dengan serangkaian kekerasan yang terjadi di Ukraina, pihak internasional turun tangan untuk menengahi. Yuschenko minta pemilu ulang melalui MA.  Pemilu ulang pada 26 Desember 2004 dimenangkan Yuschenko 51,99%. Masa pendukung Revolusi Oranye menang.

Yang menarik kita sorot dari Revolusi Oranye yang dimainkan pihak barat untuk menggagalkan kemenangan Yanukovich yang dianggap pro Rusia adalah, betapa kemenangan duet Yuschenko-Tymoschenko pada pemilu 2004, sebenarnya sarat kontroversi. Karena sebelumnya, Viktor Yanukovich sebenarnya sudah berhasil memenangkan pemilihan presiden meski dengan prosentase yang cukup tipis.

Namun dengan memanfaatkan dukungan media massa barat dan beberapa LSM internasional, duet Yuschenko-Tymoschenko berhasil membentuk opini publik bahwa Yanukovich telah berlaku curang dalam pemilihan umum. Apalagi ketika itu Yuschenko berhasil membangun kesan kepada publik dan media massa Negara-negara barat. Dengan serangkaian kekerasan yang terjadi di Ukraina, pihak internasional turun tangan untuk menengahi. Yuschenko minta pemilu ulang melalui MA.  Pemilu ulang pada 26 Desember 2004 dimenangkan Yuschenko 51,99%. Masa pendukung revolusi oranye menang.

Kemenangan duet Yuschenko-Tymoschenko pada pemilu 2004 inilah yang kemudian dikenal sebagai bangkitnya Revolusi Oranye (Orange Revolution) di Negara berpenduduk 46 juta ini.

Di sinilah modus operandi AS-Uni Eropa terlihat dengan terang-benderang. Betapa kemenangan duet Yuschenko-Tymoschenko pada pemilu 2004, sebenarnya sarat kontroversi. Karena sebelumnya, Viktor Yanukovich sebenarnya sudah berhasil memenangkan pemilihan presiden meski dengan prosentase yang cukup tipis.

Namun dengan memanfaatkan dukungan media massa barat dan beberapa LSM internasional, duet Yuschenko-Tymoschenko berhasil membentuk opini publik bahwa Yanukovich telah berlaku curang dalam pemilihan umum. Apalagi ketika itu Yuschenko berhasil membangun kesan kepada publik dan media massa Negara-negara barat, bahwa dirinya sempat diracun dan bermaksud dibunuh atas perintah Yanukovich.

Kemenangan duet Yuschenko-Tymoschenko pada pemilu 2004 inilah yang kemudian dikenal sebagai bangkitnya Revolusi Oranye (Orange Revolution) di Negara berpenduduk 46 juta ini. Namun seiring dengan perkembangan waktu, nampaknya kinerja Yuschenko dan sekutu politiknya Tymoschenko tidak memuaskan bagi sebagian besar rakyat Ukraina.

Kehidupan perekonomian Ukraina tidak semakin membaik. Sebaliknya pengangguran akibat tidak adanya lapangan kerja, semakin meningkat. Sektor riil macet. Sepertinya, Yuschenko didukung habis-habisan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, hanya karena mereka tidak ingin Ukraina dipimpin oleh seorang tokoh karismatik yang pro Rusia seperti Yanukovich. Padahal, Yanukovich meskipun cenderung dekat dan pro Rusia, pada dasarnya bukan tergolong tokoh politik Ukraina yang anti Amerika dan Uni Eropa.

Singkat cerita, Revolusi Oranye yang menghantarkan Yuschenko ke kursi kepresidenan, selain hanya mitos ternyata juga tidak memuaskan masyarakat Ukraina. Sehingga pada Februari 2010. Yanukovich kembali memenangkan pemilu pada Februari 2010, mengalahkan pesaingnya yang didukung AS-Uni Eropa, Yulia Tymoshenko, dengan selisih suara 2,6 persen.

Secara faktual, harus diakui bahwa Yanukovich memang basis dukungannya berasal dari warga Ukraina yang bermukim di sebelah timur Ukraina dan berbahasa Rusia. Sehingga keberhasilan Yanukovich merebut tampuk kepresidenan Ukraina, memang sangat mencemaskan bagi Amerika dan Uni Eropa. Khususnya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Yang mencemaskan Negara-negara barat, kepemimpinan Yanukovich berpotensi untuk membawa Ukraina untuk kembali bergabung dengan Rusia, atau setidaknya menjalin kembali persekutuan strategis dengan bekas negara induknya tersebut.

Karena bagaimanapun juga, dalam pandangan negara-negara barat, Ukraina meski negara kecil lokasinya cukup strategis, yaitu berada di perbatasan antara Rusia dan Uni Eropa.

Bisa dimengerti jika pada pemilu 2004 lalu, Amerika dan Uni Eropa menghalalkan segala cara untuk menggagalkan kemenangan Yanukovich sebagai presiden. Namun pada pemilu 2010, rakyat Ukraina tidak mau dibodohi dan diperdaya untuk kedua kalinya. Kemenangan Yanukovich, setidaknya telah membuka mata rakyat Ukraina, bahwa Revolusi Oranye ternyata hanya mitos dan jargon belaka.

Namun lagi-lagi, pada Februari lalu, Yanukovich kembali dijatuhkan dari tampuk pemerintahannya, melalui konspirasi kelompok-kelompok oposisi di parlemen. Setelah sebelumnya didahului dengan digelarnya serangkaian aksi massa demonstrasi yang didukung dan dirancang oleh kelompok-kelompok oposisi terhadapa pemerintahan Yanukovich. Sehingga dampak dari krisis Ukraina, masih berlangsung hingga sekarang.

Prabowo Subianto Membalik Logika Skenario Revolusi Oranye

Keputusan dan langkah politik calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto, untuk menarik diri dari proses pelaksanaan pemilu presiden 2014 pada 22 Juli lalu, sempat mengejutkan banyak kalangan. Selain pengumuman resmi hasil rekapitulasi pemilu belum dilakukan, langkah politik Prabowo menarik diri dari proses pelaksanaan Pilpres pada perkembangannya bukan memperhadapkan antara Prabowo versus Jokowi sebagai saingannya, melainkan menghadapi KPU sebagai wasit Pilpres yang dipandang tidan netral dan tidak adil. Yang ditandai dengan sikap KPU yang secara sadar menafikan masukan pihak Prabowo-Hatta mengenai adanya kecurangan terorganisir melalui penggelembungan suara secara massif di beberapa provinsi. Sehingga pasangan Prabowo-Hatta mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar diadakan pemungutan suara ulang di beberapa tempat yang dinilai bermasalah.

Manuver politik Prabowo ini sejatinya cukup mengagetkan banyak orang. Karena semula dugaan orang Prabowo akan menerapkan cara-cara konvensional, dengan menungu dulu hasil final real count KPU, lalu baru kemudian menolak hasil KPU, dan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun bagi Prabowo, langkah semacam ini nampaknya justru akan masuk dalam perangkap skema kubu Jokowi-JK. Sehingga begitu Prabowo menolak hasil real count pemilu, kubu Jokowi-JK akan mengusung isu Prabowo-Hatta tidak legowo.

Maka dengan manuver Prabowo menarik diri dari pelaksanaan Pilpres mendahului pengumuman real count KPU, dirinya berada dalam posisi memegang inisiatif politik. Sekaligus memberikan pekerjaan rumah kepada para pihak yang terkait penyelenggaraan pemilu. Seperti KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, Polri, DPR, dan bahkan Presiden.

Sehingga melalui gerakannya ini, Prabowo telah mengusung tema Penyelamatan Demokrasi, sehingga dunia internasionalpun mau tidak mau harus menyorot kembali sistem dan pelaksanaan pemilu di Indonesia selama ini. Apalagi isu yang mencuat menyusul keputusan Prabowo-Hatta menarik dari dari proses rekapitulasi suara KPU, adalah soal kecurangan terorganisir melalui modus penggelembungan suara massif dan termobilisasi. Suatu masalah krusial dalam pelaksanaan demokrasi kita, karena jika benar berarti demokrasi dalam artian sebagai sarana murni rakyat Indonesia untuk memberikan suaranya pada pemilu, ternyata hanya mitos dan slogan belaka.

Menariknya lagi, langkah spektakuler Prabowo ini justru berkebalikan 180 derajat dengan manuver politik yang dilancarkan kelompok-kelompok pendukung Viktor Yuschenko yang pro AS-Uni Eropa, ketika kemudian berupaya menggugat hasil pemilu yang memenangi Viktor Yanukovich dalam Pilpres di Ukraina pada 2004. Sehingga kemudian mendesak diadakannya pemilu ulang. Atau seperti Februari 2014, ketika AS-Uni Eropa menggalang persekutuan strategis antara kelompok-kelompok oposisi di parlemen dan aksi massa jalanan, yang berujung pada kejatuhan Presiden Yanukovich.

Sedangkan Prabowo, yang notabene merupakan sosok yang tidak didukung oleh AS, Uni Eropa maupun beberapa pengusaha Cina perantauan (Overseas China) yang berbasis di Indonesia, justru dalam posisi sebagai pihak yang dikalahkan secara tidak adil dan tidak netral oleh penyelenggara pemilu. Sehingga pasangan Jokowi-JK yang didukung oleh negara-negara barat, justru yang dalam posisi tergugat. Padahal kalau mengikuti analogi Ukraina, Prabowo justru merupakan Yanukovich sedangkan Jokowi adalah Yuschenko.

Namun Prabowo telah menjungkir-balikkan pakem yang selama ini dimainkan AS dan Uni Eropa di Ukraina. Bahwa Prabowo sebagai Yanukovich, yang justru dalam posisi menggugat kecurangan pemilu terorganisir, sistematis, massif dan termobilisasi di beberapa provinsi. Sedangkan Jokowi sebagai Yuschenko justru dipandang sebagai bagian integral dari mata-rantai kecurangan massif dan terorganisir dalam Pilpres kali ini.

Bagaimana perkembangannya nanti, memang masih sulit diprediksi, mengingat Mahkamah Konstitusi baru akan bersidang di awal Agustus setelah Prabowo-Hatta mengajukan gugatannya pada Jumat siang 25 Juli 2014. Namun demikian menjadi menarik mencermati sikap dan reaksi negara-negara barat yang selama ini selalu mengusung isu kecurangan pemilu dan pemilu ulang, ketika jagonya dikalahkan dalam pemilu seperti dalam kasus Ukraina 2004. Dan bahkan ketika pihak internasional sampai turun tangan menengahi kedua calon, dan bahkan ikut mendanai aksi-aksi massa memprotes hasil pemilu yang memenangi Yanukovich pada 2004 yang kemudian kita kenal sebagai Revolusi Oranye.

Maka itu, mari kita cermati reaksi dunia internasional terhadap manuver politik Prabowo yang tak terduga dan didasari pemikiran yang out of the box, khususnya ketika serangkaian sidang Mahkamah Konstitusi mulai digelar pada awal Agustus mendatang.

Digelarnya secara maraton sidang-sidang di MK terkait gugatan Prabowo-Hatta maupun kemugkinan terbentuknya Panitia Khusus(Pansus) DPR mengusut kecurangan-kecurangan para pihak penyelenggara pemilu termasuk KPU, nampaknya akan membawa dampak politik yang cukup dinamis dan tak terduga sepanjang  bulan Agustus dan September mendatang.

Pada tataran ini, inisiatif politik berada di tangan Prabowo. Kita hingga kini, tak bisa menduga apa keputusan MK terhadap gugatan kecurangan massif dan terorganisir pada Pilpres. Jika MK setuju atas tuntutan Prabowo-Hatta untuk menggelar pemungutan suara ulang di beberapa wilayah yang  bermasalah, apakah kemudian Jokowi-JK taat pada amar putusan MK? Jika Jokowi-JK menolak, apa perkemnbangan politik yang bergulir kemudian? Tak seorangpun yang tahu.

Pada sisi lain, jika kemudian DPR akhirnya setuju membentuk PANSUS, dan ternyata menelorkan beberapa temuan yang tak terduga terkait kecurangan massif dan terorganisir, yang kemudian menyeret KPU sebagai bagian dari mata-rantai dari praktek kecurangan massif dan terorganisir tersebut, apa perkembangan politik yang terjadi kemudian menyusul terjadinya deligitimasi KPU sebagai wasit pemilu?

Tak seorang pun yang tahu. Namun yang pasti, Prabowo akan menjadi titik simpul sekaligus episentrum baru dalam perpolitikan nasional kita ke depan. Dengan kata lain, masa ketokohan Prabowo akan masih cukup panjang. Dan tidak akan berakhir saat ini, terlepas berhasil atau tidak menuju ke kursi kepresidenan.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com