Presiden Baru Harus Bisa Atasi Benturan Kepentingan di balik Divestasi Newmont Nusa Tenggara

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Sisi lain yang tak kalah menarik terkait dikeluarkannya PP No 01/2014 sebagai tindak-lanjut dilaksanakannya UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, adalah soal urgensi untuk melakukan negosiasi ulang dengan beberapa korporasi asing yang bergerak di sektor mineral dan batubara.

Menurut Marwan Batubara dalam artikelnya yang menarik bertajuk Menggapai Kedaulatan Sektor Migas , Pada sektor minerba, langkah realistis yang dapat dilakukan adalah menuntaskan proses negosiasi ulang dalam waktu singkat. Perbaikan akan diperoleh jika pemerintah berhasil mengubah kontrak karya (KK) tambang mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) konsisten dan sesuai perintah UU No 4/2009 dan PP 45/2003.

Karena itu, presiden terpilih Indonesia periode 2014-2019 harus mengambil kebijakan yang cerdas, berani, cepat, dan tepat. Pemerintah tidak boleh takut merenegosiasi kontrak karya pertambangan yang merugikan negara. Renegosiasi kontrak karya jangan sampai bertabrakan dengan kepentingan nasional. Pemerintah perlu memperhatikan suara-suara yang menginginkan pemerintah mampu menjaga kedaulatan negara.

Seraya pada saat yang sama, pemerintah baru nanti juga harus menjunjung tinggi isi kontrak. Sehingga Indonesia tidak akan lagi dipandang  sebagai bangsa yang tidak menghargai kontrak dan mengabaikan international best practice atau kelaziman yang berlaku secara internasional. Dalam renegosiasi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Manusia tentu tak boleh mengabaikan isi kontrak dan undang-undang yang berlaku.

Undang-Undang (UU) Nomor 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah mengamanatkan bahwa semua kontrak karya pertambangan harus disesuaikan dengan undang-undang tersebut. Bahkan, undang-undang itu menyebutkan, penyesuaian kontrak harus dilakukan dalam tempo satu tahun sejak UU No 4/2009 diundangkan. Meskipun pada kenyataan PP O1/2014 sebagai tindak-lanjut pelaksanaan UU Minerba No 4/2009 baru dikeluarkan 5 tahun sejak diberlakukannya undang-undang pertambangan mineral dan batubara tersebut.

UU Minerba adalah manifestasi suara rakyat Indonesia. Dengan demikian, semua perusahaan pertambangan harus tunduk kepada undang-undang ini. Artinya, setiap kontrak karya bertambangan harus mengacu kepada undang-undang.

Menurut berbagai bahan pustaka yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, saat ini, ada sekitar 113 kontrak pertambangan yang akan renegosiasi, yakni 37 kontrak karya di sektor pertambangan logammineral dan 76 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).

Hingga kini, setidaknya terdapat 11 perusahaan yang sudah menyetujui seluruh klausul renegosiasi yang diusulkan pemerintah. Selain itu, 19 perusahaan hanya menyetujui sebagian klausul. Namun, lima perusahaan menolak untuk merenegosiasi kontrak. Kelima perusahaan itu adalah PT Freepot Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, PT Nabire Bakti Mining, PT Pasik Masao, dan PT Pasifik Masao.

Dari sekitar 16 isu yang direnegosiasi, terdapat enam isu strategis, yaitu luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Dari sejumlah isu itu, suara yang dominan adalah desakan kepada pemerintah untuk memperbesar penerimaan negara dari sumber daya alam. Pemerintah tak boleh gamang untuk merenegosiasi kontrak pertambangan. Selain meningkatkan penerimaan negara, renegosiasi kontrak merupakan salah satu upaya mengembalikan kedaulatan negara atas kekayaan sumber daya alam Indonesia.

Bagaimana Dengan Newmont Nusatenggara?

Salah satu isu krusial yang harus dihadapi oleh pemerintahan baru Indonesia pasca Pemilu Presiden Juli mendatang adalah menyikapi soal divestasi perusahaan tambang emas Newmont Nusa Tenggara (NNT) . Berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada 2 Desember 1986, NNT berkewajiban untuk mendevestasikan sahamnya sebesar 51 persen secara bertahap kepada pihak Indonesia (Pemerintah dan perusahaan swasta nasional), sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Proses divestasi akan berlangsung selama 5 tahun, dimulai dari akhir tahun keempat awal operasi tambang. Sedangkan Tambang NNT sendiri mulai berproduksi pada 2002, dan dengan demikian proses divestasi akan berlangsung setiap tahun, mulai 2006 hingga 2011.
Namun pada pelaksanaannya berjalan ruwet dan macet, akibat adanya tarik-menarik kepentingan, baik oleh pemerintah daerah-pemerintah daerah terkait, maupun NNT sendiri, sehingga proses tidak dapat berlangsung sesuai jadwal yang tercantum dalam Kontrak Karya.
Sekadar kilas balik. Ketika mulai didirikan, pemegang saham NNT adalah Newmont Indonesia Limited, Nusatenggara Mining Corporatio n(NTMC/Sumitomo, Jepang), dan Fukuako Indah, perusahaan milik Yusuf Merukh, sebagai pihak Indonesia. Masing-masing dengan kepemilikan saham 45 persen, 35 persen dan 20 persen.

Berdasarkan peta kepemilikan Newmont Nusa Tenggara tersebut, saham yang harus divestasi oleh NNT adalah 31 persen, dan itu berasal dari saham milik Newmont dan Sumitomo.

Yang tak kalah penting, Kontrak Karya Tambang emas Batu Hijau di Sumbawa-NTB, juga mencantumkan ketentuan tentang pihak-pihak Indonesia yang berhak untuk membeli saham Newmont dan Sumitomo.

Namun pihak NNT tidak mau melaksanakan kewajiban divestasi tersebut hingga tenggat waktu yang ditentukan. Yaitu 3 Maret 2007. Oleh sebab itu, Global Future Institute menyerukan kepada pemerintahan baru periode 2014-2019, agar mengagendakan penyelesaian kasus NNT dengan berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945, termasuk ketentuan-ketentuan hukum di bawahnya seperti UU No 4/2009 dan PP No 01/2014. Sehingga kebijakan pemerintah baru dalam pengelolaan sumberdaya alam bertumpu pada kedaulatan nasional, kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Nampaknya pihak korporasi asing sejatinya menolak untuk menjual sahamnya kepada Indonesia karena menyadari betapa besarnya kandungan kekayaan alam yang berada dalam penguasaan NNT. Betapa tidak. Tambang Batu Hijau yang terletak di wilayah Kabupaten Sumbawa Nusatenggara Barat, memiliki luas area 87,540 hektar area. Adapun luas lahan operasinya 6,437 hektar dan luas daeerah eksplorasi 1600 hektar.

Potensi tambang ini diketemukan pertamakali pada 1990. Daerah tambang Batu Hijau memiliki 3 jenis cadangan mineral yaitu emas dan perak. Potensi kandungan wilayah tambang adalah 11,2 miliar pound tembaga, 14,7 juta ounce emas dan 27,6 juta ounce perak.

Sedangkan potensi pendapatan dari tambang Batu Hijau berdasarkan harga rata-rata mineral yang berlaku selama 3 bulan (Juni-Agustus 2009) di London Metal Exchange dan LME/LBMA, harga rata-rata tersebut adalah: Tembaga US$ 2 per pound, perak US$ 13,11 per ounce, dan emas US$ 950 per ounce. Asumsi nilai tukar dolar 12 ribu rupiah saat ini. Namun katakanlah dengan asumsi nilai tukar ketika masih kisaran 10 ribu rupiah pada 2011-2012, dari sektor ini saja pemerintah Indonesia bisa mendapat kurang lebih sebesar 375 triliun rupiah.

Tapi, mengapa proses pembelian saham ini masih berlarut-larut hingga kini? Nampaknya, akar soalnya adalah lemahnya kepribadian Presiden SBY dalam memberi arah kebijakan strategis dalam soal divestasi ini. Sikap presiden yang tidak tegas ketika terjadi perbenturan kepentingan tentang siapa yang lebih berhak melakukan divestasi, apakah pemerintah pusat, BUMN, pemerintah daerah, ataukah pihak swasta nasional, telah menyebabkan manajemen pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam sektor pertambangan mineral dan batubara ini jadi kacau balau.

Lebih krusial lagi ketika Menteri Keuangan Chatib Basri dan Menteri Koordinator Perekonomian Nasional Hatta Rajasa pun berbeda pendapat yang tentunya membawa implikasi tetap terciptanya ketidakpastian terhadap kelangsungan usaha NNT. Hatta Rajassa berkeberatan jika  divestasi 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara langsung diambil alih oleh Badan Usaha Milik Negara. Hatta lebih suka jika divestasi itu harus diserahkan ke pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat.

Sebaliknya Chatib Basri selaku Menteri Keuangan menegaskan rencana pemerintah pusat membeli 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara. Hal itulah yang melatarbelakangi perpanjangan Sales and Purchase Agreement (SPA) antara Newmont dan pemerintah selama enam bulan.

Di sinilah pentingnya kekuatan kepribadian Presiden baru Indonesia 2014-2019 mampu memberi arah kebijakan strategis terkait tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara yang merujuk pada UU No 4/2014 tersebut. Jika tidak, maka isu divestasi NNT akan dikendalikan dan diatur oleh kepentingan-kepentingan bisnis beberapa pengusaha yang kebetulan bermain di sektor mineral dan batubara seperti Aburizal Bakrie yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Golkar dan tergabung dalam koalisi merah putih bersama calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Alotnya mencapai kesepakatan untuk melakukan divestasi terhadap Newmont nampaknya terhambat oleh keinginan kuat dari Bakrie untuk memiliki saham NNT yang akan didivestasi tersebut. Sehingga faksi Bakrie di dalam tubuh pemerintahan SBY maupun di DPR berkeberatan jika divestasi NNT dikuasai pemerintah pusat.

Seperti kita ketahui, PT Multi Capital, merupakan anak perusahaan PT Bumi Resources Mineral Tbk milik group Bakrie yang menginginkan sisa saham divestasi tersebut. Dengan menggandeng PT Daerah Maju Bersaing, sebuah konsorsium milik tiga pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat.

Global Future Institute berharap, semoga kekuatan kepribadian presiden terpilih 2014-2019 bisa mengelola benturan kepentingan antar pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN melalui skema ekonomi nasional yang strategis demi kesejahteraan rakyat, kemandirian bangsa dan kedaulatan nasional.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com