Press Release Seminar Nasional Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Dalam dua tahun terakhir ini, eskalasi konflik di Semenanjung Korea sepertinya semakin memanas, menyusul kebijakan agresif pemerintah Korea Utara dalam pengembangan dan uji coba persenjataan nuklirnya. Khususnya uji coba rudal balistik antar benua atau ICBM. Pada sisi lain, sikap pemerintah Amerika Serikat khususnya di masa kepemimpinan Presiden Donald J Trump, juga semakin memprovokasi dan meningkatkan eskalasi konflik dengan mendorong berbagai forum internasional, termasuk PBB, untuk melakukan isolasi dan embargo terhadap Korea Utara.

Bahkan eskalasi konflik di Semenanjung Korea dan bahkan bisa meluas ke kawasan Asia Pasifik, bisa berpotensi semakin menajam menyusul keputusan pemerintah AS untuk menempatkan dan menyebarkan  Sistem Pertahanan Anti-Rudal atau yang kita kenal dengan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan.

Hal ini mengindikasikan bahwa AS adanya sasaran yang jauh lebih strategis di balik gagasan penempatan THAAD di Korea Selatan ini. Bahwa melalui teknologi militer tingkat tinggi itu, semakin memperkuat sinyalemen selama ini bahwa Pentagon memang telah menetapkan Cina dan Rusia sebagai musuh utama AS. Selain Iran, Suriah, Venezuela dan Kuba. Sehingga penempatan dan penyebaran THAAD di Korsel, tidak bisa semata-mata dipandang sebagai reaksi terhadap ambisi nuklir Presiden Kim Jung-un semata. Lebih dari itu, THAAD harus dipandang sebagai isyarat AS untuk mengondisikan konflik militer berskala luas di masa depan terhadap Cina, atau bahkan mungkin juga dengan Rusia.

Dengan demikian, krisis Korea yang semula dipicu oleh ambisi Presiden Kim Jong-un untuk meluncurkan rudal jarak menengah, pada perkembangannya kemudian justru dijadikan oleh AS dan Blok Barat sebagai faktor pemantik ketegangan militer khususnya terhadap Cina di Semenanjung Korea, dan Asia Pasifik pada umumnya.

Sebagaimana juga halnya di Timur Tengah, AS dan blok NATO nampaknya akan semakin mendorong eskalasi konflik berskala luas antara Arab Saudi dan sekutu-sekutu AS melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) terhadap Iran dan Suriah.

Tren global ini semakin terlihat melalui kejadian lain di belahan lain dunia, yaitu Timur Tengah. Jumat 6 Oktober lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah menyetujui kemungkinan penjualan sistem pertahanan antirudal THAAD kepada Arab Saudi dengan perkiraan harga senilai 15 miliar dolar AS atau sekitar Rp202,5 triliun. Suatu harga yang cukup fantastis bagi negara Arab kaya seperti Saudi sekalipun, jika tidak ada pertaruhan besar di balik pentingnya pengadaan peralatan militer strategis dan canggih seperti THAAD itu.

Berarti, Iran, Suriah dan Korut dipandang dalam satu paket sebagai sasaran pokok serangan militer AS. Suara yang dikumandangkan oleh Pentagon atau Departemen Pertahanan AS, kiranya sudah sangat memperkuat beberapa temuan sebelumnya, bahwa Iran dan Korut memang telah ditetapkan sebagai musuh utama AS dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam NATO.

Berarti keberadaan THAAD di Korea Selatan, bukan sekadar sebagai reaksi terhadap uji coba peluncuran rudal jarak menengah Korut. Penempatan dan penyebaran THAAD di Korsel, sejatinya harus dipandang dalam konteks yang lebih luas. Yaitu sebuah pertanda bahwa AS dan sekutu-sekutunya sedang mengondisikan destabilisasi dan militerisasi tidak saja di Semenanjung Korea, melainkan juga di kawasan Asia Pasifik.

Menyadari tren mengkhawatirkan di Semenanjung Korea yang mana isu Korea Utara bisa menjadi pemantik meningkatkan eskalai konflik yang melibatkan Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang dan Cina di Semenanjung Korea dan Asia Pasifik, maka hal itu berarti berpotensi juga membawa dampak buruk bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tak terkecuali Indonesia.

Sehubungan dengan kerangka pandangan dan pemikiran tersebut di atas, kami dari GFI memandang ada beberapa poin krusial yang kiranya perlu jadi fokus bahasan dalam Seminar Terbatas mendatang, diantaranya.

  1. Membaca langkah negara-negara Adidaya  baik dari Blok Barat maupun Blok Timur di tengah-tengah semakin menguatnya Pergeseran Geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik.
  2. Merumuskan dan mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif untuk menjawab tantangan global, yaitu memikirkan dan menggagas bagaimanana agar Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara, agar menjadi pemain aktif yang ikut menentukan arah kebijakan strategis global, dan bukan sekadar jadi korban atau penonton belaka, di tengah Pergeseran Geopolitik Global dari Atlantik ke Asia Pasifik.
  3. Dan yang tak kalah penting, terkait Krisis Korea yang sedang memanas saat ini, bagaimana negara-negara ASEAN dan Indonesia pada khususnya mampu memainkan peran strategis sebagai mediator penyelesaian Krisis Korea dengan mengikutsertakan para pihak yang terlibat konflik seperti AS, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, Cina dan Rusia.

Bertolak dari latarbelakang di atas, kami dari Global Future Institute (GFI) akan mengadakan Seminar terbatas dengan tema “Membaca Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia”, pada Kamis, 9 November 2017, di Wisma Daria, Jln. Iskandarsyah Raya No 7, Kebayoran Baru,  Jakarta Selatan.

Melalui seminar ini, diharapkan para pengamat, pemangku kepentingan dan pemegang kebijakan RI terutama Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan kementerian terkait lainnya, mampu membaca perilaku geopolitik AS di pelbagai belahan dunia dan Indonesia pada khususnya sekaligus mampu merumuskan dan mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif untuk menjawab tantangan global dan memelopori negara-negara di kawasan Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara, agar menjadi pemain aktif yang ikut menentukan arah kebijakan strategis global.

 

Jakarta, 5 November 2017

Direktur Eksekutif GFI
Hendrajit

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com