Reaksi Berantai Sanksi Ekonomi AS Terhadap Korut. Bagaimana Sikap Indonesia?

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Desakan Presiden Donald J Trump untuk mengenakan embargo ekonomi kepada pemerintah Pyongyang sebagai aksi balasan terhadap program nuklir Korut, sejatinya akan menghancurkan perekonomian rakyat Korut.

September lalu tenaga-tenaga kerja Korea Utara akan mulai meninggalkan Qatar dan Kuwait setelah negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk itu mengatakan akan menghentikan pemberian visa bagi warga Korut. Ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk dari reaksi berantai beberapa negara sekutu AS di pelbagai kawasan untuk ramai-ramai melakukan sanksi ekonomi kepada pemerintahan Pyongyang,

Tidak berlebihan jika manuver AS untuk menggalang dukungan internasional memberi sanksi ekonomi kepada Korut bisa disebut sebagai Trump’s War on North Korean People. Perang Trump terhadap Rakyat Korut. Artinya, tindakan AS tersebut seakan dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan dan korban di pihak rakyat Korut.

Pemulangan tenaga-tenaga kerja asal Korut dari Qatar dan Kuwait, merupakan salah satu bukti nyata betapa pada akhirnya rakyat Korut lah yang akan jadi korban. Sebagian besar dari ribuan tenaga kerja Korea Utara yang tinggal beberapa negara Arab yang merupakan sekutu AS tersebut, bekerja di proyek-proyek pembangunan. Dengan sanksi yang diterapkan pada tenaga-tenaga kerja Korut oleh negara-negara Arab sekutu AS tersebut, berarti akan ada ribuan tenaga kerja Korut yang akan menganggur alias kehilangan lapangan kerja dan matapencaharian hidup.

Begitu pula dengan diberlakukannya embargo ekspor tekstil Korut ke luar negeri, pada perkembangannya akan menghancurkan salah satu  pendapatan nasional Korut dari ekspor. Sebab dengan dikenakannya embargo memboikot ekspor tekstil Korut ke luar negeri, berarti Korut kehilangan 90 persen pendapatan nasional yang didapat melalui ekspor.

Berarti, salah satu fondasi perekonomian rakyat Korut dengan sengaja dihancurkan. Selain itu, Departemen Keuangan AS juga akan memberlakukan sanksi ekonomi dengan menargetkan sejumlah bank dan perorangan terkait jaringan keuangan Korut. Aksi ekonomi AS ini barang tentu akan menimbulkan efek berantai yang jauh lebih serius. Sebab beberapa orang Korut yang merupakan perwakilan bank-bank yang jadi target otoritas keuangan AS tersebut, beberapa di antaranya juga bekerja di Cina, Rusia, Libya dan Uni Emirat Arab.

Barang tentu hal ini juga akan semakin memperburuk hubungan bilateral AS dengan Cina dan Rusia.

Gerakan mengisolasi Pyongyang itu dilakukan dengna dalih untuk memutus sumber pendanaan terhadap program nuklir Korut. Padahal sama sekali belum terbukti bahwa Korut memang memiliki kemampuan nuklir yang sedemikian hebat. Jangan-jangan isu ancaman nuklir Korut sekadar tipuan belaka.

Sehingga sanksi ekonomi melalui pencabutan izin visa masuk warga Korut ke Timur Tengah maupun sanksi yang ditujukan pada beberapa bank dan perorangan terkait sumber keuangan Korut, sejatinya merupakan serangan penghancuran perekonomian rakyat Korut dengan dalih de-nuklirisasi di Semenanjung Korea.

Isolasi ekonomi terhadap rakyat Korut di sektor ekonomi, pada perkembangannya justru akan meningkatkan radikalisasi dan sikap esktrem dari semua lapisan masyarakat di Korut. Persis seperti Jepang menjelang meletusnya Perang Dunia II. Disebabkan isolasi terhadap Korut dalam perdagangan dunia maupun kerjasama di berbagai sektor dengan komunitas internasional.

Pemberlakuan sanksi ekonomi terhadap beberapa bank maupun perorangan terkait sumber keuangan Korut yang disinyalir oleh pemerintahan di Washington merupakan sumber pendanaan program nuklir Korut, pada gilirannya juga akan menutup segala kemungkinan kerjasama ekonomi maupun joint venture antara pemerintah Korut dengan beberapa pelaku bisnis swasta di berbagai sektor.

Infrastruktur perekonomian rakyat Korut hancur gara-gara embargo ekonomi yang diterapkan AS dan negara-negara sekutunya di berbagai kawasan, seperti terlihat melalui pencabutan izin visa ribuan tenaga kerja Korut di Timur Tengah, Maupun pemberlakuan sanksi ekonomi terhadap sejumlah bank dan perorangan terkait sumber keuangan Korut.

Padahal pemberlakuan sanksi ekonomi terhadap sektor-sektor strategis perekonomian Korut, belum tentu ada kaitannya dengan program nuklir Korut. Bahkan yang terlihat adalah ambisi geopolitik AS untuk menguasai kawasan Asia Pasifik. Seperti halnya ketika AS mengembangkan isu bahwa ada senjata pemusnah missal di Irak, dan pada kenyataannya sama sekali tidak terbukti hingga kini. Namun dengan dalih  bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah missal di Irak, maka AS punya alasan untuk melancarkan invasi militer ke Irak pada 2003 lalu. Padahal sasaran  sesungguhnya AS adalah untuk menguasai geopolitik Irak yang kaya cadangan minyak.

Bagi Indonesia, perkembangan tersebut tentu saja sangat menkhawatirkan. Sebab selain sanksi ekonomi AS terhadap Korut itu sendiri. Ada hal yang lebih krusial dalam jangka panjang. Yaitu semakin gencarnya manuver diplomatik Washington untuk menekan negara-negara lain agar memberlakukan embargo dan isolasi ekonomi dan politik kepada Korut.

Beberapa tren belakangan ini menariki untuk dicermati. Misal India, yang notabene masih terikat sebagai salah satu eks negara jajahan Inggris dalam kerangka Common Wealth, April lalu memberlakukam menghentikan kerjasama perdagangan dengan Korut. Kecuali di sektor pangan dan obat-obatan. Itupun belum memuaskan Presiden Trump, karena yang diharap Washtington nampakya adalah pemutusan hubungan diplomati India terhadap Korut.

Selain India, Filipina sebagai salah satu sekutu tradisional AS, juga membekukan semua aktivitas perdagangannya dengan Korut. Meksiko dan Peru, atas arahan dari Washington, juga mengusir beberapa diplomat Korut dari negaranya.

Maka itu, sudah selayaknya pemerintah Indonesia menaruh kekhawatiran terhadap kemungkinan tekanan diplomatik terhadap beberapa negara Afrika yang saat ini menjalin kerjasama ekonomi yang cukup baik dengan pemerintah Korut. Begitupun, beberapa negara Afrika kecil seperti Namibia, nampaknya dengan terpaksa membatalkan kontraknya dengan beberapa perusahaan Korut.

Bahkan Mesir dan Uganda yang relatif cukup kuat di kawasan Afrika, tak urung juga menghentikan kerjasama di berbagai bidang dengan Korut. Desakan kuat AS untuk mengisolasi Korut, nampakhya ibarat efek domino. Dalam arti akan semakin banyak negara, baik yang jelas-jelas merupakan sekutu AS maupun yang sekadar negara sahabat AS, untuk mengikuti langkah-langkah yang sudah diambil negara-negara sekutu AS dalam mengisolasi dan mengembargo Korut di bidang ekonomi.

Aksi sepihak Trump dalam melakukan blockade ekonomi terhadap Korut, pada perkembangannya akan mempertajam persaingan global antara AS dan blok Barat di satu sisi, dan blok Cina-Rusia pada sisi yang lain. Yang mana akhirnya akan menciptakan kembali polarisasi antar negara-negara adikuasa di kawasan Asia Pasifik. Sehingga barang tenttu, negara-negara di kawasan Asia-Afrika pun akan ikut terbelah akibat Proxy War yang dilancarkan baik oleh Kubu AS-NATO versus Cina-Rusia.

Mengantisipasi skenario terburuk semacam itu, saatnya Indonesia kembali menghidupkan semangat solidaritas Asia-Afrika di Bandung 1955, serta mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif sesuai dengan tentangan zaman yang kita hadapi saat ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com