Rohingya dan Respon Indonesia

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia

Kekerasan yang menimpa Muslim Rohingya oleh junta militer Myanmar kini telah menjadi perhatian dunia. “Ethnic cleansing” yang terjadi di Myanmar tersebut, ternyata disikapi dengan aksi “diam seribu bahasa” tanpa mengeluarkan tindakan nyata dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pembantaian terhadap Muslim Rohingya berdasarkan laporan terakhir yang masuk atau disiarkan dari berbagai pemberitaan media massa menyebutkan bahwa sebanyak 650 umat Islam di Myanmar (Rohingya) tewas pada 28 Juni 2012 dalam bentrokan di wilayah barat Rakhine, sementara 1.200 orang lainnya hilang dan 90 ribu orang telah terlantar. Para penyerang Muslim Rohingya tersebut telah merampas hak-hak dasar warga Muslim di Rohingya, termasuk pendidikan dan pekerjaan.

Sementara itu, pemerintah Myanmar menolak mengakui warga Rohingya dan mengklasifikasikan mereka sebagai imigran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

Satu-satunya negara yang berani mengkritik keras dari sikap PBB yang “memble” terhadap pembantaian Muslim Rohingya adalah Iran, bahkan negeri kalangan Mullah itu mendesak PBB untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke negara Asia Tenggara tersebut.

Pernyataan keras tersebut disampaikan Juru Bicara Majelis Iran, Ari Larijani (29/7) yang menyatakan “Mengapa PBB tidak mengirimkan pasukan perdamaian ke Myanmar untuk menghindari pembunuhan terhadap kaum Muslim seperti pengiriman pasukan perdamaian ke Suriah,” ujarnya dalam sidang terbuka Majelis PBB.

Yang aneh adalah sikap yang ditunjukkan tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi yang juga peraih Nobel Perdamaian, karena menolak bereaksi dalam menentang pelanggaran yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap etnis Rohingya, yang dinilai oleh PBB sebagai salah satu kelompok yang paling tertindas di dunia. Ironisnya, hanya beberapa hari setelah ia menerima penghargaan Nobel, Suu Kyi kepada wartawan mengatakan dirinya tidak tahu apakah Rohingya itu orang Burma. Para aktivis, yang dulu mendukung Suu Kyi sebagai simbol dan tokoh hak asasi manusia atas kurungan dan isolasinya selama puluhan tahun, sekarang balik mengecamnya karena dinilai telah mengabaikan tragedi kemanusiaan di negaranya (Iran Indonesian Radio, 27 Juli 2012). “Ini mengecewakan, dia berada dalam posisi yang sulit, tetapi orang semakin kecewa karena dia tidak terbuka,” kata Anna Roberts, direktur eksekutif Kampanye Inggris Burma. “Dia melewatkan kesempatan untuk mengemukakan hal-hal yang baik dalam masalah ini,” kata Brad Adams, direktur untuk kawasan Asia di Human Rights Watch. (http://www.theglobal-review.com, 27 Juli 2012)

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian ada beberapa rumors terkait dengan “Rohingya ethnic cleansing” ini antara lain, bisa jadi pembantaian tersebut merupakan konflik global dalam rangka memperebutkan protection oil flow, hal ini terbukti karena PBB dan beberapa negara besar seperti Cina, Rusia, Inggris, Jerman, Perancis dan terutama Amerika Serikat tidak bersikap dalam masalah ini, sehingga ujung cerita dari berbagai kasus semacam ini adalah negosiasi ulang atas kesepakatan-kesepakatan strategis atau dengan kata lain pembantaian etnis, gempa bumi dll dapat dijadikan “entry point” untuk mencuri sumber daya alam suatu negara, sehingga tidak menutup kemungkinan gempa bumi adalah “man made” terbukti seringnya gempa bumi yang menimpa Indonesia khususnya di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Papua, Papua Barat, Ambon, dan Aceh.

Reaksi Di Indonesia

Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya juga belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait dengan pembantaian ini. Meskipun demikian, aksi unjuk rasa menentang atau mengutuk pembantaian etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar sudah semakin marak terjadi di Indonesia, seperti di Jakarta tepatnya di bunderan Hotel Indonesia dan depan Kedubes Myanmar (26/7) terjadi aksi unjuk rasa yang mendesak atau menuntut Pemerintah Myanmar menghentikan tindak kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya, serta mendesak Pemerintah Indonesia dan komunitas ASEAN mengambil langkah-langkah diplomatik dalam menyelesaikan tragedi Rohingya.

Sementara itu pada 27 Juli 2012 di depan Kantor Sekretariat ASEAN, Jakarta Selatan juga terjadi aksi unjuk rasa yang menuntut pemerintah Myanmar dan masyarakat Myanmar non Rohingya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan pembantaian etnis Rohingya serta membebaskan tahanan Rohingya yang tidak bersalah, serta mendesak ASEAN untuk mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN.

Aksi unjuk rasa yang sama dengan tuntutan yang hampir senada yaitu mengutuk pembantaian etnis Rohingya dan mendesak pemerintahan SBY-Boediono segera mengambil sikap yang tegas, juga terjadi di beberapa daerah seperti di Fly Over Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Sulsel (27/7 dan 29/7) yang dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Makassar, Palu-Sulteng (27/7) yang dilakukan mahasiswa HMI MPO Palu, Pontianak-Kalbar (27/7) yang dilakukan mahasiswa KAMMI Kalbar, Surabaya-Jawa Timur (29/7) yang dilakukan KAMMI Surabaya dan diperkirakan aksi-aksi unjuk rasa yang mempersoalkan pembantaian etnis Rohingya akan terus terjadi dan semakin meluas.

Selain aksi unjuk rasa, kelompok elemen civil society di Indonesia yang juga mempersoalkan pembantaian etnis Rohingya melalui pernyataan sikap yang mereka keluarkan, seperti pernyataan sikap Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) tanggal 29 Juli 2012 yang berisi antara lain, mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap etnis Rohingya di Myanmar dan mendesak pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan secara tuntas dan cepat serta menghukum yang salah. Pembiaran terhadap kasus ini, hanya akan membuat situasi berkembang tidak terkendali dan menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan lainnya di kemudian hari. Mendesak Pemerintah RI mengambil inisiatif agar anggota ASEAN meratifikasi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tak Berkewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan Tak Berkewarganegaraan.

Sementara itu, di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, terinformasi bahwa sebuah organisasi bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT) berencana untuk mengirimkan relawannya untuk membantu etnis Rohingya di Myanmar.

Bagaimana sikap tegas, lugas dan jelas dari pemerintah Indonesia atas kasus Rohingya sangatlah diperlukan dan dinantikan, agar pemerintah dan negara ini dianggap bukan negara gagal. Namun, untuk dapat menyikapinya secara benar maka Indonesia harus berhati-hati dengan melihat masalah ini dalam konteks global, regional dikaitkan dengan kepentingan nasional, agar kita “tidak terjerat” skenario internasional dalam masalah ini yang nota bene mungkin terkait dengan perebutan sumber energi atau ketahanan energi beberapa negara kuat lainnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com