RRC dan Cina Rantau di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Ada upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh pemerintah RRC sejak era Sun Yat Sen yang berkelanjutan, untuk menguasai perekonomian dan politik di Asia Pasifik.  Bagaimana perkembangannya sekarang?

Tahun 1913 Sun Yat Sen sukses menarik perhatian orang-orang Cina di perantauan, terutama yang di Asia Tenggara. Mereka banyak memberi kontribusi keuangan untuk keberhasilan Gerakan Nasional Revolusioner Kuo Min Tang.

Lebih dari itu, pemerintahan di bawah kendali partai Kuo Min Tang melakukan kebijakan keras, antara lain melakukan teror kepada negara-negara yang didiami oleh Cina perantauan. Cabang partai ini kemudian melakukan gerakan agresif yang tersebar di seluruh Asia Tenggara, dikoordinasikan oleh konsulat-konsulat di negara bersangkutan.

Untuk menanamkan rasa nasionalisme, anak-anak Cina perantauan diwajibkan belajar bahasa dan kebudayaan Cina. Didirikanlah sekolah-sekolah Cina. Guru-guru sebagai kader partai dikirim dari daratan Cina. Mereka membawa misi untuk memperkuat patriotisme Tiongkok.

Sewaktu partai komunis menguasai RRC, pemerintah Cina menyusupkan guru-guru khusus untuk mengajarkan marxisme-leninisme serta kesetiaan kepada tanah air leluhurnya. Gerakan nasionalisme ini, menurut John K. Naveront, membuat para Cina perantau dan turunannya cenderung menutup diri, hal yang kemudian menimbulkan kebencian dari penduduk pribumi.

Gerakan nasionalisme Kuo Min Tang mendapat imbangan dari negara-negara lain. Di Asia Tenggara, masing-masing negara juga melakukan gerakan nasionalisme demi harkat dan martabat bangsanya. Akibatnya, orang Cina di perantauan mulai merasa kehilangan pelindung di negara tempat tinggalnya.

Oleh karena itu, begitu tahun 1949 Mao Zedong memproklamasikan berdirinya RRC, para perantau Cina langsung memberi dukungan. Mereka berharap mendapatkan perlindungan dari pemerintah RRC, selain karena ada rasa emosi dan ikatan batin yang sama terhadap tanah leluhur.

Pada saat itu orang-orang Cina di perantauan terpecah menjadi tiga golongan:
1. golongan yang berpihak kepada pemerintah RRC;
2. golongan yang berpihak kepada partai Kuo Min Tang;
3. golongan yang berintegrasi dengara negara-negara yang didiaminya.

Dalam batas-batas tertentu, RRC dapat menolong dan melindungi para Cina perantau di Asia Tenggara, utamanya di Indonesia. Tentu ada maksud di balik itu, yakni agar para perantau itu dapat memberikan sokongan kepada RRC. Di samping itu, pemerintah RRC dapat menggunakan para perantau bagi kepentingan politik Beijing dengan kepentingan partai komunismenya.

Untuk kepentingan itu pulalah, tahun 1949 pemerintah RRC sampai mendirikan departemen pemerintahan khusus, yaitu Departemen Komisi Tionghoa Perantauan. Pendirian departemen ini punya tiga tujuan:
1. melindungi kepentingan para Cina perantauan;
2. memperkuat ikatan antarorang Cina di perantauan;
3. menganjurkan orang Cina perantau8an untuk mengirimkan pulang uangnya dalam jumlah besar.

Sejak itu, para Cina di perantauan pun mulai memiliki semangat baru lagi. Mereka berhasrat membantu pembangunan di negara leluhurnya.

Setelah mendapat sokongan keuangan dari Cina perantauan, pemerintah RRC kian ketat memberi pengawasan kepada orang-orang Cina di negara lain. RRC mengirimkan guru-guru kader politik berikut buku-buku serta mendirikan media massa, selain mengirimkan misi-misi kebudayaan dan olah raga. Para perantau juga diorganisasikan, diberi hak memilih perwakilannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Tahun 1950 para perantau mendapat 30 kursi di Kongres Rakyat Cina. RRC menggunakan para perantau untuk tujuan politik, melakukan pendekatan-pendekatan terhadap negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kedutaan-kedutaan dan konsulat-konsulat digunakan untuk mengadakan pengawasan terhadap orang Cina yang ada di Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara, untuk kepentingan politik penyebaran ideologi komunis Cina.

Setiap menjalin komunikasi, seperti dikemukakan oleh John K. Naveront dalam buku ‘Jaringan Masyarakat China’, orang Cina rata-rata mendasarkan sikapnya pada hubungan keluarga dan tanah leluhur. Atas dasar ini, pemerintahan Cina melakukan kampanye besar-besaran mengundang orang Cina perantauan untuk mendirikan perusahaan di daratan Cina. Atau, kalau tidak, membantu modernisasi dengan mengirimkan uang.

Langkah seperti itu, dicatat oleh Naveront, menimbulkan kegusaran kalangan elite pribumi dan pemerintahan di Asia Tenggara. Pengiriman uang oleh orang Cina perantauan ke tanah leluhurnya sama artinya membocorkan dana dalam negeri yang seharusnya bisa digunakan untuk investasi nasional. Inilah yang pernah juga disinggung oleh Josst Kuitenbrouwer (buku: ‘Tata Baru Kapiralisme Sedunia’, 1983) menimbulkan rasa tidang senang yang bersifat rasial. Untuk menghindari gejolak sosial, menurut Kuitenbrouwer, langkah-langkah lahiriah diambil.

Untuk memperkuat dukungan Cina perantauan terhadap pembangunan di RRC, mantan PM Singapura, Lee Kuan Yew, mengundang pengusaha etnis Cina dari berbagai negara untuk berkumpul di Singapura, Agustus 1991. Konvensi ini dihadiri oleh 800-an pengusaha besar dari 30 negara.

Pemilihan Singapura sebagai tempat pertemuan bukan tanpa alasan. Kata Lee Kuan Yew, dari 25 juta etnis Cina di luar RRC, 21,5 juta di antaranya tinggal di negara-negara ASEAN. Singapura dianggap sebagai model keberhasilan etnis Cina menguasai ekonomi dan birokrasi negara.

Konvensi Cina Sedunia yang pertama kali digelar itu, seperti dikemukakan oleh Ong Teng Cheong (kala itu sebagai Wakil PM Singapura), sebagai upaya membentuk jaringan bisnis internasional. Harapan berikutnya, semua pengusaha dari kalangan etnis Cina di dunia bisa memanfaatkan berbagai peluang bisnis lewat jaringan tersebut.

Ong Teng Cheong pun menawarkan diri agar negaranya dijadikan pusat kegiatan tersebut, mengingat Singapura disebutnya memiliki posisi strategis dari sudut perdagangan, keuangan, dan komunikasi. Selain membentuk asosiasi perdagangan etnis Cina, Ong juga mengusulkan perlu dibentuknya institut dunia atas dasar hasil konvensi di Singapura tersebut.

Banyak pihak—utamanya pengusaha nonetnis Cina—mencurigai bahwa usul tersebut tidak bisa tidak berbau rasialistis, yang di mata A. Dahana (Tempo: ‘Cina Sedunia Bersatulah’, Jakarta, 24 Agustus 1991) bisa membuat tidak nyaman pemerintah negara-negara ASEAN, utamanya Indonesia dan Malaysia, yang sedang bersusah-payah mengusahakan terciptanya suatu negara berdasarkan ‘satu nusa satu bangsa’.

Konvensi Cina Sedunia I di Singapura terus bergulir hingga diadakan Konvensi Cina Sedunia II di Hongkong, November 1993. Tidak kurang dari 1.000 pengusaha Cina perantauan hadir.

Pemerintah RRC tidak melewatkan kesempatan itu. Para peserta pertemuan diajak mengunjungi berbagai Zona Ekonomi Khusus di wilayah RRC tenggara dan selatan, sebagai ajang promosi agar para pengusaha Cina perantauan bersedia menanamkan modalnya di kawasan tersebut.

Provinsi-provinsi RRC di wilayah tenggara dirancang untuk pendirian perusahaan-perusahaan khusus demi memudahkan hubungan langsung dengan para pengusaha perantauan di Asia Tenggara. Dari Indonesia saja, saat itu hadir 40 pengusaha.

Seperti telah disinggung pada tulisan terdahulu, kegiatan tersebut mengundang ketidaknyamanan pengusaha dari etnis lain. RRC melakukan pendekatan rasialistis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dalam negerinya. Pada titik ini, usaha RRC itu bisa menjadi masalah, lebih-lebih untuk kawasan ASEAN, tempat para pengusaha keturunan Cina umumnya memegang peran cukup penting. Apalagi, di beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia, hal itu masih cukup peka (Kompas, 24 November 1993).

Ketika di satu sisi upaya pembauran terus digalakkan, maka Konvensi Cina Sedunia bisa disebut sebagai pembalikan sejarah lama. Orang-orang Cina yang sudah menetap dan berganti kewarganegaraan ternyata masih berorientasi pada kepentingan tanah leluhur, masih memelihara hubungan emosional terhadap negeri asal-usul nenek-moyangnya. Bukankah persoalan ras selama ini dianggap sebagai hal yang sensitif?

Penulis: M Djoko Yuwono, Wartawan Senior dan Budayawan

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com