Runtuhnya Hegemoni Amerika

Bagikan artikel ini

Doeloe. Ketika berlangsung pertempuran terbuka secara sengit antara Amerika dkk melawan Taliban selama 10-an tahun (2001-2011) di Afghanistan, kala itu sempat terpotret 3 (tiga) fenomena sebagai isu yang bergulir di panggung geopolitik global. Adapun isu dan/atau fenomena dimaksud antara lain ialah:

Pertama, ada kebangkitan Islam dalam skala terbatas
Kedua, publik tidak lagi percaya dengan teknologi Barat terutama teknologi perangnya
Ketiga, menurunnya hegemoni Amerika Serikat (AS) di mata global selaku superpower.

Memang menarik bila membahas ketiga isu dan fenomena di atas. Tetapi sesuai judul, tulisan ini tidak membahas dua isu sebelumnya yaitu kebangkitan Islam dan ketidakpercayaan global terhadap kemajuan teknologi Barat, kecuali sekilas untuk menyambungkan narasi. Kenapa? Karena isu/fenomena yang akan dibahas yakni runtuhnya hegemoni Amerika, selain lebih menarik, kini kembali aktual dan viral, juga sebenarnya keruntuhan hegemoni AS adalah muara dan/atau akibat dari munculnya dua isu sebelumnya.

Misalnya begini, kenapa muncul kebangkitan Islam di tengah gaduh peperangan Taliban versus koalisi militer pimpinan Paman Sam? Ya. Karena Taliban dikeroyok oleh koalisi militer (NATO dan ISAF) sejumlah 41-an negara pimpinan AS dengan peralatan modern serta mesin perang canggih, namun Barat tak bisa mengalahkan Taliban. Sedangkan Taliban itu sekelas Banser (di Indonesia) dan bukan militer profesional seperti Kopassus, misalnya, atau Green Baret, Navy Seal dan lain-lain.

Dalam teori perang modern, apabila kalah dalam jumlah pasukan dan kalah canggih mesin perang maka identik kalah perang. Itu teorinya. Peperangan antara Rusia versus Georgia di tahun 2008, contohnya, merupakan bukti riil bahwa cukup dengan seminggu, Georgio dapat diduduki oleh militer Rusia. Kenapa begitu, bahwa secara kuantitas tentara Rusia menang dalam hal jumlah, lebih profesional, juga secara kualitas mesin perang Rusia lebih modern serta lebih canggih ketimbang Georgia. Wajar jika Georgia kalah dalam seminggu saja.

Kembali ke Afghanistan. Secara kuantitas, Taliban kalah dalam hal jumlah pasukan dibanding gabungan pasukan NATO dan ISAF. Pun secara kualitas apalagi. Jauh sekali. Taliban berbekal pampasan perang, senjata seadanya dan seterusnya, sedangkan koalisi militer pimpinan AS memiliki peralatan dan mesin perang modern lagi canggih. Ternyata, pada pertempuran selama 10-an tahun melawan Taliban, selain AS dkk tidak mampu memenangkan pertempuran, juga pundi-pundi ekonomi AS justru rontok termasuk negara koalisi yang terlibat perang pun terimbas. Efek domino sharing saham.

Bahwa sejatinya, krisis ekonomi global dekade 2008-an yang lalu bukanlah disebabkan oleh subprime mortgage –kredit macet perumahan– namun lebih diakibatkan dana perang tidak kembali. Tidak balik modal karena Taliban sulit ditundukkan. Itu cerita singkatnya. Gilirannya untuk menutup malu, lantas subprime mortgage pun dijadikan kambing hitam pada krisis dekade lalu (tahun 2008). Dan sekira 2011-an, pasukan koalisi pimpinan Paman Sam pun ditarik dari Afghanistan. War on Terror (WoT) dianggap usai. WoT tutup layar.

Selanjutnya masalah ada skenario penyerbuan Osama bin Laden oleh Navy Seal lalu mayatnya dibuang ke laut, atau kemudian ISIS lahir di Irak, atau pasukan koalisi digeser ke Irak dan seterusnya, tak dibahas pada tulisan ini. Lain waktu saja. Kita lanjutkan diskusi sesuai judul di atas.

Pointers yang boleh dipetik, bahwa pada sebuah pertempuran apapun, di medan manapun, ada tiga poin yang utama yakni: “Niat, semangat dan alat”. Syukur-syukur punya ketiganya, pasti akan memenangkan pertempuran. Makna sumirnya, bahwa Taliban yang hanya berbekal niat dan semangat ternyata mampu mengalahan AS dan koalisi militer yang memiliki peralatan perang modern dan canggìh. Termasuk pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya tempo doeloe. Bayangkan. Pemenang Perang Dunia II yang memiliki jumlah tentara profesional lebih banyak serta dibekali mesin perang canggih pun harus mundur ketika dilawan oleh arek-arek Surabaya yang hanya berbekal niat dan semangat mempertahankan tanah air.

Kembali ke topik runtuhnya hegemoni Amerika. Tampaknya dalam peperangan asimetris (asymmetric warfare) bertema bio-weapon antara Cina versus AS, kendati perang narasi atau istilah kerennya perang hipotesis belum usai, masih saling tuduh antara keduanya siapa pembuat dan penyebar virus corona, agaknya fenomena di Afghanistan beberapa tahun lalu yakni isu runtuhnya hegemoni Amerika di mata global kini muncul kembali, kian menebal dan viral. Apa buktinya? Adanya isu bahwa Donald Trump meminta bantuan Cina guna menanggulangi coronavirus disease (Covid-19) merupakan bukti bahwa isu menurunnya hegemoni AS di dunia geopolitik itu ada (being), nyata (reality) dan berada (existance). Wait and see untuk kelanjutan skenario.

Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com