Russia-Africa Summit Oktober 2019, Kontra Skema Untuk Mengimbangi Hegemoni AS dan Eropa Barat di Afrika?

Bagikan artikel ini

Salah satu yang mencuat dalam seminar Indo-Pasifik yang diselenggarakan oleh Global Future Institute pada Selasa 15 Oktober 2019 lalu,  adalah gagasan mengenai kemungkinan jalin kerjasasama  dengan negara-negara baik Afrika Utara maupun  Afrika Sub-Sahara. Dalam kerangka perluasan lingkup keikutsertaan negara-negara Afrika dalam konsepsi Indo-Pasifik.  Terkait dengan itu, artikel seorang wartawan asal Kanada Matthew Ehret berjudul :

Russia-Africa ‘Shared Vision 2030’: Alternative to Neo-Colonial Pillage , menarik untuk kita kaji lebih jauh.

Menurut Matthew Ehret, benua Afrika yang sejatinya kaya raya dengan sumberdaya alamnya, dan sudah jadi negara-negara merdeka, namun masih seperti di zaman batu. Meskipun abad ilmu pengetahuan sudah mampu membuka akses kepada umat manusia untuk mencapai standar hidup yang tinggi. Namun di negara-negara Afrika, 15.000 anak-anak kehilangan nyawanya, akibat kelaparan, penyakit, dan pembunuhan.

Dari total keseluruhan tingkat kematian penduduk yang cukup tinggi itu, 50 persen terjadi di negara-negara sub-sahara. Di era teknologi canggih dewasa ini, hanya lima dari 54 negara di negara-negara Afrika itu yang punya akses 100 persen ke listrik. Dan yang lima negara beruntung itu, berasal dari Afrika Utara. Bukan sub-sahara.

Dalam telaah kritis Matthew Ehret ihwal Afrika sub-sahara, akar krisis pada negara-negara tersebut bukan soal korupsi atau ketidakbecusan para elit pimpinan negaranya, atau karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi negara-negara Barat, sebagaimana umumnya pandangna para penganut diskriminasi rasial. Melainkan oleh sebab yang lebih mendasar. Yaitu, negara-negara Afrika tidak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk menjadi negara yang benar-benar merdeka.

Kemandirian Ekonomi yang mensyaratkan adanya kedaulatan nasional penuh di tangan negara-negara Afrika, tidak pernah benar-benar diberikan pada negara-negara Afrika. Di sinilah yang menjelaskan mengapa kehadiran Cina dan Rusia di benua Afrika, dipandang sebagai sinyal harapan untuk membuka berbagai kemungkinan baru.

Sebuah harapan bagi generasi baru Afrika yang memandang persekutuan strategis Eropa-Asia yang dimotori Cina-Rusia melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO), sebagai peluang untuk meraih masa depan yang lebih baik, setelah sekian abad menjadi obyek jarahan negara-negara kolonia dari Eropa Barat seperti Prancis, Jerman, Italia dan Inggris.

Series of events devoted to Russia-Africa relations to be held in 2019

Maka itu, pertemuan tingkat tinggi antara Rusia dan negara-negara Afrika,  the first Russia-Africa Economic and Security Summit in Sochi pada 23-24 Oktober yang baru lalu, merupakan fenomena yang menarik. Pertemuan yang mengangkat isu ekonomi dan keamanan itu, dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, didampingi oleh Presiden Mesir el Sisi.

Dalam Russia-Africa Summit itu, menghadirkan 50 kepala negara Afrika beserta 3000 perwakilan dari sektor bisnis, pemerintahan, dan keuangan. Pertemuan tingkat tinggi negara-negara Afrika dan Rusia ini tentu saja menarik, menyusul dua tahun sebelumnya, hamper 40 negara Afrika telah menandatangani Belt Road Initiative (BRI), yang telah meresahkan para teknokrat ekonomi dari negara-negara Barat.

Presiden Putin menegaskan kepada negara-negara Afrika, akan menerapkan konsep pembangunan yang sama-sama menguntungkan baik bagi Rusia maupun Afrika. Kata kunci adalah bersaing secara sehat untuk terciptanya kerjasama yang sesuai dengan ketentuan hukum. Ada banyak hal yang Rusia bisa tawarkan kepada Afrika. Begitu kata Putin.

Meskipun belum sebesar Cina dalam investasi di Afrika (yang mencapai 200 miliar dolar AS per tahun), investasi Rusia pada 2019 sudah lumayan meningkat. Yaitu mencapai 20 miliar dolar AS per tahun. Yang mana investasi terfokus pada sektor rel kereta api, diplomasi energy, pendidikan, bantuan militer, maupun kerjasama pertukaran kebudayaan.

Di Mesir, Rusia bahkan membantu Mesir untuk kali pertama dalam pembangunan reaktor nuklir di El Dabaa. Dan sedang melakukan beberapa perundingan cukup serius terkait pembangunan nuklir dengan Ethiopia, Nigeria, dan Kenya. Menurut Matthew Ehret, tren kerjasama bidang nuklir antara Rusia dan beberapa negara Afrika itu, pada perkembangannya akan mengakhiri kebijakan apartheid negara-negara blok Barat di bidang teknologi terhadap negara-negara Afrika.

Meskipun selama ini Afrika mendapat gelontoran dana cukup besar melalui Bank Dunia maupun International Monetary Fund (IMF), Afrika dengan uang yang ada di tangan itu, dihalangi untuk berinvestasi di sektor-sektor yang bermanfaat untuk pembangunan bangsa/nation building. Khususnya di bidang teknologi canggih/advanced technology, sebagaimana yang diinginkan para pemimpin Afrika berhaluan nasionalis kerakyatan seperti Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, atau Thomas Sankara. Pembangunan reaktor nuklir juga dilarang kecuali jika menganut paham Apartheid seperti Afrika Selatan di era sebelum Nelson Mandela. Proyek pengeboran minyak dan tambang, boleh, asalkan Barrick Gold atau Standard Oi yang menangani proyek tersebut.

Dengan begitu, masalah pokok di Afrika adalah tidak adanya sarana untuk memproduksi kekayaaan alam yang terkandung di bumi Afrika, yang mana sarana produksi yang dimaksud adalah kombinasi antara pertumbuhan material, intelektual dan spiritual.

Maka itu, menarik mengikuti perkembangan selanjutnya pasca Rusia-Africa Summit baru-baru ini. Mantan penasehat keamanan nasional AS John Bolton, dalam presentasinya dalam forum yang diselenggarakan oleh Heritage Foundation, mempertunjukkan kegelisahan kaum neokonservatif di Washington pada umumnya. Mengenai manuver agresif Cina dan Rusia di Afrika. Bahkan secara eksplisit mengakui tren tersebut bakal menutup peluang AS untuk berinvestasi di Afrika. Dan ini berarti, menurut Bolton, bakal mengancam keamanan nasional AS.

Bagi Indonesia, tren global ini juga merupakan perkembangan yang cukup dinamis, dan perlu dicermati para stakeholders kebijakan luar negeri Ri. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute terkait telaah kritis terhadap konsepsi Indo-Pasifik yang rawan untuk masuk dalam orbit pengaruh AS melalui skema The Indo-Pacific Strategy Report, muncul usulan agar memperluas lingkup keikutsertaan negara-negara yang tergabung dalam Indo-Pasifik, dengan melibatkan negara-negara Afrika. Ide ini menarik, mengingat dalam forum seminar terbatas GFI itu, kuat desakan agar Indonesia kembali tampil di berbagai forum internasional, sebagai kekuatan penyeimbang antara AS versus Cina.

Maka ide untuk menggalang persekutuan progresif dengan Afrika, Indonesia punya sejarah cukup mesra berhubungan dengan Afrika. Apalagi dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia dikenang sejarah sebagai salah satu pelopor terbentuknya kekuatan baru yang berada di luar orbit pengaruh AS maupun blok Timur seperti Beijing dan Moskow. Maka bagi Indonesia, Russia-Africa Summit 2019 lalu, kiranya bisa jadi inspirasi untuk menghidupkan kembali solidaritas Asia-Afrika, untuk menjawab tantangan zaman saat ini.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute. 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com