Saatnya Indonesia Bangun Kerjasama Strategis Dengan Uni Ekonomi Euroasia (UEE) di Luar Skema TPP Amerika Serikat maupun RCEP Cina

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Di tengah semakin menajamnya persaingan global Amerika Serikat (AS) versus Republik Rakyat Cina (RRC) di Asia Tenggara, utamanya Indonesia, maka gagasan membangun kerjasama strategis ASEAN-UEE nampaknya perlu dipertimbangkan sebagai alternatif agar Indonesia keluar dari jebakan perebutan pengaruh kedua negara adikuasa tersebut. Melalui skema baru kerjasama ekonomi dengan UEE, Indonesia dan ASEAN akan mendapatkan keuntungan strategis dalam dua hal. Pertama, kemunculan Rusia sebagai pemain baru dalam percaturan ekonomi dan perdagangan di Asia Tenggara. Kedua, melalui skema UEE Indonesia dan ASEAN akan memperluas lingkup kerjasama ekonomi dan perdagangannya tidak saja dengan Rusia, melainkan dengan beberapa negara yang berada di kawasan Asia Tengah lainnya.

Seperti kita ketahui bersama, UEE sebagai organisasi kerjasama ekonomi internasional yang telah diluncurkan pada 2015 lalu, beranggotakan Rusia, Armenia, Belarus, Kazakhstan, dan Kirgizstan. Tidak mengherankan jika pada perkembangannya kemudian beberapa negara ASEAN seperti Kamboja, Thailand, Singapura menaruh minat untuk menjalin kerjasama dengan UEE.
Bahkan pada Senin 1 Juni 2016 lalu, telah tercapai kesepakatan antara UEE dan Vietnam, sehingga Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa kesepakatan zona perdagangan bebas pertama antara UEE dan negara dunia ketiga (dalam hal ini Vietnam), akan membuka jalan bagi UEE untuk mencapai kesepakatan serupa dengan negara-negara lain. Barang tentu, keikutsertaan Indonesia dalam skema UEE sangatlah diharapkan banyak kalangan baik di dalam maupun luar negeri. Terutama yang mendambakan terciptanya suatu tata ekonomi dunia baru yang lebih adil dan seimbang, di tengah semakin menguatnya tekanan dan desakan AS maupun blok Eropa Barat untuk menciptakan suatu KUTUB TUNGGAL/UNOPOLAR bidang ekonomi dan perdagangan di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya.
Maka itu, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara maupun sebagai perintis terbentuknya ASEAN pada 1967 lalu, sudah selayaknya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh gagasan membangun kerjasama strategis dengan UEE. Apalagi di tengah-tengah semakin kuatnya kecaman berbagai kalangan pakar dan stakeholders perekonomian nasional kita menyusul isyarat yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo mengenai kemungkinan Indonesia bergabung dalam Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) yang pada hakekatnya merupakan proyek ekonomi-politik Amerika Serikat yang didukung oleh beberapa korporasi global dari balik layar.
Sehingga gagasan pembentukan kerjasama strategis ASEAN-UEE bisa dipertimbangkan sebagai alternatif di luar skema TPP yang didukung AS, Inggris dan Jepang. Maupun skema Perjanjian Perdagangan Bebas yang dirancang oleh RRC melalui Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, keberadaan TPP maupun RCEP sejatinya merupakan pencerminan dari semakin meruncingnya persaingan dan perebutan pengaruh antara AS versus RRC di kawasan Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.
Jika pada kenyataannya baik TPP maupun RCEP sama-sama merupakan alat Proxy War antara AS versus Cina di ranah ekonomi dan perdagangan di Asia Tenggara maka kiranya mempertimbangkan kerjasama ASEAN-UEE menjadi sebuah gagasan alternatif yang cukup brilyan.
Apalagi ketika Presiden Rusia Vladimir Putin itu sendiri telah mengisyaratkan bahwa perlu dibangun kemitraan yang lebih luas antara UEE, ASEAN maupun dalam kerangka kerjasama Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang pada hakekatnya merupakan kerjasama ekonomi dan perdagangan antara Rusia dan Cina.
Berarti gagasan membangun hubungan kemitraan antara ASEAN-Rusia nampaknya jauh lebih strategis dibandingkan ASEAN-Cina mengingat melalui Rusia, Cina pun bisa diikutsertakan dalam kerangka kerjasama yang sudah terbangun bersama Rusia melalui SCO sejak 2001 lalu.
Apalagi dalam konteks kerjasama multilateral dengan melibatkan Rusia dan Cina, Indonesia dan negara-negara ASEAN lalinnya akan mempunyai posisi tawar yang jauh lebih menguntungkan terhadap blok AS dan Uni Eropa. Karena baik Rusia maupun Cina, pada dasarnya punya agenda strategis yang jauh lebih selaras dan sehaluan dengan Indonesia dan ASEAN. Yaitu ingin menciptakan suatu tatanan ekonomi internasional yang jauh lebih adil, sekaligus membendung upaya AS dan beberapa negara Uni Eropa untuk menciptakan Kutub Tunggal/Unipolar di bidang ekonomi dan perdagangan seperti terlihat melalui dukungannya dalam pembentukan Perjanjian TPP.
Tren ini bisa kita lihat melalui kesepakatan yang semakin solid antara Rusia dan Cina untuk memperluas lingkup kerjasama strategis ekonomi dan perdagangannnya dalam kerangka SCO, untuk melibatkan India dan Pakistan sebagai anggota tetap. Hal ini tentu saja sebagai bukti nyata bahwa pengembangan kerjasama lintas kawasan melalui model BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) yang juga di bawah restu persekutuan strategis RRC-Rusia, dinilai cukup berhasil dan efektif sebagai kekuatan pengimbang terhadap AS dan Blok Barat. Sehingga India yang notabene merupakan elemen kunci dari kerjasama ekonomi di dalam kerangka BRICS, disepakati untuk dilibatkan juga dalam kerangka kerjasama RRC-Rusia melalui SCO.
Jika Indonesia dan ASEAN pada akhirnya berhasil menjalin kerjasama strategis ekonomi dan perdagangan dengan UEE, maka selain kerjasma strategis ASEAN bersama Rusia dan Cina akan semakin erat dan solid, pada perkembangannya Indonesia dan ASEAN akan mendapatkan akses untuk menjalin kerjasama yang lebih erat dan lebih strategis dengan negara-negara di kawasan Asia Tengah seperti Kazakhstan dan Kirgizstan, tidak saja di bidang ekonomi dan perdagangan, melainkan juga di bidang politik-keamanan maupun di bidang sosial-budaya.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com