M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Inti geopolitik adalah ruang (living space) atau lebensraum. Kenapa? Karena geopolitik adalah ilmu negara (science of the state). Jadi, bertambah dan/atau berkurangnya ruang hidup di suatu negara, erat-kaitannya dengan kehormatan negara yang bersangkutan.
Dan makna ruang sekarang, tak hanya arti secara fisik (geografi) saja, itu sudah masa lalu, era kolonialisme klasik — tapi living space juga bermakna nonfisik tentang pengaruh dan keterpengaruhan (sphere of influance). Makanya pada dimensi (teori) frontier dalam geopolitik, sphere of influence pun harus diukur, dikendalikan dan diantisipasi. Frontier adalah batas imajiner pengaruh pusat terhadap daerah akibat adanya pengaruh asing di wilayah. Biasanya, pengaruh asing itu berujud budaya dan ekonomi belaka —seperti yang terjadi di beberapa daerah perbatasan— dan bila ia dibiarkan oleh pusat maka dapat berubah menjadi (ke) pengaruh (an) politik serta mampu berujung pisah diri dari negara induk. Sipadan Ligitan, Timor Timur, dan seterusnya adalah contoh riil pembiaran frontier di pinggiran NKRI, lalu menggumpal serta berujung lepasnya kedua wilayah tersebut dari Ibu Pertiwi. Itu intinya, kendati modus serta kronologisnya berbeda-beda.
Hari ini, kita masih menyaksikan banyak frontier yang justru kita ciptakan sendiri, misalnya, selain penyewaan pulau-pulau kepada pihak (negara) asing untuk berbagai keperluan dan/atau ke swasta asing guna kepentingan bisnis wisata, juga banyak pembangunan pulau-pulau reklamasi sedang kita sendiri menyadari bahwa kelak “pulau-pulau baru” tersebut justru akan menciptakan dan/atau memunculkan frontier-frontier baru di Bumi Pertiwi. Anekdot berkata: “Negara kepulauan kok justru membuat pulau”.
Inilah yang kini berlangsung pada dinamika geopolitik di republik tercinta ini khususnya pada dimensi ruang dan frontier. Entah sampai kapan.
